PGI — Jakarta. Pernikahan beda agama tidak mudah dilakukan. Bahkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengakomodasi pernikahan beda agama. Andreas Harsono mengatakan bahwa Pasal 2 ayat 1 pada UU tersebut diskriminatif terhadap pasangan beda agama, sehingga warga negara Indonesia (WNI) yang ingin menikah beda agama atau kepercayaan harus mengorbankan agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah (kompas.com: UU Perkawinan Mendiskriminasi Pasangan Beda Agama).
Persoalan diskriminatif nikah beda agama ini menjadi topik yang hangat di media online setelah mahasiswa dan para alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK melegalkan pernikahan beda agama. (kompas.com: Gugat UU Pernikahan ke MK Agar Menikah Beda Agama Ada Kepastian Hukum)
Letak diskriminatif UU tersebut terdapat pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” Ini menunjukkan bahwa legalitas sah atau tidaknya suatu perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing dari kedua calon pengantin. Hal ini menjadi persoalan yang rumit dan pelik jika kedua calon pengantin berbeda agama atau kepercayaan.
Karena itu, banyak pasangan beda agama atau kepercayaan yang ingin menikah mengakali dengan cara-cara yang tidak apik, misalnya mereka berkompromi terlebih dahulu dengan hukum agama apa ketika menikah (setelah menikah salah satu dari mereka bisa saja tidak menjalankan agama yang dikompromikan tersebut) atau mereka menikah di luar negeri.
Pdt. Dr. A. A. Yewangoe (Ketua Umum PGI) sepakat bahwa UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut menjadi polemik bagi pasangan beda agama atau kepercayaan yang ingin menikah. “Pernikahan beda agama tidak mudah dilakukan di negara ini. Persoalannya terletak pada legalitas hukum agama yang mengesahkan perkawinan. Kalau hukum agama mengharamkan nikah campur (Redaksi: nikah campur adalah perkawinan beda agama, suku/etnis, atau kebangsaan), maka akan sulit melangsungkan perkawinan beda agama,” kata Yewangoe.
Lebih lanjut Yewangoe mengatakan: “Di zaman Ezra dan Nehemia, mereka mengharamkan umat Israel menikahi orang bukan dari bangsa/suku Israel. Kitab Ezra dan Nehemia inilah yang sering menjadi acuan gereja untuk berusaha sedapat mungkin menghindari pemberkatan nikah beda agama dilaksanakan di gereja. Meskipun begitu tidak semua gereja bertindak demikian, tetapi ada juga gereja yang melakukan pemberkatan nikah beda agama (bukan saja pasangan Kristen Protestan dan Katolik, tetapi juga Kristen dan non-Kristen).”
Apakah pernikahan itu akta agama atau akta sosial? Ini menjadi pertanyaan penting buat kita semua. Memang ada agama yang menganggap bahwa pernikahan itu adalah akta agama. Artinya sebuah pernikahan dikatakan sah jika memenuhi hukum agama dan/atau disahkan pemuka agama.
Bagaimanakah Kekristenan memandang hal pernikahan tersebut? Menurut Yewangoe: “Dalam Teologi, pernikahan adalah masuk dalam ordo penciptaan (Redaksi: sebagaimana pandangan Calvin). Ordo penciptaan ini lebih dahulu ada sebelum ordo penebusan.”
Penciptaan terkait dengan relasi (hubungan) antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya serta relasi (hubungan) antara ciptaan yang satu dengan ciptaan yang lain. Dengan kata lain, ada relasi sosial. Sebuah pernikahan dikategorikan masuk dalam ordo penciptaan karena dari buah pernikahan itulah akan melahirkan (atau menciptakan) generasi penerus. Pernikahan juga merupakan relasi sosial. Karena itu, pernikahan adalah akta sosial.
Pemahaman inilah yang banyak dipegang Gereja Protestan (khususnya yang mengikuti Calvinisme). “Berbeda dengan Gereja Katolik, Gereja Protestan tidak melakukan peneguhan (sakramen) pernikahan, tetapi pemberkatan pernikahan. Istilah pemberkatan penikahan ini lebih cenderung pada akta sosial ketimbang akta agama,” demikian tegas Yewangoe.
Jadi Gereja Protestan menganggap pernikahan itu adalah akta sosial, sedangkan sakramen (peneguhan) pernikahan adalah akta agama. Oleh karena itu, Gereja Protestan seharusnya dapat melayankan pemberkatan nikah kepada pasangan yang berbeda agama.
Meskipun pernikahan beda agama dapat disepakati bersama antara kedua pasangan dan keluarganya, namun hal itu bukan berarti ke depannya akan baik-baik saja. Masih ada hal penting yang tidak boleh dilupakan gereja, yaitu: pelayanan pastoral, baik bagi calon suami-istri maupun sudah menjadi suami-istri, yang beda agama.
“Nikah Beda Agama Harus Mempertimbangkan Pelayanan Pastoral Gereja,” kata Yewangoe. Pelayanan Pastoral ini penting sebagai mediasi yang menjembatani komunikasi terhadap gesekan-gesekan perbedaan ajaran agama agar gesekan-gesekan tersebut semaksimal mungkin dapat dihilangkan. Selain itu, pelayanan pastoral tersebut juga bertujuan memberikan pemenuhan kebutuhan hak anak untuk memilih secara bebas agama atau kepercayaan yang kelak akan ia peluk. (Boy Tonggor Siahaan)
Be the first to comment