Gereja Papua Mencari Keadilan, Perdamaian dan Stabilitas

Abara Injros, desa kecil di sekitar Jayapura, tempat Misionaris Kristen pertama kali mendarat di Papua seratus tahun silam. (Foto: WCC/Peter Williams)

PGI.OR.ID – Gereja-gereja di Papua kini mencari keadilan, perdamaian, martabat, dan keamanan, ditengah kondisi dimana terjadi intimidasi, penangkapan ilegal, penculikkan, penyiksaan, dan pembunuhan di Tanah Papua akibat ketegangan antara Pemerintah Indonesia dengan kelompok pro kemerdekaan Papua sejak 1960-an.

Jan Bastian Rumbrar, staff hubungan ekumenis di Gereja Kristen Injili Tanah Papua (GKITP), anggota Dewan Gereja Dunia (The World Council of Churches/WCC), mengatakan bahwa GKITP dibentuk pada 1958, setelah 101 tahun bekerja dalam karya misi yang ditetapkan oleh misionaris Jerman dan Belanda yang diuji oleh sengketa politik antara Belanda dan Indonesia atas wilayah yang disebut Belanda Nugini.

“Jemaat Papua, dalam proses pengembangan spiritual dari masyarakat saat itu, sempat mengalami putus asa, ketika tengah bersiap menjadi gereja independen namun tidak diikuti oleh kemerdekaan politik untuk Papua, yang merupakan penduduk asli wilayah tersebut,” ungkap Rumbrar.

Ia melanjutkan, penindasan terjadi saat integrasi Papua ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 dengan Persetujuan New York.

Saat pelanggaran hak asasi manusia ramai di wilayah tersebut, gereja di Papua memainkan peran penting dan kuat dengan menjadi “garam dan terang” sebagaimana tertulis dalam Kitab Matius 5:13—16. Kala itu, Rumbrar menjelaskan, gereja Katolik dan Protestan di Papua telah menyuarakan jeritan penduduk setempat, tetapi hanya sedikit yang mendengar.

Keprihatinan atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Dr. Fransina Yoteni, anggota Komite Sentral WCC dari Tanah Papua dan Pendeta Alberth Yoku, ketua Gereja Kristen Indonesia Tanah Papua (GKITP), menggarisbawahi betapa sulitnya situasi di wilayah itu.

Pelanggaran hak asasi manusia telah didokumentasikan oleh organisasi-organisasi internasional. Sayangnya, tindakan substansial belum dilakukan untuk mengakhiri kekerasan terhadap orang Papua.

Kondisi ekonomi pemiskinan, layanan kesehatan yang tidak memadai, sistem pendidikan, dan eksploitasi sumber daya telah menyebabkan degradasi lingkungan dan sosial. Pembangunan di Tanah Papua selama ini hanya menguntungkan elite politik, bukan untuk rakyat biasa.

Uskup Agung Desmond Tutu, mengatakan, “Orang-orang Papua Barat telah ditolak hak asasi manusia mereka, termasuk hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka menangis untuk keadilan dan kebebasan.”

Sebuah dialog pimpinan gereja Papua dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011 difasilitasi oleh PGI. Pertemuan tersebut berlangsung pada tanggal 16 Desember 2011 diikuti oleh 4 pimpinan gereja di Papua yang didampingi oleh pimpinan PGI, Pendeta Yewangoe sebagai Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom sebagai Sekretaris Umum dan Novel Matindas dari Biro Papua PGI. Namun sangat disayangkan kesepakatan yang telah dihasilkan dari pertemuan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Presiden SBY.

WCC Sekjen Pdt Dr Olav Fykse Tveit, yang mengunjungi Tanah Papua pada 2012, mengatakan, “Kami mendukung perjuangan hak asasi manusia rakyat Papua. Kami mendesak diakhirinya kekerasan yang sedang berlangsung dan impunitas. Kami mendukung seruan untuk keadilan sosial dan ekonomi melalui dialog yang serius dan proses politik yang konkret.”

Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (The Pacific Conference of Churches/PCC) berperan penting dalam menuntut keadilan bagi rakyat Papua. Mendukung perjuangan untuk keadilan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan, termasuk dari warisan kolonial di Pasifik, telah lama diamanatkan PCC. PCC sekarang berjuang keras memberikan advokasi bagi masyarakat Papua.

“Dalam beberapa tahun terakhir, PCC telah berupaya untuk melibatkan para pemimpin gereja, masyarakat sipil, kelompok berbasis agama, pemerintah dan pemimpin politik di wilayah tersebut, bukan hanya untuk meningkatkan kesadaran tentang, tetapi lebih penting juga untuk mendorong aksi bersama-sama melawan penindasan di bawah pemerintah Indonesia, “kata François Pihaatae, Sekretaris Utama PCC sekretaris jenderal dan anggota KomisiUrusan Internasional Gereja-Gereja WCC.

“PCC telah memperbarui komitmennya untuk menemani masyarakat lokal Tanah Papua untuk melawan penindasan dan memberikan kontribusi untuk menembus isolasi yang dialami mereka,” tambah Pihaatae.

Namun upaya advokasi oleh gereja-gereja bisa menjadi suatu tantangan. Saham Jan Rumbrar bahwa setiap langkah oleh gereja-gereja dapat dianggap baik pro-kemerdekaan atau anti-pemerintah, yang dapat menyebabkan stigma yang dapat mengakibatkan menjadi tuduhan pengkhianatan dan karena penjara.

Pendeta Benny Giay dari Gereja Injili Papua menggambarkan situasi gereja di Tanah Papua seperti “ubi jalar tumbuh di antara dua batu”. Di satu sisi, keinginan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri, namun di sisi lain menjadi penentu kontrol bagi pemerintah Indonesia.

Dialog dan Proses Perdamaian

Pada 2011 lalu, para pemimpin gereja lokal bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengajukan solusi damai bagi Tanah Papua. Para pemimpin gereja menyerahkan surat kepada presiden agar dilakukan dialog dengan Papua.

Mereka juga meminta Presiden Yudhoyono saat itu agar menghentikan Operasi Matoa di Paniai, Papua, yang menyebabkan 14 orang meninggal dan membakar desa tahun itu.

Untuk membantu proses perdamaian, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga memberikan ruang bagi Papua di Jakarta dengan melakukan penelitian dan advokasi isu-isu tentang Tanah Papua.

Untuk mendukung inisiatif perdamaian di Tanah Papua, Komite Eksekutif WCC mengeluarkan pernyataan pada 2012. Dokumen tersebut mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah yang diperlukan agar membebaskan para tahanan politik, mengadakan sidang perdamaian dan demiliterisasi Tanah Papua. Selain itu, dokumen itu juga mendesak agar dialog dengan orang-orang asli Papua diadakan serta mengambil langkah-langkah yang memadai untuk melindungi hak-hak mereka. (oikoumene.org/satuharapan.com)