Wajah Oikumene di Mentawai, Saatnya Kita Bertindak

Catatan kecil dari kunjungan ke Kepulauan Mentawai

Kepulauan Mentawai memang eksotis. Hamparan pulau-pulau yang terletak di bibir Samudera Hindia menyajikan keunikan budaya yang tetap terawat. Masyarakat Mentawai juga dikenal sangat erat dan kuat memegang tradisi dan adat yang diwariskan leluhur mereka secara turun temurun. Keragaman hayati dan kebudayaan daerah yang dijuluki ‘Bumi Sikerei’ ini juga dipercantik dengan bentangan pantai-pantai berpasir putih menjadi tempat nyaman bagi penikmat sunset, selain gulingan ombaknya yang menjadi surga bagi para peselancar kelas dunia.

Ironisnya, surga kecil di Provinsi Sumatera Barat itu tak berkontribusi bagi pengembangan hidup masyarakat adat Mentawai. Daerah yang terletak di sebelah Barat Pulau Sumatera ini merupakan salah satu lubang hitam dalam upaya pemerataan pembangunan di Indonesia. Dalam daftar Daerah Terpencil 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) di Indonesia, nama mereka masih tercatat tebal.

Masyarakat Mentawai bukanlah nelayan tangguh, sekalipun sehari-hari mereka kental menghirup bau laut. Orang-orang Mentawai lebih berorientasi ke darat sebagai peramu dan petani. Hasil laut hampir seluruhnya digarap nelayan-nelayan tangguh Minangkabau atau lainnya. Sayangnya, hutan sebagai pusat kehidupan dan ritual mereka semakin terancam kelestarian hayatinya dari waktu ke waktu. Romantisme era globalisasi yang kerap terjebak pragmatism dan tidak memihak pada lingkungan lestari turut menggerus tutupan hutan dan daya dukung Kepulauan Mentawai. Deforestasi semakin meluas dan menggerus perlahan konsep harmoni dan saling bergantung dalam filosofis asli Mentawai, ‘Arat Bulungan’ digempur modernisme. Masyarakat adat semakin berjarak dengan hutan.

Keterisolasian wilayah, konektifitas antarpulau yang lemah, serta keberpihakan anggaran yang timpang merupakan beberapa persoalan utama Kepulauan Mentawai. Masalah-masalah mendasar ini memperanakan rangkaian problem lainnya yang tali-temali menjerat pengembangan pembangunan di Mentawai. “’Pengelolaan politik anggaran sangat tidak berpihak pada wilayah kami’, ucap Pak Wakil Bupati dengan lirih saat kami melipir ke salah satu warung makan sederhana di Tuapejat, Ibukota Kabupaten Mentawai.

Ketertinggalan pembangunan di Kepulauan Mentawai menjadi catatan pergumulan gereja-gereja di wilayah itu. Laporan Persidangan Sinode Am IX Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) yang baru digelar di Jemaat Saibi Samukop, Siberut Tengah, memotret pergulatan pelayanan gereja yang nampak selaras dengan tantangan kewilayahan Kepulauan Mentawai. Kalau keuangan dipakai sebagai salah satu indicator pertumbuhan gereja, tak berlebihan untuk mengatakan bahwa gereja-gereja di Kepulauan Mentawai juga terhisab ke dalam kategori 3T. GKPM dalam hal ini bergulat keras dengan kemandirian dana untuk menopang gereja secara institusi maupun implementasi program pelayanannya.

Dalam seluruh tantangan wilayah dan pelayanannya, kita patut bersyukur bahwa para pelayan GKPM tetap solid mempertahankan militansi pelayanannya di wilayah kepulauan itu. Keteguhan mereka melayani jemaat di tengah situasi sulit membutuhkan nyali kenabian yang besar. Melayani di wilayah 3T memang butuh nyali dan kecintaan yang prima, apalagi bila pelayanan mereka ditakar dengan gaji bulanan seorang pendeta yang nilainya hanya 35% dari Peraturan Pemerintah No.30, 2015, tentang gaji pokok PNS. Realisasi pendapatan tahunan Sinode GKPM dari jemaat-jemaat dalam 4 tahun terakhir sebesar rata-rata 50% dari besaran target mempertegas beratnya pelayanan di wilayah yang telah dimasuki injil selama lebih kurang 100 tahun.

Indikator pemberdayaan pelayanan gereja memang tak melulu diukur dengan uang. Soliditas persekutuan umat dan keteguhan melayani para pelayannya adalah aspek penting yang harus terus digelorakan untuk menghadapi masalah kewilayahan dalam pelayanan gereja di Mentawai. Sekalipun demikian, moralitas dan militansi pelayanan tak bisa dikerangkeng dalam retorika kosong ‘rasa keterpanggilan’, tanpa memperhatikan daya dukung pada aspek kesejahteraan sosial dan ekonomi umat serta para pelayan. Berkembangnya kasus-kasus konversi iman warga jemaat di Mentawai yang semakin marak, tak serta merta bisa dikecam bila pilihan hijrah iman dilakukan secara bebas karena iming-iming peningkatan kualitas hidup yang lebih layak.

Tantangan pelayanan gereja di Kepulauan Mentawai adalah Potret kecil dari wajah ‘gereja-gereja kita’ yang bergelut di wilayah-wilayah 3T.

Mentawai adalah ‘kita’, bagian dari tubuh Oikumene gereja-gereja di Indonesia. Pengakuan ini sekaligus menegaskan panggilan untuk memenuhi visi Kristus bagi kita sebagai tubuh orang percaya yang saling melayani dengan berbagai karunia.

Semoga catatan pendek ini dimengerti sebagai undangan bagi gereja-gereja di Indonesia untuk bergabung dalam doa dan dukungan bagi Mentawai.

 

Pdt. Jacklevyn Manuputty