JAKARTA,PGI.OR.ID-Tidak dapat dipungkiri, hampir di semua agama dan kepercayaan memiliki kelompok-kelompok fundamental. Inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor pemicu konflik antar umat beragama. Sebab itu, dalam rangka menciptakan kerukunan dan perdamaian sejati, umat beragama harus mengalami tata cara dan tradisi agama lain.
Demikian benang merah dari Diskusi Publik Pluralisme yang digelar Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Regio Jabotabed, di Aula YAKOMA, Jakarta, Rabu (30/9).
Menurut Dr. Jayadi Damanik dari KOMNAS HAM, yang terjadi sekarang ini adalah paradoks. Kelompok fundamental keras seringkali menempuh cara-cara yang tergolong sebagai pelanggaran HAM untuk memaksakan kehendak mereka kepada pihak lain. Mereka mempraktekkan sikap fundamentalismenya dengan cara kekerasan, bukan saja berbagai perbuatan yang tergolong sebagai kekerasan verbal yang antara lain berupa syiar kebencian, tetapi juga kekerasan fisik yang dengan mudah kita saksikan melalui media cetak maupun elektronik,” ujar pria yang juga tim hukum GKI Yasmin ini.
Cara semacam ini, lanjut Jayadi, sebenarnya tidak boleh terjadi, dan harus disikapi dengan tegas oleh negara. Sayangnya, negara sendiri kerap tidak bertanggungjawab, dan malah menjadi penonton.
Sebagai jalan keluar terhadap konflik, Sudarto dari Aliansi Bhinekka Tunggal Ika (ANBTI) menegaskan, selain mengalami tata cara agama lain, negara harus menempatkan semua warga negara setara, dan memahami adanya hak untuk berbeda, kelompok yang berbeda ditarik kembali untuk saling bekerjasama.
Selain itu, membangun dialog pendidikan agar memahami apa itu kemajemukan, membangun warga negara yang kompeten, yang mampu memahami permasalahan dengan baik, mendesak negara untuk menjadi wasit yang adil, sehingga tidak ada kelompok yang dominan, serta membangun civil pluralism.
Diskusi juga menegaskan, menciptakan kedamaian tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga pemuka agama, aktivis HAM, dan elit politik.
Editor: Jeirry Sumampow