Setara Institute melaporkan, kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan per semester pertama 2014 (Januari-Juni) menurun drastis dibanding periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya.
Namun, penurunan ini bukan karena prestasi pemerintah, melainkan faktor eksternal, yaitu dua hajatan politik berturut-turut, pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menjelaskan dua peristiwa itu mengalihkan fokus masyarakat dan kelompok intoleran dari isu kebebasan beragama. Jadi, bukan karena keberhasilan pemerintah membuat kebijakan untuk memajukan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
“Kelompok-kelompok yang selama ini sering diidentifikasi sebagai aktor pelaku intoleransi, pada saat pilpres terafiliasi secara politik pada kandidat tertentu. Ada semacam konvensi bahwa sepanjang musim politik ini masing-masing menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kontraproduktif, sehingga mencoreng citra politik kandidat,” kata Ismail dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (11/8).
Di samping itu, dijelaskan Ismail, penurunan ini juga merupakan efek tidak langsung dari kebijakan politik negara untuk menerapkan politik stabilitas sepanjang pemilu. Politik stabilitas adalah aparat keamanan sangat berkepentingan untuk memastikan situasi kondusif sepanjang pileg dan pilpres. Karena sekecil apa pun ketegangan bila tidak diatasi akan menular dan mengganggu dua hajatan akbar tersebut.
Secara pararel, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga meningkatkan kewaspadaan tinggi menjelang pileg dan pilpres 2014, sehingga segala potensi ketegangan sedapat mungkin dapat dihindari. Karena dikhawatirkan sekecil apa pun ketegangan akan menyebar virus ketegangan yang lebih besar.
Jadi, ekstra stabilitas ini bukan ditujukan untuk memajukan kebebasan beragama, tetapi memastikan pemilu berjalan baik. Nah, efek tidak langsungnya adalah sekecil apa pun ketegangan harus segera diselesaikan dan tidak dibiarkan berlarut.
“Politik stabilitas ini masih berjalan sampai sekarang. Ini terlihat dari sejumlah kelompok beragama yang selama ini kebebasannya selalu mendapat perlawanan dari kelompok intoleransi, tetapi semenjak pemilu tidak terjadi lagi,” kata Ismail.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menambahkan tidak menutup kemungkinan setelah selesai semua proses pemilu dan masuk pada pemerintahan yang baru, kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan kembali meningkat. Sebab, di sisi lain pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan berkurang signifikan, tetapi di pihak lain politik agama pada pileg dan pilpres justru menguat. Isu agama dipakai untuk memojokkan kandidat lainnya.
“Bisa jadi saat pileg dan pilpres, kelompok intoleran ini menahan diri, tetapi setelah itu kemungkinan akan bangkit lagi. Itu sangat tergantung dari pemerintah baru bagaimana mengatasi dan mencegahnya. Tetapi kita berharap itu tidak lagi terjadi,” kata Bonar. (Suara Pembaruan)
Be the first to comment