JAKARTA, PGI.OR.ID – Badan LITBANG dan DIKLAT Kementrian Agama RI pada Tahun Anggaran 2015 menyelenggarakan penelitian tentang toleransi beragama di daerah rawan konflik. Ada delapan kota/kabupaten yang dijadikan lokasi penelitian, yakni Kota Padang (Sumatera Barat), Klender (Jakarta Timur), Kota Bekasi dan Kota Bogor (Jawa Barat), Kabupaten Temanggung (Jawa Tengah), Kota Mataram (NTB), Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah), dan Kota Kupang (NTT).
Hasil penelitian tersebut dijadikan bahan diskusi dengan tema Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik, yang berlangsung pada, Jumat (2/10) di Wisma Maluku, Jalan Kebon Kacang Raya 10,Jakarta.
Analisa umum dari hasil penelitian Badan LITBANG dan DIKLAT Kementrian Agama RI menyebutkan, toleransi dalam prakteknya di masing-masing wilayah dimaknai dengan beberapa tingkatan. Sebagian besar memaknai toleransi dengan saling menghormati pelaksanaan ibadah masing-masing dan memberi ruang di dalam interaksi sosial. Bekasi dan Padang termasuk dalam kategiori ini. Bogor dan Klender agak di atas sedikit di mana umat dari agama lain turut menjaga dan membantu dalam kategori minimal pada perayaan keagamaan.
Sementara itu di Poso dengan komposisi masyarakat dari sisi agama yang cukup berimbang menjadi wilayah ini memiliki corak toleransi yang agak berbeda. Nilai lokalitas yang selalu diupayakan agar hidup dan mengayomi semua telah memberi warna toleransi yang khas. Sebab harus diakui dibanding wilayah lain, Poso merupakan wilayah dengan konflik terberat dan terbesar dengan waktu yang cukup lama dan korban yang banyak.
Karena itu upaya internal maupun pihak luar, di antaranya pemerintah pusat, cukup kuat dalam menciptakan kehidupan yang saling menghargai. Karena itu toleransi yang terwujud tidak sekadar penghormatan terhadap ritual ibadah masing-masing, tetapi bentuk konkret dari semangat itu adalah dengan saling kunjung mengunjungi, saling dukung mendukung terhadap ritual keagamaan yang dilaksanakan masing-masing .
Kupang dan Temanggung menyuguhkan corak yang lebih dalam lagi dalam pemaknaan toleransi. “Keluarga Pelangi” istilah bagi sebuah keluarga yang memiliki ragam penganut agama diterima dengan tangan terbuka di dua wilayah ini. Karena itu pernikahan beda agama tidak menjadi sesuatu yang aneh. Di sisi lain, perayaan keagamaan telah menjadi arena interaksi yang erat satu dengan lainnya, meski dengan kerekatan dan keterlibatan dengan level yang berbeda.
Terkait elemen-elemen pendukung dan penjaga toleransi menurut hasil penelitian tersebut, institusi keagamaan menjadi alat tokoh agama sangat berperan dalam menjaga kerukunan. Institusi alau lembaga seperti FKUB atau Basolia (Bogor) yang secara kontinyu mempertemukan berbagai tokoh dan umat beragama yang berbeda tak bisa dihilangkan perannya.
Namun ada kecenderungan peran tokoh agama menurun, di antaranya di Klender (Jakarta). Menjadikan tokoh agama sebagai rujukan umat beralih bahkan berkurang drastis karena semakin sedikit tokoh masyarakat yang cukup disegani. Di sisi lain, institusi keagamaan, tak terhindarkan pula dari tuduhan melakukan aksi-aksi tertentu yang dianggap tidak pro toleransi, seperti yang dialami Basolia di Bogor.
Rekomendasi yang dikeluarkan dari hasil penelitian ini antara lain, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus memandang semua warganya sama, tidak membeda-bedakan. Karena itu aturan dan kebijakan yang dibuat untuk kepentingan bersama. Pemerintah harus secara aktif menciptakan arena-arena kerukunan di antara warganya, tanpa kecuali. Arena itu bisa kegiatan, tempat, maupun ruang-ruang yang lain.
Menyikapi hasil penelitian tersebut, salah satu narasumber, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta melihat, pemahaman toleransi yang mencuat masih terbatas pada pengakuan akan perbedaan dan penghargaan terhadapnya. Pemahaman yang demikian masih sangat dangkal dalam artian masih sangat rentan dan relatif tidak cukup kuat untuk membentengi diri manakala muncul pemicu (trigger).
“Disamping itu, kurang jelas perbandingan pemaknaan ketika seseorang melihat ke dalam dirinya dan melihat ke luar dirinya. Idealnya, begitu seorang melihat ke dalam dirinya, maka ia memiliki keteguhan keyakinan terhadap ajaran agama yang dianutnya, dan tidak membuka diri untuk mencari kebenaran yang lain,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Dr. Martin L. Sinaga. Dosen Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STT Jakarta) ini menegaskan perlunya kita memperdalam toleransi. Toleransi perlu disandingkan dengan sikap lain yaitu sikap hospitality (kesanggrahan).
“Dalam diskusi global mengenai toleransi, misalnya orang Eropa sekarang toleran terhadap imigran, tetapi istilah toleran tidak memadai kenapa, karena kami hanya toleran sepanjang kamu sudah lolos tes bahasa Jerman baru masuk, kami hanya toleran sepanjang di Swiss misalnya, pengeras suara masjid itu di dalam saja, jangan keluar,” katanya.
Sebab itu, toleransi yang sesungguhnya adalah kemampuan menerima tanpa memberi syarat, dan menerima dengan lebih terbuka, serta apa adanya.
Editor: Jeirry Sumampow