Di antara sekian banyak kisah berseliweran soal intoleransi beragama di negara ini, selalu ada kisah yang berbeda dan menumbuhkan harapan akan kebaikan manusia.
Salah satu kisah yang membesarkan hati itu nyata dalam kehidupan warga asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hidup sebagai perantau di Kota Batam, Kepulauan Riau. Kebiasaan hidup rukun di kampung halaman mereka bawa hingga ke tanah rantau.
Ya, jemaat Kristen dan umat Islam bahu-membahu dalam pembangunan gedung kebaktian Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Effata, yang berlokasi di Kelurahan Sei Binti, Kecamatan Sagulung, Batam, Kepulauan Riau.
Pembangunan gedung Gereja Effata dikerjakan secara bergotong-royong oleh masyarakat bersama sejumlah tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh agama Islam, Kristen, dan Katolik di Sei Binti. Mereka digerakkan oleh Rajab Fukalang. Dia seorang penganut Islam dan merupakan tokoh masyarakat perantau asal NTT di Kelurahan Sei Binti. Dia berasal dari Wolwal, Alor Barat Daya, NTT.
Ditemui belum lama ini di kediamannya yang hanya berjarak beberapa meter dari Gereja Effata, Rajab menuturkan, awalnya dia bersama warga Kampung Sei Binti, baik Islam maupun Kristen, bergotong-royong membangun Mushola Nurul Haq. Setelah mushola berdiri, Rajab mengumpulkan warga di kediamannya, lalu menyampaikan kepada mereka: “Kita sudah punya mushola, tapi masih kurang satu.“
Rajab yang menjadi “kepala tukang” dalam pembangunan itu menuturkan, setiap tahun warga Sagulung, baik yang Kristen maupun Islam, biasa merayakan Natal yang mereka sebut “Natal Kebersamaan”. Acara ini digagas oleh pemuda Kristen dan pemuda masjid. Tiap kali perayaan, mereka harus mendirikan tenda untuk menampung warga yang hadir. Tapi mereka kesulitan manakala turun hujan saat perayaan berlangsung. Maka timbullah niat untuk mendirikan sebuah gedung serbaguna. Namun, Rajab kemudian berpikir, daripada mendirikan gedung serbaguna, lebih baik mendirikan gedung gereja sekalian. Niat mereka ternyata sejalan dengan rencana Ketua Majelis Jemaat GMIT Ekklesia Batam, Pdt Iwan J Lay, STh bersama tua-tua jemaat. Rencana mendirikan gedung kebaktian itu untuk melayani jemaat asal NTT yang bermukim di Sagulung dan sekitarnya.
Mengapa Rajab yang seorang muslim mau berlelah-lelah mendirikan sebuah gedung kebaktian bagi umat Kristen? “Kita bawa kebiasaan dari NTT, yakni hidup berdampingan secara damai, tidak membeda-bedakan antara Islam dan Kristen,” ujar Rajab. “Apalagi, saya salut sama Pendeta yang juga tidak membeda-bedakan, mampu merangkul kami semua dengan melakukan pendekatan secara kekeluargaan,” lanjut dia.
“Memang, kita sebagai orang yang dituakan, harus bisa memikirkan kebaikan bersama agar ke depan tidak muncul masalah antarsesama saudara. Sebagai sesama anak perantau, kita harus bersatu,” imbuh Rajab yang juga ikut terlibat dalam pembangunan gedung kebaktian Jemaat GMIT Ekklesia di Batam Centre.
Sebelum memulai pembangunan gedung kebaktian di Sagulung, Rajab bersama Pdt Iwan dan tua-tua jemaat Ekklesia mengundang sejumlah tokoh muslim maupun warga muslim di kampung tersebut. “Kami kumpulkan para tokoh dan warga muslim untuk bicara dari hati ke hati. Semuanya setuju, sehingga kita langsung bergerak,”tutur Rajab.
Warga dan jemaat GMIT Ekklesia Batam mengumpulkan dana untuk membeli lahan di sisi kiri kediaman Rajab. Lahan yang sebelumnya dikelola Abraham Monokoi itu ditebus sebesar Rp 3 juta. Kemudian warga dan jemaat menyumbangkan bahan bangunan yang semuanya ditumpuk di depan rumah Rajab.
“Tidak pakai rencana macam-macam, tidak ada panitia pembangunan, tidak pakai rapat-rapat, pokoknya apa yang bisa dikerjakan, langsung saja kami kerjakan. Hampir setiap hari kami bekerja. Kadang-kadang anak-anak sudah mulai kerja baru istri saya telepon majelis untuk datang, siapkan konsumsi bagi anak-anak yang bekerja,” tutur Rajab yang sejak masih di Alor terbiasa aktif dalam pembangunan gedung gereja.
Kegiatan memasak untuk konsumsi warga yang bergotong-royong dilakukan di rumah Rajab dipimpin istrinya, Yuli. Yuli yang keturunan Jawa-Sunda itu pun tak pernah mengeluh, bahkan sangat bersemangat membantu pembangunan gedung kebaktian yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah mereka.
Setelah seluruh dinding selesai dibangun dan siap diatap, baru mereka membentuk panitia pembangunan. “Tinggal pembuatan atap, baru kami panitia pembangunan dibentuk dan mulai ada rapat-rapat,” ujar Rajab yang juga dipercaya mengerjakan kap untuk atap gereja. “Sebelum pasang kap, saya minta Bapa Lamek Fanfut untuk berdoa,” imbuh dia. Lamek Fanfut adalah majelis jemaat Pos Pelayanan Effata, Sagulung.
Pembangunan gedung kebaktian hanya berlangsung selama satu bulan, yakni 10 November 2012 – 10 Desember 2012. “Kita kebut, karena kami sudah bertekad, perayaan Natal Kebersamaan tahun 2012 sudah harus berlangsung dalam gereja,” ujar Rajab.
Setelah dinding keliling gedung kebaktian berdiri, barulah dilakukan ibadah peletakan batu pertama. Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 27 Oktober 2102 oleh mantan Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt DR Eben Nuban Timo, STh. “Kami memang sengaja menyisakan sedikit bagian di depan untuk prosesi peletakan batu pertama. Jadi Pak Eben melakukan peletakan batu pertama di situ,” tutur Rajab. “Waktu peletakan batu pertama, Pak Eben bilang, ‘inilah keturunan Ismail membangun gereja untuk keturunan Isakh,” imbuh Rajab.
Rajab menyatakan dirinya sangat gembira setelah pembangunan gereja selesai dan jemaat bisa berbakti setiap hari Minggu maupun hari-hari besar lainnya. “Ini gereja kami bangun sama-sama. Kalau dia bagus maka itu menjadi kebaikan kita bersama. Kalau dia jelek, itu kejelekan kita bersama,” ujarnya.
Rajab juga mengajak pemuda-pemudi Kristen asal NTT yang bermukim di wilayah Batu Aji dan sekitarnya agar bergabung ke Pos Pelayanan Effata. “Saya ajak mereka untuk bergabung ke sini. Sekarang hampir semua sudah bergabung dengan GMIT,” ujar Rajab.
Sumber: http://satutimor.com/2014/02/21/tokoh-muslim-pimpin-pembangunan-gereja-di-batam/
Be the first to comment