Tim Simplikasi UU Paket Politik Sudah Mulai Bekerja

JAKARTA,PGI.OR.ID-Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, telah membentuk tim untuk menyusun draf naskah simplikasi paket Undang-Undang Politik. Tercatat ada sembilan orang pakar yang dilibatkan dalam penyusunan naskah. Selain itu, dalam penyusunan, partisipasi publik akan diperhatikan. Masukan dari para penggiat kepemiluan diharapkan bisa memperkaya naskah yang sedang disusun.

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo mengatakan itu di Jakarta, Minggu  (26/6). Menurut Soedarmo, penyusunan draf naskah simplikasi paket UU Politik memang dibawah koordinasinya. “Kita sudah mulai bekerja. Sekarang dalam proses pembentukan panitia antar kelembagaan,” kata Soedarmo.

Namun kata Soedarmo, tim yang dibentuk belum membahas substansi. Masih menyusun daftar isu-isu krusial. Dengan begitu, tim bisa bekerja dengan kerangka yang jelas serta terukur. Dan, hasilnya nanti bisa lebih fokus. Pemerintah sendiri, sangat terbyuka terhadap berbagai masukan. ” Sudah  ada 9 orang pakar yang dilibatkan. Alhamdulillah, sekarang sudah mulai bekerja,” katanya.

Salah satu anggota tim penyusun draf simplikasi paket UU Politik, Djohermansyah Djohan menambahkan memang sangat perlu seluruh UU yang terkait dengan pemilihan umum disatukan. Sebab negara maju juga melakukan itu.  “Perlu disatukan seluruh UU Pemilu termasuk UU Parpol, seperti banyak dilakukan negara maju. Sehingga singkron, bahkan penyelenggaranya begitu juga. Ngapain di pisah, satuin saja,” katanya.

Dengan adanya simplikasi UU Paket Politik, kata Djohermansyah kedepan tak ada lagi antar UU yang terkait dengan pemilu terjadi kontradiksi satu sama lain. Indonesia membutuhkan sebuah regulasi yang utuh. ” Kita butuh, sebuah election law yang utuh,” ujarnya.

Penggiat kepemiluan yang juga anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Yulianto juga mendukung langkah penyatuan paket UU Politik. Menurut Yulianto, simplikasi  paket UU Politik sangat penting. Dengan simplikasi atau penyatuan, setidaknya penataan sistem pemilu bisa lebih maksimal. “Sebab kalau terus terpisah, potensi ketidaksinkronan antar regulasi politik, cukup besar,” ujarnya. (AS)