Terkait UPR Siklus Ke-3, Komnas Perempuan Desak Delegasi Indonesia Terbuka

JAKARTA,PGI.OR.ID-Menyambut Universal Periodic Review (UPR) Siklus Ke-3 Dewan HAM PBB Atas Kondisi HAM di Indonesia, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam siaran persnya yang dikeluarkan baru-baru ini, mendesak agar delegasi Pemerintah RI harus terbuka menyampaikan situasi situasi hak asasi manusia di Indonesia, terutama hak asasi perempuan sebagai penghormatan pada hak kebenaran para korban.

Selain itu, delegasi Pemerintah RI perlu mengadopsi sebanyak mungkin rekomendasi yang disampaikan berbagai Negara anggota PBB terhadap Indonesia, sebagai komitmen untuk terus meningkatkan perbaikan situasi HAM di Indonesia. Dan, mengajak berbagai elemen negara dan masyarakat Indonesia untuk memantau proses UPR, dan turut mengawal hasilnya bersama-sama, dengan penanggungjawab utamanya adalah negara.  Komitmen di UPR ini harus jadi komitmen bangsa dan janji Indonesia pada dunia.

UPR Dewan HAM PBB adalah mekanisme periodik silang review berbagai negara di dunia atas kondisi HAM sebuah negara  yang dilakukan secara bergantian. Satu negara secara periodik akan dapat giliran untuk dilihat kembali setiap 5 tahun sekali. Indonesia sudah 3 kali mendapat giliran yakni siklus ke-1 pada tahun 2008, siklus ke-2  pada tahun 2012 dan siklus ke-3 akan jatuh pada tanggal 3 Mei 2017 di Palais de Nation  PBB di Geneva.

Tahap-tahap yang dilakukan dalam proses UPR, berbagai pihak diberi ruang untuk menyampaikan laporan tertulis, baik CSO (Civil Social Organization), Lembaga HAM Nasional dan Pemerintah. Bahan-bahan tersebut akan dijadikan dasar berbagai negara anggota PBB untuk review dan menyampaikan rekomendasi pada Indonesia. Proses adopsi tahap 1 akan dilakukan pada tgl 5 Mei 2017 dan adopsi final pada bulan September 2017, dimana Lembaga HAM akan dapat kesempatan menyampaikan statemen lisan atas proses adopsi tersebut.

UPR bukan pengadilan HAM internasional pada suatu negara, tetapi sebagai mekanisme untuk review kondisi HAM suatu negara. UPR harus dilihat sebagai pertanggungjawaban keberadaban suatu negara atas hak asasi dan bentuk penghormatan sebuah bangsa pada bangsa lain, melalui rekomendasi global kepada negara yang sedang dilihat kembali. Indonesia akan menjadi sorotan dunia pada UPR Mei 2017 ini, setidaknya 93 negara akan menelisik 150 rekomendasi yang didesakkan kepada Indonesia pada UPR siklus ke-2 tahun 2012 lalu, dengan isu-isu kunci antara lain; Ratifikasi sejumlah konvensi,  penghapusan kebijakan diskriminatif, penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan praktek-praktek yang menyakitkan pada perempuan, perlindungan pada kelompok rentan, moratorium hukuman mati, dan lainnya.

Sejumlah rekomendasi sudah dijalankan Indonesia yang juga dilaporkan Komnas Perempuan,  namun juga masih ada hutang panjang  yang belum ditunaikan, seperti ratifikasi Konvensi ILO 189, penghapusan kebijakan diskriminatif dan hukuman mati. Selain itu juga, belum ada titik terang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, serta memburuknya intoleransi beragama dan berkeyakinan.

Komnas Perempuan sebagai salah satu mekanisme/lembaga HAM nasional juga menyerahkan laporan dan turut mengikuti proses UPR ini, baik pada siklus ke-2 tahun 2012 maupun siklus ke-3 pada tahun 2017 ini, dalam kapasitas sebagai lembaga HAM dan bagian dari delegasi Komnas HAM.

Adapun isu-isu yang diangkat Komnas Perempuan dalam Laporan ke sidang UPR ini adalah Kekerasan terhadap perempuan utamanya kekerasan seksual dan percepatan pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual, penghentian praktek yang menyakitkan perempuan (kawin anak, test keperawanan, pelukaan genital perempuan, dan lainnya),  penghapusan hukuman mati dan kerentanan pekerja migran dalam  sindikasi narkoba, dan hak anak korban perkosaan saat menjadi buruh migran diluar negeri.

Selain itu, pelanggaran HAM masa lalu dan pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan atas ketidakberulangan, utamanya pada konteks konflik yang pernah terjadi di Indonesia dari Tragedi 65, Timor Leste, Aceh, Papua, Mei 98, dan sejumlah konflik komunal atas nama agama dan lainnya. Komnas Perempuan juga masih menyoroti persoalan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang berpotensi mengkriminalkan, membatasi ekspresi dan mobilitas perempuan serta mendiskriminasi hak – hak kelompok minoritas lainnya, seperti perempuan penghayat

kepercayaan/penganut agama leluhur dan perempuan dari kelompok minoritas seksual. Setidaknya terdapat 421 kebijakan diskriminatif yang didokumentasikan oleh Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan juga melaporkan kondisi perempuan dalam konflik exploitasi sumberdaya alam (termasuk isu Kendeng) dan kerentanan perempuan pembela HAM. Komnas Perempuan juga mendorong peninjauan kembali pemberlakuan bentuk hukuman yang tidak manusiawi (termasuk hukuman Kebiri, hukum cambuk, hukuman mati dan lainnya)  dan pentingnya National Preventive Mechanism  (NPM) atas tindak kekerasan di tahanan dan serupa tahanan. Juga isu-isu lain, termasuk penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai salah satu mekanisme/ lembaga HAM nasional baik aspek legal maupun dukungan kerja-kerja strategis.