Tafsiran agama fundamentalis menghalangi semangat kesetaraan gender

Pengamat politik asal negeri Paman Sam, Jeffrey A. Winters menilai tafsiran agama di tanah air menjadi salah satu blokade kuat progresitivitas gerakan perempuan. Padahal isu kesetaraan gender merupakan hal yang penting dalam demokrasi.

Jeffrey melihat masih maskulinnya pandangan keagamaan membuat perempuan sulit untuk menyampaikan opini keagamaannya yang lebih adil dan pro gender.

“Dominasi lelaki hampir sempurna di bidang ini. Agama seperti yang kita ketahui adalah bidang yang paling berdampak pada masyarakat namun, sulit untuk direformasi,” ucap Jeffrey, dalam diskusi publik bertajuk, “perempuan dalam kabinet,” yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan di gedung Dewan Pers, Selasa (9/12).

Menurut Jeffrey, selain masih maskulin dan patriarkisnya tafsiran agama di tanah air, menguatnya fundamentalisme menjadi masalah serius bagi gerakan perempuan.

“Saya kira trend yang jelas di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto adalah munculnya kelompok garis keras dan fundamentalis yang merasa berhak memperjuangkan agenda mereka,” lanjut Jeffrey.

Meski partai agama kalah dalam kontestasi politik, Jeffrey menambahkan, tetapi gerakan agama yang radikal menang dalam masyarakat. Kondisi ini, dalam kacamata Jeffrey, secara akut akan menihilkan suara-suara perempuan.  “Dan yang berbahaya adalah tafsir-tafsir yang tidak mempromosikan kesetaraan gender,” ujarnya.

Meski menilai sosok Jokowi memiliki komitmen terhadap semangat kesetaraan gender sebagaimana terlihat dalam komposisi di kabinet, Jeffrey mendesak pemerintahan Jokowi-JK untuk mengambil sikap yang jelas dalam menghadapi paham-paham radikal.

“Seharusnya hal semacam ini dapat dikontrol oleh negara agar promosi kesetaraan gender tercapai secara luas,” tegasnya.

“Negara harus hadir dalam menangani dan mecegah kekerasan yang kelompok radikal lakukan terhadap perempuan dan anak-anak kita,” ucap Jeffrey

Sementara itu Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardhani menyesalkan masih adanya adanya diskriminasi pada masyarakat karena persoalan perbedaan keyakinan di tanah air.

“Perempuan Ahmadiyah dan para penganut agama lokal selama 10 tahun terakhir didiskriminasi oleh negara dan warga negara lainnya,” ucap Jaleswari, yang juga salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.

Sebagaimana diketahui bersama para pengungsi Transito yang juga diisi oleh anak-anak dan perempuan belum dikembalikan hak-hak sipilnya oleh warga negara. Sementara itu, para penganut agama lokal kerap kali mendapat kesulitan untuk mendapatkan pelayanan fundamental sebagai warga negara seperti pembuatan akta kelahiran dan di dunia pendidikan.

Selain itu, Jaleswari yang merupakan pakar di bidang pertahanan ini juga menyinggung mengenai perda-perda syariah yang juga mendiskriminasi hak-hak perempuan.

”Kita dihadapkan pada kenyataan sebagaimana Komnas Perempuan laporkan banyak perda-perda diskriminatif selama 10 tahun terakhir,” ujar Jaleswari.

Menjamurnya perda-perda Syariah di tanah air diduga kuat memberikan dampak serius pada kebebasan dan hak-hak perempuan. Terakhir di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dibuat sebuah peraturan daerah bernama Qanun Jinayah. peraturan ini membuat hak-hak dan kebebasan perempuan semakin tidak terjamin. (icrp-online.org)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*