LOMBOK,PGI.OR.ID-Hari kedua kegiatan Sidang MPL-PGI 2020 yang berlangsung di Hotel Aruna Senggigi, Lombok, NTB, Rabu (4/2), diisi dengan diskusi panel yang menghadirkan nara sumber mantan Ketua Badan Pembinaan Indeologi Pancasila (BIP), Yudi Latif, Ph.D, dan Anggota DPR RI dari PDIP, Mercy C. Barends. Diskusi menyoroti kemandirian mengelola tantangan demokrasi dan kebangsaan, kaitannya dengan spiritualitas keugaharian.
Menurut Yudi Latie, ugahari berarti mengambil sikap proporsional. Reformasi, lanjutnya, menghadirkan kebebasan, bahkan memberikan kebebasan yang luar biasa, dan memberi dampak positif dan negatif. Kebebasan sebagai positif yaitu bebas mengembangkan diri, bebas menunjukkan kemampuan, dan mewujudkan kesejahteraan.
“Pertanyaannya mengapa reformasi tidak menghasilkan produktifitas seperti yang kita harapkan. Karena kebebasan sekarang ini masih berkesan natural liberty atau masih bergantung pada kekuatan atau kekuasaaan individu untuk mengejar mimpi masing-masing. Bukan civil liberty atau kebebaan sipil yang bertumpu pada keinginan bersama (general will) atau keinginan kolektif (collective will). Akibatnya memunculkan kesenjangan yang semakin luas,” ujarnya.
Sebab itu, untuk mewujudkan keinginan bersama, maka masyarakat harus menjadi warga negara atau netizen, yang sadar akan hak dan kewajibannya. Supaya demokrasi memenuhi tujuannya, yaitu mewujudkan keadilan bagi kehidupan bersama, maka perlu mentransformasi dari kebebasan alami menjadi kebebasan sipil. “Untuk mewujudkan hal itu, negara telah memiliki kerangka kebebasan sipil yaitu Pancasila. Namun yang menjadi persoalan sekarang bagaimana membudayakan Pancasila dalam kehidupan kita,” jelas Yudi.
Menurutnya, komunitas agama, sekolah, kerja, mdia dan adat, menjadi agen utama dalam mewujudkan Pancasila sebagai tata nilai. Sementara negara bertugas mewujudkan Pancasila sebagai tata kelola. Semuanya harus proporsional. Tugas gereja membawa Pancasila sebagai tata nilai, tapi jika terlibat politik praktis, ini akan menghancurkan nilai. Negara juga sebaliknya. Dia berfungsi mewujudkan tata kelola agar menciptakan good netizen.
Sementara itu, Mercy C. Barends menekankan, bahwa krisis bangsa, seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan sebagai bagian dari tugas dan tanggungjawab yang harus digumuli gereja. Dengan demikian, partisipasi dan keterlibatan aktif gereja dalam pekerjaan Allah dalam upaya menegakkan keadilan, perdamaian dan cinta kasih bagi umat manusia dan dunia adalah sebuah pekabaran Injil.
Jika gereja hadir untuk pembebasan manusia, ujar Barends, maka gereja harus terlibat dalam politik, tetapi tidak dalam hubungan “konspirasi”. Hubungan gereja dan politik adalah hubungan kemitraan yang kritis. Hubungan kemitraan, karena Alkitab menyebutkan, pemerintah dan gereja adalah berasal dari Allah. Sedangkan kemitraan kritis, karena kedua institusi tersebut memainkan peranan yang sangat penting walaupun dalam domain dan fungsi yang berbeda, namun harus saling berjuang, saling mengingatkan dan saling menguatkan agar masing-masing menjalankan tanggungjawab dan perannya dengan benar.
Pewarta: Markus Saragih