
Oleh: Andreas A. Yewangoe
Kita memasuki tahun ke-4 masa pelayanan MPH/MPL-PGI sejak Sidang Raya ke-16 PGI di Kepulauan Nias (2014). Tema Sidang Raya tersebut adalah: “Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya (bdk. Mazmur 71:20b)”, dengan sub-tema: “Dalam Solidaritas Dengan Sesama Anak Bangsa Kita Tetap Mengamalkan Nilai-nilai Pancasila Guna Menanggulangi Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme, dan Kerusakan Lingkungan.” Kita percaya Tuhan sedang bekerja dengan, dan di tengah-tengah bangsa kita yang di dalamnya gereja berada dan melayani. Kita percaya bahwa negara dan bangsa ini adalah anugerah Tuhan. Ia mempersatukan dan menciptakan kita sebagai bangsa yang hidup di Nusantara ini.
Dengan sengaja kita memilih kata-kata “mempersatukan” dan “menciptakan” sebab yang disebut “bangsa Indonesia” adalah sesuatu yang baru (novum) di atas pentas sejarah dunia. Allah mempersatukan kita sebagai SATU bangsa dari bangsa-bangsa yang mendiami Nusantara ini. Ia MENCIPTAKAN kita sebagai bangsa dari yang tidak ada menjadi ada, seperti Israel juga diciptakan. Istilah “menciptakan” (bara) dipakai oleh ahli Perjanjian Lama, Gerard von Rad guna mengacu kepada Israel yang muncul di atas pentas sejarah dunia di tengah-tengah bangsa-bangsa besar pada waktu itu.
Itulah Indonesia yang secara sangat sadar menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini harus terus-menerus diingatkan bahwa tidak ada satupun yang terjadi di negeri ini terlepas dari Providentia Dei (Pemeliharaan Allah). Kendati keyakinan itu sudah terefleksi dalam berbagai dokumen PGI dan gereja-gereja anggotanya, namun tetap perlu diingatkan agar kita menafsir, membawa, dan mewujudkannya pada aras praksis. Itu juga berarti bahwa gereja-gereja di Indonesia ikut bertanggungjawab bagi kelangsungan hidup bangsa ini agar tidak tenggelam dalam samudera raya fanatisme agama, kepicikan suku, perangkap ketidakadilan, jebakan radikalisme, dan perkosaan terhadap lingkungan hidup.
Sidang Raya ke-16 itu memfokuskan diri pada 4 (empat) persoalan besar bangsa ini: kemiskinan, ketidakadilan, lingkungan hidup, dan radikalisme. Bagaimana persoalan-persoalan besar itu dihadapi dan dicarikan solusinya tentu menjadi bahan evaluasi kita terus-menerus. Tentu inilah kesempatan untuk kita melakukan evaluasi apakah gereja-gereja sungguh-sungguh memberi perhatian terhadap empat persoalan besar itu, atau -seperti biasanya- hanya tersimpan dalam map-map persidangan.
Ke-ugahari-an
Sidang Raya itu juga mereintrodusir satu istilah yang selama ini telah terbenam dalam lautan kata-kata: ugahari. Menurut KBBI, “ugahari” (atau ke-ugahari-an) adalah kesederhanaan, kesahajaan; walaupun harta yang bersangkutan melimpah ruah, ia tokh hidup dalam “ugahari” dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Sebagai demikian, dapat dikatakan bahwa “ugahari” adalah kesiapan untuk hidup sederhana, merasa pada dengan yang ada, tidak serakah dengan yang ada (kendati berlimpah-ruah). Ini juga menyiratkan bahwa seseorang yang hidup dalam ke-ugahari-an tidak harus bertarak (asketis) dalam kehidupan. Ia tidak perlu munafik dengan kehidupan ini. Yesus Kristus menjalani kehidupan yang sangat ugahari, sehingga bahkan bantalpun Ia tidak punya untuk meletakkan kepala-Nya (lihat Matius 8:20; Lukas 9:58). Tokh Ia tidak tabu menerima undangan makan dari orang-orang kaya.
Yohanes Pembaptis adalah contoh lain dari kehidupan ugahari itu, kendati sebagai seorang putra imam ia mempunyai hak-hak menikmati hidup. Banyak para nabi di era Perjanjian Lama memperlihatkan sikap hidup ke-ugahari-an itu. Intinya, di dalam menjalani kehidupan ugahari seseorang mampu mengendalikan dirinya. Ia sadar bahwa masih banyak orang-orang lain yang membutuhkan (apakah itu sandang, pangan, mau pun papan). Ia tidak akan menghabiskan persediaan (apapun) secara rakus dan loba sebab masih ada orang-orang lain yang membutuhkan.
Sebuah ceritera sederhana untuk menggambarkan sikap hidup ini bisa dikemukakan di bawah ini.
Konon, ada seorang penjual sayur-mayur yang secara teratur menjual dagangannya kepada para pelanggannya. Hal itu dilakukannya dengan setia kendati hasil yang diperoleh tidak selalu mulus. Waktu yang dipakai pun untuk menjual itu cukup banyak, karena ia masih harus menunggu kedatangan para langganan tersebut. Pada suatu hari ada seseorang yang membutuhkan sayur-mayur dalam jumlah banyak. Maka ia ingin membeli sayur-mayur pedagang itu sekaligus. Ternyata si pedagang tidak mau. Ia tidak mau mengecewakan pelanggan-pelanggannya yang lain kendati dengan menerima tawaran si pembeli tersebut ia bisa saja menghemat waktu.
Dari peristiwa ini kita bisa melihat, ada sikap pengendalian diri si pedagang, kendati ia bisa melanggarnya. Si pedagang tetap berada dalam sikap sederhana/kesehajaan kendati ia bisa saja melampauinya. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa itulah contoh sikap “spiritualitas ke-ugahari-an”. Dari sebuah kutipan yang saya ambil di internet. saya membaca berikut ini: “Spiritualitas ugahari adalah kebijaksanaan hidup bahwa rakhmat Tuhan cukup untuk semua ciptaan-Nya. Karena itu kita didorong untuk mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam sikap kecukupan dan sedia berbagi dengan orang lain agar semua ikut merayakan kehidupan.” Ini juga berarti, kita ikut mendorong pengembangan kualitas hidup, dan selalu terbuka kepada kemungkinan yang lebih baik semisal, persahabatan dengan siapa saja.
Penjabaran
Sikap hidup dan spiritualitas ke-ugahari-an inilah yang dijabarkan, setidak-tidaknya melalui diskursus dan pembahasan-pembahasan di dalam setiap Sidang MPL-PGI yang dikenal sebagai “Pikiran Pokok” selama tiga tahun terakhir ini. Di Malinau (2015) kita merumuskan sikap kita sebagai berikut: “Mengembangkan Spiritualitas Keugaharian: Cukup Untuk Semua”. Pada waktu itu kita mengkonsentrasikan perhatian kita kepada lingkungan hidup. Kita percaya akan berita Alkitab tentang adanya hubungan erat antara manusia dan lingkungan yang di dalamnya ia hidup.
Demikian juga relasi dengan makhluk-makhluk lainnya. Ilmu pengetahuan moderen mentipekan relasi tersebut sebagai lingkaran ekologis. Sekali mata rantai lingkaran itu terganggu, maka akibat-akibat ikutannya akan terus terjadi berupa berbagai bencana. Di Kabupaten Malinau terdapat hutan yang dengan sengaja dibiarkan sebagai “proyek”. Kita ingin belajar bagaimana sikap ugahari itu diinspirasikan oleh lingkungan alam yang tidak dirusak sebagai pelajaran bagi manusia yang cenderung sewenang-wenang mencemari, merusak, dan mengeksploitasi alam. Tidak jarang justru Kekristenan dituduh sebagai perusak alam nomor wahid yang konon didasarkan atas interpretasi terhadap Kejadian 1:28. Di abad-abad pertengahan Bonifacius, seorang pengabar Injil dari Irlandia
ketika mengabarkan Injil kepada bangsa Germania menebang pohon besar yang dipuja oleh penduduk setempat. Bonifacius berpendapat, guna menaklukkan bangsa Germania, maka pujaan dan sesembahan mereka harus ditaklukkan terlebih dahulu. Maka mulailah ia bekerja berhari-hari menebang pohon raksasa itu. Pohon itu rubuh. Apakah dengan demikian Iblis dikalahkan? Ternyata tidak. Justru mata air yang melimpah karena memperoleh sumbernya berkat pohon raksasa itu mengering. Tetapi ternyata kejadian tragis ini tidak menyadarkan umat manusia. Justru sejak itu ribuan bahkan jutaan pohon di seluruh dunia ditebang. Hutan-hutan diirusak. Kita telah melihat hasilnya berupa malapetaka alam melanda dunia tidak terkecuali Indonesia.
Di Parapat (2016) kita merumuskan sikap ke-ugahari-an kita demikian: “Mengembangkan Spiritualitas Keugaharian, Hidup Bersama Memelihara Keragaman.” Kita tahu apa yang terjadi di negeri kita dalam tahun-tahun terakhir ini. Ada kecenderungan sebagian orang memaksakan kehendak agar kita semuanya seragam dalam segala sesuatu. “Kebenaran”ditafsirkan secara sepihak sehingga tafsiran-tafsiran lain dianggap tidak benar, bahkan tidak ada. Hal ini berlaku dalam segala bidang. Di bidang agama misalnya perbedaaan-perbedaan tafsiran yang dianggap haram itu bukan saja terjadi di antara agama yang satu dengan agama agama yang lain, melainkan juga di dalam agama yang sama tetapi berbeda madzab. Maka emosi keagamaan orang dieksploitasi begitu rupa dengan memanipulasi “ayat” dan “mayat” bagi tujuan-tujuan politik jangka pendek.
Di bidang etnis kecenderungan mengagungkan etnis sendiri sangat kentara dengan menafikan dan/atau setidak-tidaknya mengecilkan keberadaan etnis-etnis lainnya. Kekalahan A Hok (BTP) di dalam Pilkada DKI Jakarta misalnya hanya bisa terjadi karena etnis China direndahkan serendah-rendahanya berhadapan dengan etnis para penolak BTP. Bahkan dalam pidato pelantikan Gubernur Anies Baswedan baru-baru ini (20 Oktober 2017) ia mempertentangkan antara “pribumi” dan “non Pribumi”. Ia menganggap, sekaranglah saat kemenangan kaum pribumi atas non-pribumi. Kita tidak tahu persis maksudnya, tetapi jelas ucapan yang disampaikan oleh seorang pemimpin sangat kuat efeknya memecah-belah masyarakat. Di bidang sosial-politik kita juga menyaksikan kecenderungan partai-partai politik yang berjuang pertama-tama bagi kejayaan partainya, bukan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara tidak langsung para petinggi parpol ini tidak menginginkan adanya keragaman keyakinan dan langkah politik di antara anak bangsa. Dalam kasus Setya Novanto yang sangat populer dan kontroversial sekali gus kita melihat secara jelas bagaimana perjuangan di dalam Golkar untuk mempertahankannya baik sebagai Ketua Golkar mau pun sebagai Ketua DPR-RI kendati berbagai bukti sudah sangat jelas bahwa yang bersangkutan teribat dalam persoalan E-KTP. Di bidang sosial-ekonomi kita juga melihat kesenjangan yang masih menganga antara yang berpunya dan yang tidak berpunya, bahkan ada semacam pemutlakan kepentingan sektor ekonomi tertentu dengan mengabaikan sektor-sektor lainnya. Dan seterusnya. Jelaslah bahwa keengganan untuk mengakui keragaman dan mempromosikan keseragaman adalah jauh dari spiritualitas ke-ugahari-an yang menghendaki “Kebijaksanaan Hidup” dan keyakinan bahwa “Rakhmat Tuhan Cukup Bagi Semua”.
Di Salatiga (2017) kita memberi perhatian kepada keadilan agraria. Lengkapnya: “Spiritualitas Keugaharian, Menggapai Keadilan Agraria Untuk Semua.” Masalah tanah adalah masalah lama tetapi yang senantiasa baru. Ada UU Agraria tetapi tidak selalu diterapkan secara konsisten. Di era Bung Karno, pihak PKI memaksakan kehendak secara sepihak agar tanah-tanah dibagikan kepada para petani dan buruh-tani. Dari merekalah berbagai istilah menyeramkan muncul seperti “Tujuh Setan Desa”, “Kabir” (Kapitalis Birokrat), dan seterusnya. Peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara (pada tahun-tahun 1960-an) di mana seorang tentara (TNI) dibunuh oleh PKI gara-gara masalah tanah masih melekat dalam ingatan kolektip bangsa ini. Bagaimanapun persoalan agraria harus ditanggulangi. Tidak layak seseorang atau segolongan memiliki sekian ratus bahkan sekian ribu hektar tanah sementara sebagian besar lainnya hidup berdesak-desakan di atas tanah yang sempit.
Kita juga menyaksikan bagaimana tanah-tanah produktip dipakai untuk membangun hotel-hotel, mal, bahkan lapangan golf, dan seterusnya, sementara menyisakan tanah-tanah yang tidak produktip bagi sebahagian besar rakyat. Pada pihak lain, kita pun menyaksikan bagaimana rakyat didorong menjual tanahnya dengan dalih pembangunan (di era Suharto) dan keyakinan agama (di era sekarang), dan seterusnya. Maka berbagai gerak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan membagi-bagikan sertifikat tanah bukan sekadar perbuatan simbolis, tetapi merupakan permulaan dari perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang agraria. Sangat masuk akal dan tepat gereja-gereja mendukung keadilan sosial di bidang agraria ini. Itulah wujud spiritualitas ke-ugahari-an di bidang agraria.
Luwu: “Merayakan Keragaman Bagi Kehidupan Kebangsaan Yang Utuh”
Pikiran Pokok ini mirip dengan pikiran pokok di Parapat. Kelihatannya demikian. Namun penekanannya berbeda. Di Parapat kita menekankan pengembangan hidup bersama di dalam memelihara keragaman. Di Luwu kita lebih menekankan ada aspek perayaannya. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah celebration, festivity. Di bahasa Indonesia, “festivity” menjadi “pesta”, yang merupakan kebiasaan bagi orang-orang Indonesia guna merayakan hal-hal dan kejadian-kejadian yang dianggap penting.
Perayaan memang dilakukan untuk hal-hal penting seperti hari ulang tahun, ulang tahun perkawinan, bahkan setelah wisuda. Semuanya ini mengandung aspek ucapan syukur karena setelah mengalami hal-hal yang mungkin sulit di dalam perjuangan hidup, akhirnya tiba pada tahap ini. Dengan perayaan itu relasi-relasi sosial kembali diperkuat. Kita teringat misalnya akan fenomena yang berulang setiap tahun yaitu “mudik”. Kendati begitu sulit di perjalanan, tokh orang akan berusaha mati-matian kembali ke kampung-halaman. Ada rasa nikmat tertentu ketika orang berhasil kembali, setelah sekian lama melakukan ibadah puasa.
Namun demikian, perayaan tidak hanya berdimensi sosial. Perayaan juga mempunyai matra vertikal. Eka Darmaputera misalnya mencatat kebiasaan Slametan yang dilakukan di kalangan etnis Jawa. Menurut Eka, ada akta ritus di dalamnya, dan ritus adalah dimensi ekspresif dari agama. Di dalam ritus ini orang memperkuat (kembali) relasinya dengan Yang Ilahi, di samping, tentu saja penguatan relasi sosial. Menurut Eka yang mengutip Clifford Geertz, Slametan dapat diadakan bagi hampir setiap kejadian yang ingin dirayakan, diperbaiki atau disucikan. Kelahiran, pernikahan, pengusiran setan, kematian, pindah rumah, panen, ganti nama, membuka pabrik, penyakit, menyenangkan hati roh pelindung desa, mimpi buruk, sunat, dan memulai sebuah rapat politik, semuanya merupakan kesempatan untuk mengadakan Slametan. Jelaslah bahwa cakupan perayaan ini luas sekali, baik yang menyenangkan maupun yang mendukakan.
Maka pertanyaan yang ada di depan kita adalah, layakkah kita melakukan perayaan bagi keragaman di Indonesia yang justru dalam beberapa waktu ini selalu terganggu dan diganggu? Kalau kita melihat rumusan Eka tersebut di atas, jawaban kita tentu saja cenderung mengafirmasinya.
Tetapi sebelum kita menjawab dengan “ya” ada baiknya kita meninjau terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “keragaman” dan “kehidupan kebangsaan yang utuh”.
Seperti telah dikatakan berkali-kali dalam berbagai kesempatan, bangsa Indonesia memang sangat beranekaragam, baik dari segi suku, ras, etnisitas, mau pun agama. Ini bagus tetapi sekaligus juga menyimpan kerawanan di dalamnya. Sekaligus inilah juga tantangan untuk terus-menerus berusaha mempertahankan keragaman itu. Adanya kesatuan bangsa Indonesia menurut Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 di hadapan “Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)” adalah karena “kehendak untuk bersatu” (dengan mengutip Ernest Renan, “Bangsa adalah mereka yang mempunyai kehendak untuk bersatu, le desir d’etre ensemble).
Ia pun mengutip Otto Bauer dalam bukunya, Die Nationaletatenfrage: “Was ist eine Nation? Eine Nation ist eine Schiksalgemeinschaft erwaschene Charactergemeinschfat” (“Apakah Bangsa? Bangsa adalah suatu persekutuan perangai yang timbul karena persatuan nasib.”) Jadi yang disebut “bangsa” bukan saja karena adanya kehendak untuk bersatu, tetapi juga karena adanya persatuan perangai dan nasib. Tetapi ini saja tidak cukup. Kita membutuhkan Nationale Staat, kata Bung Karno. Ya, Negara Kebangsaan, bukan Kerajaan, bukan Negara Agama. Negara itulah yang berdiri pada tahun 1945 dengan dasar yang sangat kuat, Pancasila, yang merupakan rumah bersama bagi keanekaragaman kita sebagai bangsa. Bhinekka Tunggal Ika, “Beragam Tetapi Satu Jua Adanya”, itulah semboyan nasional kita. Kita merayakannya.
Tetapi justru “Negara” itulah yang diobok-obok dalam tahun-tahun terakhir ini. Sejak keruntuhan Orde Baru (1998), Pancasila juga dianggap ikut runtuh karena rezim Suharto memang memanfaatkannya guna mempertahankan kekuasaannya yang penuh dengan KKN. Ketimbang menjadi rumah bersama, Pancasila telah dibajak oleh Orde Baru sebagai alat kekuasaan. Dengan diabaikannya Pancasila itu, maka terjadilah kekosongan ideologi. Kekosongan ini dimanfaatkan oleh berbagai ideologi dari luar yang bukan saja berbeda, melainkan juga bertentangan dengan Pancasila.
Sasaran yang dianggap empuk adalah generasi tuna Pancasila itu. Gus Dur, dalam bukunya Ilusi Negara Islam mensinyalir masuknya golongan Wahabi dari Arab Saudi ke Indonesia yang memperjuangkan pemurnian Islam dari unsur-unsur budaya. Gus Dur malah menyifatkan gerakan ini sebagai “musuh dalam selimut.” Lalu muncul juga “Hisbut Tahrir Indonesia” (HTI) yang mempergunakan dengan cara cerdik ruang kebebasan setelah reformasi itu dengan menyampaikan doktrin tentang pentingnya dibentuk Khilafah menurut model abad ke-6 Masehi. Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang meliputi seluruh dunia.
Sebagai demikian, berbagai batas geografis dari sebuah negara diruntuhkaan. Jelas, Khilafah mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu. Celakanya, gerakan ini dengan dalih HAM dan kebebasan demokrasi dibiarkan bergerak selama puluhan tahun dengan memasuki berbagai lembaga pendidikan. Dengan memasuki lembaga-lembaga ini, HTI memang sangat cerdik sebab dengan demikian, masa depan eksistensi dan perluasannya dijamin. Untunglah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melihat hal yang sangat berbahaya ini.
Jokowi kembali mendudukkan Pancasila pada jalur (track)nya yang benar dengan mengadakan perayaan “Hari Kelahiran Pancasila” pada 1 Juni yang disatunafaskan dengan 22 Juni (Piagam Djakarta) dan 18 Agustus (rumusan final Pancasila sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945). Presiden juga membentuk “Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila” (UKP-PIP) dengan Perpres No. 54 Tahun 2017. Tugasnya adalah: ”Membantu Presiden merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan kordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.” Unit ini sekarang sedang bekerja keras mewujudkan cita-cita itu kendati ia juga tidak boleh dipandang sebagai satu-satunya unit yang memberi solusi kepada pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila di dalam segala bidang kehidupan sebagai bangsa. Selain itu Presiden juga secara tegas membubarkan HTI melalui Perppu No.2/2017 (yang sementara itu telah menjadi UU).
Apakah tindakan pembubaran ini mencederai HAM dan demokrasi? Memang ada yang berpendapat begitu. Tetapi advokasi tandingannya adalah, Negara ini telah didirikan bersama laksana sebuah rumah yang fondasinya sangat jelas yaitu Pancasila. Ini telah disepakati bersama. Kalau memakai formulasi P4, Pancasila adalah “Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia”. Itu berarti, kita semua harus taat kepada berbagai aturan yang berlaku di dalam rumah bersama itu. Kalau rumah bersama itu sekarang digerogoti oleh anasir anti-Pancasila dan sebagai demikian diprediksi akan merobohkannya, maka sudah pasti kita tidak tinggal diam. Kita harus mengusir anasir pengacau itu.
Saya kira inilah juga pendirian gereja-gereja di Indonesia. Dalam sejarahnya gereja-gereja di Indonesia tidak pernah menentang Pancasila dan selalu menjunjung tinggi asas kehidupan berkebangsaan yang sehat. Maka cukup alasan bagi gereja (dan seluruh bangsa ini) untuk merayakannya. Itulah perayaan kehidupan kebangsaan yang utuh, yang berarti merujuk kembali kepada cita-cita para pendiri bangsa dan negara ini ketika didirikan. Di dalam kebangsaan yang utuh itulah kita, sebagaimana juga ditegaskan dalam sub-tema Sidang Raya PGI di Nias, “Dalam Solidaritas Dengan Sesama Anak Bangsa Kita Tetap Mengamalkan Nilai-nilai Pancasila Guna Menanggulangi Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme, dan Kerusakan Lingkungan”.
“Persekutuan” Sebagai Prototipe Kebangsaan Yang Utuh
Kita pernah menegaskan bahwa terbentuknya “Dewan” dan kemudian “Persekutuan” Gereja-gereja di Indonesia adalah sumbangan konkret bagi kesatuan bangsa Indonesia. Tahun-tahun 1950-an adalah tahun-tahun kritis bagi bangsa ini. Pada tahun-tahun itu berbagai pemberontakan yang bersifat kedaerahan marak. Dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan itu seakan-akan bangsa Indonesia sedang diuji, apakah mampu memperlihatkan jati diri sebagai “bangsa Indonesia” atau justru runtuh berantakan. Di tengah pergumulan-pergumulan mewujudkan kebangsaan yang utuh itu, “Dewan Gereja-gereja di Indonesia” justru dibentuk pada 25 Mei 1950. Gereja-gereja yang tergabung di dalamnya adalah gereja-gereja dengan latar belakang kesukuan yang kental. Sekaligus juga mempunyai latar belakang teologi dan eklesiologi yang tidak sama. Tokh mereka “mampu” bersatu, dengan tujuan membentuk “Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”.
Dapatlah dikatakan, inilah contoh, bahkan prototipe dari kebangsaan yang utuh. Tetapi hingga sekarang, gereja-gereja masih bergumul dengan kesatuan di dalam dirinya sendiri. Ini berat, sebab ketika gereja-gereja sempat menjadi contoh dari kesatuan kebangsaan yang utuh itu, pergumulan untuk menjadi esa tidak kunjung berhenti. Prof. John Titaley misalnya mensinyalir bahwa gereja-gereja masih tetap berada di era pra-nasionalisme, ketika Indonesia belum menjadi satu bangsa.
Ketika Indonesia telah menjadi satu bangsa, gereja-gereja justru gagal menjadi gereja yang bersifat nasional dengan melupakan sekat-sekat suku. Rasanya pandangan itu perlu dipertimbangkan dengan saksama, sehingga gereja-gereja tidak sekadar memberi contoh kepada bangsa ini pada langkah pertama, tetapi hendaknya disusul dengan langkah-langkah berikutnya. Gereja memang bisa memberi teladan kepada bangsa ini tentang bagaimana seharusnya bersatu itu, tetapi pada saat yang sama juga mestinya tetap sensitip dengan rasa kebangsaan bangsa kita.
Perayaan Perjamuan Sebagai “Sakramen” Bagi Kebangsaan Indonesia
Perjamuan Kudus adalah peringatan akan kematian dan kebangkitan Kristus. Ada memoria di situ (memoria morti et resurrectionis Christi). Dalam makan dan minum perjamuan itu kita sekali gus diingatkan adanya penguatan (kembali) persekutuan dengan sesama dan dengan Allah. Dalam persekutuan dengan sesama kita diingatkan bahwa relasi-relasi antar-manusia mestinya merupakan relasi perdamaian. Tidak ada perseteruan di antara sesama anggota persekutuan. Tetapi dasar dari persekutuan itu terletak pada Alah, atau lebih tepat pada Kematian dan Kebangkitan Kristus yang adalah inkarnasi Allah. Itu berarti bahwa perayaan perjamuan kudus tidak hanya mengandung ritus di dalamnya, tetapi sekali gus juga mempunyai efek sosial.
Pertanyaannya adalah dapatkah efek sosial yang diperoleh dari perayaan Perjamuan Kudus itu diperluas hingga ke luar, ke masyarakat dan bangsa Indonesia sehingga ia menjadi perayaan bangsa? Mestinya dapat. Tentu tidak dimaksudkan bahwa siapa saja boleh mengikuti Perjamuan Kudus yang diselenggarakan oleh gereja. Rasanya mereka juga tidak rela melakukannya. Namun demikian, dampak relasi-relasi sosial yang dipulihkan melalui perayaan Perjamuan itu mestinya tercermin juga di dalam perilaku orang-orang Kristen yang merupakan agen-agen perdamaian di dalam masyarakatnya masing-masing. Kalau ini terjadi, maka tidaklah terlalu keliru untuk menyebut Perjamuan Kudus sebagai “sakramen” bagi kebangsaan Indonesia. Bagi gereja-gereja terbentang garis yang sangat jelas baaik dengan Allah mau pun sesama manusia.
Dampak praktisnya adalah, orang-orang Kristen akan selalu menjadi pelopor bagi sebuah proses pemulihan masyarakat Indonesia yang selama ini dilanda oleh berbagai kecenderungan radikalisme dan desintegritas.
Materi ini disampaikan Dalam Sidang MPL-PGI yang diselenggarakan di Luwu, Sulawesi Selatan, 25-27 Januari 2017.
Penulis, Ketua Majelis Pertimbangan PGI.
Be the first to comment