Sidang MPL-PGI 2016. Majelis Pertimbangan PGI: Banyak Narasi Kekerasan dalam Teks Kitab Suci

Pdt. Dr. Kadarmanto Hardjowasito, anggota MP PGI.

PARAPAT,PGI.OR.ID-Aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini di negara ini makin memprihatinkan. Yang terakhir adalah teror bom di Jalan Thamrin, Sarinah, Jakarta. Dan dalam setiap peristiwa teror tersebut, selalu muncul sikap, respon dan tanggapan dari kelompok-kelompok agama, termasuk PGI. Reaksi agama-agama memang wajar terjadi, sebab peristiwa terorisme selalu dikaitkan dan dihubungkan dengan agama sebagai sumber idiologis munculnya gerakan terorisme.

Karena itu, menyikapi aksi-aksi terorisme tersebut hampir selalu muncul pernyataan dari para tokoh agama yang mengatakan bahwa kekerasan itu bukan berasal dari agama.

Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu fokus perhatian Majelis Pertimbangan (MP) PGI ketika menyampaikan pertimbangan dalam forum Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI 2016 di Parapat (23/1/2016). “Yang tidak biasa adalah terus-menerus ada pernyataan tokoh-tokoh agama yang selalu mengatakan bahwa ‘dalam agama tidak ada kekerasaan’. Padahal teks-teks Kitab Suci jelas menunjukkan adanya narasi-narasi kekerasan,” kata Pdt. Dr. Kadarmanto Hardjowasito, anggota MP PGI.

Menurut Pdt. Kadarmanto, yang kita perlukan adalah melangkah lebih lanjut dalam masalah pembacaan Kitab Suci, khususnya terhadap Alkitab dan Al-Quran. “Kita perlu mengajak umat untuk meninggalkan pembacaan secara ‘harafiah’ dan mulai membacanya secara kontekstual. Walaupun di sekolah-sekolah teologi kita diajarkan pembacaan secara kritis dan kontekstual, tetapi para lulusan sekolah teologia tidak berhasil menjemaatkan cara pembacaan secara kontekstual,” jelasnya. Dan “dalam rangka bersama-sama menghadapi terorisme, kebersamaan antar iman sangat penting,” tambahnya.

MP PGI juga menyoroti perkembangan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan kebangsaan. Moralitas politik cenderung mengalah terhadap kesepakatan-kesepakatan politik yang lahir dari kepentingan-kepentingan politik, bukan atas dasar kepentingan rakyat. Akibatnya, berhadapan dengan kepentingan politik, “segala sesuatu menjadi relatif,” ujar Kadarmanto singkat. Secara dogmatis, kenyataan ini menunjukkan adanya kredenda, tanpa agenda. Sesuatu yang “berlangsung secara ritual, tanpa etika dan tanpa moralitas,” ujarnya.

Karena itu, MP PGI menyerukan agar para politisi harus lebih waspada dan kembali berpegang kepada prinsip-prinsip moral-etis dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Dalam konteks seperti ini, maka pendidikan politik oleh partai politik menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Untuk itu, maka MP menyerukan kepada partai politik “untuk melakukan pendidikan politik sehingga kader-kadernya beretika dan cakap menegakkan keadilan dan hukum”.

Mengamati fenomena sosial-politik yang kini terjadi, MP PGI mengusulkan agar tahun 2016 dijadikan sebagai Tahun Petobatan. Tahun dimana gereja-gereja mesti mendorong dan mengajak seluruh komponen masyarakat Indonesia untuk melakukan pembaruan budi. “Pembaruan yang menyangkut seluruh eksistensi manusia, bukan hanya mentalnya,” ungkap Kadarmanto menjelaskan. Karena itu, “kita mendukung pembaruan mental (revolusi mental) yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo,” tutup Kadarmanto.