Sepenggal Kisah Pdt. Ismanoe Mestoko di Masa Prahara 1965

PGI – Jakarta. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia tahun 1965 meninggal cerita tersendiri bagi Pdt. Ismanoe Mestoko, pendeta yang menjadi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pesanggrahan, Banyuwangi Selatan, Jawa Timur.

Sebagai seorang pendeta di masa itu, menempatkan dirinya dalam pelayanan penuh risiko. Pergumulan yang dialami semakin lama semakin berat. Bayangkan, keputusan hidup-mati seseorang ada ditangannya. Hampir setiap malam dia duduk di meja makan, berdoa dan menangis. “Tuhan, tangan hamba telah berlumuran darah. Ampunilah hamba yang telah gagal menjadi gembala dombaMu, Tuhan,” Doa Ismanoe.

Pergumulan Pdt. Ismanoe terakam dalam buku Amanat Ilahi Di Tengah Kecamuk Prahara 1965 karya Drijanto Mestoko, yang beberapa waktu lalu dilounching oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih di Perpustakaan MPR RI, Jakarta.

Bagi dosen STT Jakarta, Pdt. Yongy Karman, pengalaman Pdt. Ismanoe Mestoko yang ada dalam buku tersebut menjadi kesaksian bagaimana seorang hamba Tuhan yang menyesali kegagalannya menyelamatkan domba-domba-Nya.

“Karya pengembalaan pendeta Ismanoe menembus tembok-tembok gereja. Dia memiliki keberanian keluar dari zona nyaman untuk terang-terangan membela kemanusiaan, di masa saat itu begitu mudahnya manusia menjadi malaikat pencabut nyawa dan membunuh menjadi sesuatu yang menyenangkan,” ujarnya.

Menurut Yongky, tragedi kemanusiaan yang telah dialami pada 1965 hingga saat tetap menjadi misteri, dan meninggalkan trauma. Sebab itu, untuk menghapuskan trauma tersebut perlu dilakukan rekonsiliasi seperti di Afrika Selatan.

“Tetapi sayangnya di Indonesia ini tidak pernah terjadi meski sudah ada Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran, mungkin elit kita tidak serius untuk melakukan ini. Selama ini belum diselesaikan dengan baik tetap bakal ada peringatan dari orang-orang yang selalu mengingatkan agar bangsa ini tidak lupa,” tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan Gurgur Manurut dari Yayasan Bina Kasih. Trauma hanya bisa dipulihkan melalui pengakuan dalam rekonsiliasi. “Tetapi susah sekali bangsa ini mengakuinya,” ujar Gurgur.

Bagi sang penulis, Drijanto Mestoko, buku ini diharapkan menjadi pengingat bagi para pendeta tentang pentingnya dukungan spiritual melalui kunjungan setiap hari ke rumah jemaat untuk memastikan bahwa jemaatnya tidak mengalami masalah. (ms)