Pertikaian berdarah antara warga Muslim dan Kristen di Ambon, Maluku, pada awal reformasi dapat mereda justru bukan lewat campur tangan negara, melainkan atas inisiatif warga. Lebih istimewa lagi, itu semua dimulai dari lapangan hijau.
Itu yang disodorkan novel “Jalan Lain ke Tulehu: Sepakbola dan Ingatan yang Mengejar”, karya sang penulis Zen Rahmat Sugito.
Novel terbitan Bentang Pustaka ini adalah bagian lain yang melengkapi peluncuran film “Cahaya dari Timur: Beta Maluku”, disutradarai Angga Sasongko, dengan cerita juga menyoal sepak bola di Tulehu. Produser sekaligus pemrakarsa proyek ini adalah penyanyi tenar Glenn Fredly.
Dalam buku terbit Mei 2014 tersebut, Zen mengaku mengumpulkan cerita-cerita yang sungguh terjadi, selama melakukan riset di Ambon Juni hingga Juli tahun lalu.
Zen tertarik dengan kisah hidup warga Tulehu, kampung Muslim di pesisir timur Pulau Ambon yang dikenal sebagai gudangnya pemain bola berbakat.
Salah satu fakta paling menarik dari desa gila bola itu muncul ketika konflik berdarah Ambon mendekati titik nadir. Warga Tulehu menyerang warga Kristen di Waai, desa tetangga.
Imbasnya, warga nasrani tinggal di pulau seberang Tulehu, misalnya Masohi, tak ada yang berani lewat kampung pesepak bola ini bila ingin ke Ambon. Semua harus melewati pesisir utara dengan biaya lebih mahal.
Ketegangan mereda justru setelah memasuki akhir tahun 2000, warga Tulehu menggelar turnamen sepak bola, diikuti pemain dari daerah lain, Muslim maupun Kristen. Sejak pertandingan antar-kampung ini berakhir, warga pulau-pulau seberang berani menjejakkan kaki kembali di Tulehu.
“Warga Tulehu seperti coba menebus dosanya, dengan cara main bola,” kata Zen dalam konferensi pers peluncuran bukunya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (9/6).
Dari fakta-fakta menarik berkaitan dengan sepak bola di Jazirah Leitimur itulah, novel “Jalan Lain ke Tulehu” ditulis. Cerita berpusat pada seorang wartawan bermasalah asal Jakarta bernama Gentur bertugas meliput konflik Ambon.
Lantaran satu dan lain hal, sang wartawan lantas terjebak hingga terpaksa menepi sejenak di Tulehu. Gentur lalu berkenalan dengan Said, pelatih sekolah sepak bola setempat, dengan segala permasalahan hidupnya.
Di sana, tokoh utama melihat sepak bola merupakan daya hidup para warga. Lebih jauh lagi, permainan bola kaki ini berhasil mempersatukan warga Ambon dari pelbagai latar belakang suku, agama, sampai ras.
Separuh lebih buku ini berisi soal bola dalam keseharian warga Maluku. Kendati demikian, penulis bermukim di Bandung itu mengaku tetap membahas situasi seputar konflik dipicu isu agama bermula pada 19 Januari 1999 itu.
Contohnya, imbuh Zen, sentimen warga selama masa konflik yang menganggap orang Ambon Kristen sebagai pendukung Republik Maluku Selatan. Sebaliknya, orang Islam dianggap pro-NKRI.
Walau sama-sama proyek yang dikepalai Glenn Fredly, Zen menilai bukunya bukan adaptasi dari skenario film tayang di bioskop Indonesia 19 Juni mendatang itu.
“Novelnya bercerita tentang kejadian saat konflik, sedangkan filmnya tentang persiapan tim sepak bola Maluku setelah konflik. Jadi bukan adaptasi, tapi harus dibaca sebagai prekuel,” urainya.
Glenn menuturkan, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy mendukung niatnya mengangkat cerita sepak bola yang menyerempet ingatan masa lalu soal konflik merenggut setidaknya 9.000 korban tewas itu. (merdeka.com)
Be the first to comment