LAWANG,PGI.OR.ID-Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 (PBM 2006) kembali menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam Seminar Agama-Agama (SAA) Ke-31 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Griya Bina, Lawang, Malang.
Dalam diskusi muncul kesan bahwa PBM, sebagai regulasi yang dibuat untuk mempermudah pendirian rumah ibadah, malah makin mempersulit pendirian rumah ibadah dan relasi antar agama. “Atas nama PBM malah rumah ibadah yang sudah berdiri sejak lama, bisa dibongkar akibat protes sekelompok orang yang intoleran. Ini terjadi dibeberapa gereja di Jawa Barat dan juga terjadi sekarang di Aceh Singkil,” komentar Pdt. Onesimus Dani, seorang peserta dari Gereja Kristen Pasundan (GKJ). Karena itu, maka “PBM perlu dievaluasi,” tambahnya singkat.
Menyikapi dinamika persoalan PBM tersebut, Pdt. Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI, dalam sesi pertama di SAA hari ini (20/10) mengatakan bahwa PGI memang sejak awal diajak untuk ikut terlibat dalam proses pembahasan PBM oleh Pemerintah. Pembahasannya, bersama-sama dengan semua majelis agama yang diakui negara, berlangsung sebanyak 11 (sebelas) kali pertemuan. Banyak masukan dan kritik yang disampaikan oleh PGI dalam proses tersebut. Ada yang diterima, namun ada juga yang ditolak. “Namun yang perlu ditegaskan, PGI tidak dalam kapasitas menyetujui PBM itu sebab memang draftnya sudah dibuat Pemerintah sejak awal dan itu bukan regulasi PGI tapi Pemerintah,” tegasnya.
Karena itu, Gomar juga mengatakan bahwa sejak awal “PGI menunjukkan sikap yang tidak sepenuhnya menyetujui isinya karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama.” Sikap PGI tersebut lalu “ditunjukkan dengan mengajukan minderheids nota pada saat pembahasan babak akhir draft PBM tersebut serta surat keberatan yang diajukan kepada Presiden paska terbitnya PBM tersebut,” lanjut Gomar. Sikap PGI seperti itu, tetap konsisten sampai saat ini. Namun, sebagai warga negara, PGI juga selalu mengatakan agar gereja-gereja mematuhi PBM sebagai sebuah regulasi negara.
Setelah empat tahun pemberlakuan PBM, PGI mengadakan evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Sekum PGI melanjutkan, PGI lalu membuat Surat kepada Presiden RI pada tanggal 27 Juli 2010. Melalui surat itu, menurut Gomar, PGI menegaskan bahwa pemberlakukan PBM memang belum memuaskan. Meskipun demikian, gereja-gereja berusaha taat kepada ketentuan PBM tersebut. Dalam surat itu ditegaskan bahwa PBM mestinya mempermudah umat beragama mendirikan rumah ibadat dan menjalankan ibadatnya, bukan malah mengkriminalisasi orang yang beribadat.
Berdasarkan pengalaman selama ini, PGI mendapat kesan bahwa jiwa dan kandungan PBM tersebut belum dipahami oleh aparat pemerintah/negara pada aras-aras di bawahnya. “Karena itu, dengan secara mudah umat kami dihentikan ibadatnya justru dengan mendasarkannya pada PBM. PBM tidak boleh dipakai untuk menghilangkan hak azasi kami untuk beribadat”, ujar Gomar mengutip isi surat tersebut.
Karena itu, Gomar melihat bahwa persoalan besar yang kita hadapi berkaitan dengan kebebasan beragama adalah kekosongan hukum, sebagai implementasi dari Pasal 29 UUD 1945. Satu-satunya yang ada hanyalah UU No.1/PNPS/1965, namun sifatnya sangat diskriminatif terhadap agama dan kepercayaan diluar 6 (enam) agama “yang diakui” negara. Karena itu, sulit untuk diharapkan. Regulasi baru yang muncul pun tak begitu menolong sebab sifatnya justru bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin dalam UUD 1945. “Regulasi yang ada bukannya mengatur tetapi cenderung membatasi. Selain itu, pemberlakukan regulasi tersebut juga bisa mendorong ke arah segregasi masyarakat berdasarkan agama,” ujarnya.
Dalam kaitan inilah, Gomar mengatakan bahwa “kita membutuhkan sebuah Undang-undang sebagai turunan dari Pasal 29 UUD 1945, yang isinya haruslah penjaminan terhadap kebebasan beragama dan bukan pembatasan-pembatasan.”
Dalam sesi yang sama, A. Sunarko OFM, Dosen STF Universitas Driyarkara, mengingatkan bahwa dalam hal kebebasan beragama itu, gereja ditantang secara konsisten dan kritis menerapkan prinsip kebebasan beragama itu, khususnya berkaitan dengan kegiatan misi yang harus tetap dilakukan dengan menghormati kebebasan setiap orang. “Penyebarluasan iman harus dilakukan dengan menghormati kebebasan setiap orang. Kegiatan penyebaran iman tidak boleh ‘menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin,” tegasnya.
Menurut Romo Sunarko, tugas dan peran negara juga harus jelas. Pemerintah wajib mengakui kehidupan beragama warganya dan bahkan harus mendukungnya. Namun demikian, menurut Sunarko, Pemerintah tak boleh terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan. Pemerintah dapat dikatakan “melampaui batas wewenangnya, bila memberanikan diri mengatur atau merintangi kegiatan-kegiatan religius,” kata Sunarko mengakhiri.