Sekum PGI: Sidang Sinode Sebagai Tanda Masih Adanya Komitmen untuk Berjalan Bersama

Suasana saat diskusi tema dan sub tema Sidang Lengkap Sinode GMIST

SITARO,PGI.OR.ID-Persidangan Sinode menjadi kebutuhan tak terelakkan dalam kehidupan bergereja. Hal ini bukan saja karena keharusan konstitusional, atau karena panggilan teologis, tetapi juga karena realitas sosial kita yang begitu mengenaskan. Kita memiliki kecenderungan untuk berjalan sendiri-sendiri dengan gagasan, klaim kebenaran dan kepentingan sendiri. Dalam kaitan inilah pentingnya Sidang Sinode, sebagai tanda bahwa kita masih memiliki komitmen untuk berjalan bersama, berjalan pada jalan yang sama, sekalipun berada pada kemungkinan ragam pilihan-pilihan.

Demikian antara lain disampaikan oleh Sekum PGI Pdt. Gomar Gultom, MTh pada Pembukaan Sidang Lengkap Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST), yang berlangsung pada Selasa (22/11), di Tagulandang, Kabupaten Sitaro, Sulut.

Sidang Lengkap Sinode yang ke-24 ini akan berlangsung hingga 27 Nopember dan diikuti oleh sekitar 620 peserta dari utusan resort-resort yang ada di seluruh Indonesia.

Lebih lanjut Pdt Gomar mengatakan, di tengah beragam pilihan dan bahkan kontestasi pikiran dan gagasan, hendaknya seluruh peserta Sidang Sinode memiliki kesediaan mendengar dan memberi peluang bagi semua gagasan sekalipun berbeda satu sama lain.

“Janganlah lagi kecenderungan kita untuk didengarkan dan diutamakan itu mewarnai persidangan ini, seolah kita yang paling benar. Memang kita punya kecenderungan agar semua orang berpihak kepada kita, ingin agar kebenaran berpihak kepada kita. Yang belum tentu adalah, apakah kita mau berpihak kepada kebenaran. Ini yang sedang melanda bangsa kita sekarang ini, dimana kemajemukan dan kebangsaan kita sedang dicabik-cabik oleh pemaksaan kehendak dari sekelompok orang karena monopoli tafsir dan klaim kebenaran,” katanya.

Gereja, ujar Pdt. Gomar, harus tampil sebagai pelopor untuk sedia mendengar dan menghargai yang berbeda untuk tumbuh bersama. Bersama bukan harus sama, tapi kita harus mampu merayakan perbedaan dalam kebersamaan. Itulah hakekat sinode, berjalan bersama menjejeri langkah Kristus, di tengah keragaman.

Sementara itu, Ketua Sinode GMIST, WB Salindeho, dalam sambutannya mengatakan, antara lain, “Salah satu kenyataan yang harus kita terima adalah, GMIST merupakan gereja kepulauan, sama seperti NKRI yang merupakan negara kepulauan.

“Laut adalah tempat dan lingkungan yang hidup dan menghidupkan warga kita. Kita berhadapan dengan laut yang terbuka lebat untuk ke luar kekejauhan, kekebebasan, ke masa depan dan kepelbagai kemungkinan dan harapan. Dari sinilah kita hendaknya membangun keutuhan gereja dengan tidak melihat laut sebagai pemisah antar pulau tapi justru menjadi jembatan penghuhung dari satu pulau ke pulau lainnya,” jelas Salindeho.

Untuk meneguhkan keutuhan itu, menurut Salindeho, maka pelayanan yang berbasis kasih persaudaraan merupakan perekat mutlak yang harus terus dipelihara.

Lebih lanjut, menyitir ucapan Frans Magnis Suseno, Salindeho menyebutkan, “Masyarakat Indonesia akan aman jika masyarakat Indonesia menjadi pelaku kasih. Kita perlu kasih karena masyarakat telah menjadi bengis dan tidak manusiawi lagi dan suka merusak dari belakang.”  Di tengah kondisi bangsa kita yang makin terkotak-kotak, kini memang kita perlu makin mengembangkan motto yang akrab di lingkungan masyarakat Sulut, “Torang samua basudara”.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sulut, Steven Kandouw mengakui GMIST sebagai satu gereja besar di Sulut. Dan Wagub mengapresiasi kehadiran GMIST yang selama ini berperan sebagai salah satu variabel penting dalam mengupayakan keadilan dan kesejahteraan di Sulut. Pada kesempatan sambutannya, Wagub juga mengingatkan reformasi gereja yang akan berusia 500 tahun pada Oktober 2017 yang akan datang. Lewat ini, Wagub mengajak seluruh gereja untuk terus mengupdate diri karena masyarakat berubah terus.

Bupati Kepulauan Sitaro, Toni Supit, menyampaikan perlunya kemitraan pemerintah dengan gereja, karena kita bukan hanya membangun fisik, tetapi juga mental. Kerjasama yang baik dan saling mendukung antara gereja dan pemerintah sangat diperlukan saat ini.

Ungkapan Bupati ini menarik disimak karena nampaknya sedang terjadi kekuatan tarik-menarik pengaruh antara gereja dan pemerintah di lingkungan Kabupaten Sitaro yang belum lama dimekarkan dari Kabupaten Sangihe. Dalam pelaksanaan Sidang Sinode yang berlangsung di wilayah Kabupaten Sitaro ini, terlihat begitu kuatnya tekad Panitia Pelaksana untuk membebaskan diri dari agenda-agenda tertentu dari luar gereja. Bahkan untuk penggalangan dana yang dibutuhkan sebesar 1,2 milyard pun, Panitia berupaya mandiri dengan kekuatan warga jemaat dan mengesampingkan bantuan dari Pemerintah Kabupaten, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Panitia Penyelenggara, Pdt Puasa dalam Laporan Panitia, mengawali sambutan-sambutan.

Ibadah Pembukaan Sidang Lengkap Sinode ini diwarnai oleh kekayaan budaya Sangihe, di antaranya kehadiran penari-penari Masamper yang sangat merakyat itu. Yang juga cukup menarik adalah tidak ada kotbah dalam bentuk monolog sebagaimana biasanya Ibadah-ibadah gereja. Kotbah digantikan dengan drama musikal yang menggambarkan perjuangan missionaris Jerman, Fredrick Kelling, mengabarkan Injil di tengah masyarakat Tagulandang sejak 1871 hingga berdirinya GMIST 69 tahun lalu.

Drama musikal ini diperankan sangat apik di tengah lapangan terbuka oleh muda-mudi GMIST jemaat setempat. Selain Masamper, Ibadah juga dimeriahkan dengan lagu-lagu Natal yang diperagakan oleh marching band dari murid-murid SMP Tagulandang.

Seusai Pembukaan yang berlangsung di lapangan terbuka persidangan dimulai dengan Roll-call di gedung gereja yang telah ditata sebagai ruang sidang. Kemudian dilanjutkan dengan Sesi Pembahasan Tema dan Subtema yang disampaikan oleh Pdt Gomar Gultom.