Sekolah untuk Siswa Lintas Agama Menjadi Model Toleransi

Pagi itu, Stefani Ditya Kristanti ditugaskan untuk memimpin doa sehari-hari di depan teman-temannya di sekolah.

Siswi kelas 12 itu  meminta izin kepada teman-temannya dengan mengucapkan Selamat Pagi Indonesia, seraya meminta izin teman-temannya untuk berdoa menurut agama yang dianuti dia.

Teman-teman sekelasnya mulai menundukkan kepala mereka, tetapi berdoa menurut keyakinan mereka sendiri.

“Setiap siswa mendapat kesempatan memimpin doa pagi,” kata Stefani. “Itulah sebabnya aku tahu bagaimana Hindu, Buddha, Katolik dan Muslim menyampaikan doa-doa menurut keyakinan mereka.”

Didirikan tahun 2007, SMA SPI, yang terletak di kota Batu, Jawa Timur, mendorong toleransi kepada para siswa dengan memberikan pendidikan gratis dari latar belakang etnis dan agama berbeda.

Pendiri Julianto Eka Putra percaya bahwa dengan memungkinkan siswa dari seluruh tanah air untuk saling belajar dan hidup bersama, mereka akan belajar lebih banyak satu sama lain tentang budaya dan agama berbeda yang ada di Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan 250 juta penduduk dari berbagai kelompok etnis, budaya dan bahasa.

Julianto, seorang pengusaha sukses yang berasal dari Surabaya, merasa sedih dengan gelombang intoleransi agama yang terjadi di tanah air, yang mengancam semboyan negara ini “Bhinneka Tunggal Ika.”

Maka tahun 2007, ia membeli tanah dengan luas 3,3 hektare di Batu, membangun sekolah dan asrama serta mulai mempekerjakan guru dan staf dengan total investasi sebesar Rp 10 miliar.

Dia kemudian beralih ke media sosial untuk proses pendaftaran, memilih 40 siswa – jumlah siswa yang sama diterima sekolah itu setiap tahun – dengan latar belakang agama dan etnis berbeda.

Dia memprioritaskan mereka yang yatim-piatu atau berasal dari keluarga miskin. Dari hari itu mereka pertama kali menginjakkan kaki di halaman sekolah, Julianto mengajarkan mereka tentang toleransi dan menghormati keragaman.

“Setiap tahun, saya mengadakan kontes menantang setiap siswa yang dapat menemukan dua benda, hidup atau mati, yang persis sama, saya akan memberi mereka hadiah sebesar Rp 1 miliar. Sampai hari ini, belum ada yang mendapat hadiah itu,” katanya.

Stefani, yang berasal dari Pacitan, Jawa Timur, mengatakan bahwa dia merasa beruntung bisa mempelajari budaya dan adat istiadat tentang perbedaan dari teman-temannya.

Dia berbagi kamar dengan para siswa dari Kalimantan, Papua dan Jawa Timur. “Saya baru tahu bahwa orang-orang dari Banyuwangi menyebut singkong dengan sawi, tapi di daerah saya, sawi itu adalah sebuah jenis sayur,” katanya.

Bagi Stefani, pengalaman itu telah menuntun dia menghargai budaya Indonesia yang beragam dan membuat dia bersemangat untuk mempelajari lebih lanjut tentang daerah lain di seluruh Indonesia.

Sementara itu, bagi Ridwan Dinar Maleo, pengalamannya di sekolah telah terbukti memiliki dampak yang besar.

Berasal dari Bandung, Jawa Barat, ia mengakui bahwa sebelum mendaftar di SPI, ia hanya memiliki teman-teman yang beragama Islam. Berbaur hanya dengan umat Islam menuntun dia menjadi lebih fanatik dan kurang toleran terhadap pemeluk agama lain.

Dia mengakui bahwa ia sering berpikir bahwa semua agama lain salah. Tapi, itu semua berubah ketika ia bergabung SPI dan berbagi kamar dengan siswa Kristen dari Poso, Sulawesi Tengah. “Dia mengatakan dia merasa trauma setiap kali ia bertemu seorang Muslim,” kata Ridwan.

Di antara tahun 1998 hingga 2005, Poso merupakan daerah konflik sektarian berdarah antara Muslim dan Kristen, yang telah menewaskan lebih dari 1.000 orang.

Konflik itu telah surut, namun bentrokan sporadis dan aksi teroris terus mengganggu perdamaian beberapa kali dalam setahun. Para aparat keamanan masih menganggap daerah itu rawan konflik dan sarang teroris.

Ridwan mengatakan pertemuan dengan siswa Kristen dari Poso mengubah hidup dan pandangannya tentang berbagai kelompok agama yang ada di Indonesia.

“Semua agama mengajarkan orang untuk berbuat baik.  Ini adalah pelajaran yang paling penting yang kami terima di sini,” katanya.

Ridwan kini memimpin teman-temannya dari berbagai agama dan dengan bangga bahwa ia telah membantu mengatur setiap perayaan keagamaan di sekolah: Muslim, Prostestan, Katolik, Hindu dan Buddha.

Stefani dan Ridwan adalah salah satu dari 123 siswa sedang belajar di SPI. Selain menghadiri pelajaran reguler, para siswa ini juga belajar melalui kelas informal dan kelompok diskusi tentang mata pelajaran yang tidak ada di sekolah lain, seperti keuangan dan kewirausahaan.

Para siswa juga mendapatkan keuntungan dari sekolah itu, yang mecakup perawatan kesehatan dan tunjangan bulanan.

Masyarakat sekitar menuduh sekolah itu bertujuan untuk Kristenisasi, sedangkan siswa dan orangtua selalu mengaitkan pendidikan gratis dengan kualitas rendah.

“Sekarang banyak orangtua dan siswa berlomba-lomba agar bisa diterima di sini. Tapi kuota untuk masing-masing daerah dan latar belakang terbatas,” kata wakil kepala sekolah SPI Didik Tri Hanggono.

Ia berharap sekolah ini pada suatu hari akan menerima siswa dari agama Konghucu.

“Sampai hari ini, kami belum bisa menemukan seorang guru agama Konghucu dengan gelar sarjana. Semua guru SMA wajib memiliki gelar sarjana yang (relevan),” katanya, seraya menambahkan bahwa ia memiliki rencana besar untuk SPI, tapi ia ingin meningkatkan kualitas tanpa berfokus pada peningkatan jumlah siswa atau menambahkan cabang lain.

Sejalan dengan filosofi SPI, Didik lebih peduli tentang pemberantasan kemiskinan dengan menyediakan siswa dengan rasa kewirausahaan dan keterampilan kerja.

“Jika seseorang sejahtera … mereka dapat memenuhi kebutuhan lainnya, seperti mengakses informasi melalui internet, media massa, surat kabar dan televisi. Jadi doktrin (intoleransi) dapat dengan mudah diberhentikan ketika (mahasiswa) memiliki informasi baik dan tidak mudah terprovokasi,” katanya. (ucanews.com)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*