Sejumlah Lembaga Kritisi Program Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara

JAKARTA,PGI.OR.ID-Merespon kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan akibat pandemi Covid-19, pemerintah telah menetapkan program lumbung pangan atau food estate menjadi program strategis nasional periode 2020-2024. Program ini gencar dilaksanakan, dua wilayah prioritas yang menjadi percontohan diantaranya Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.

Kabar terkini, terdapat informasi gagalnya pencapaian produksi padi di wilayah Kabupaten Pulpis, Kalteng, walau hal ini dibantah oleh Kementerian Pertanian dan beberapa pihak lainnya. Terkait hal ini, muncul sejumlah pernyataan penting dalam webinar tematik: Lembaga Keumatan Peduli Lingkungan dengan tema “Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sekadar Proyek atau Bermanfaat secara Berkelanjutan bagi Petani?” yang dilaksanakan  pada Rabu (3/3).

Pada kesempatan itu, Safrudin dari Save Our Borneo mengatakan, salah satu indikator kegagalan program food estate ini dapat dilihat dari hasil panen yang masih jauh dari target yang ditetapkan. Pemerintah optimis menargetkan 6-7 ton/Ha melalui program ini, namun realisasinya kurang dari itu bahkan untuk mencapai target yang biasa petani raih sebesar 3-4 ton/Ha saja tidak mampu. Selain itu, percepatan waktu tanam untuk meraih target 3 kali panen dalam setahun juga berakibat pada gagalnya lahan garapan petani hal ini dikarenakan adanya serangan hama tikus.

“Memandang program food estate, sejak awal bahwa kami menyatakan menolak program ini karena kami khawatir lahan-lahan terutama kawasan eks-PLG yang yang kami harapkan dapat direhabilitasi bukan justru malah dialokasikan untuk pertanian lagi.” terang Udin.

Selain itu, food estate untuk komoditi singkong juga sedang berjalan di Kab. Gunung Mas. Wilayah yang dibuka berstatus Hutan Produksi (HP) dengan tutupan hutan masih bagus dengan potensi kayu yang besar. Ketika hutan ini dibuka, yang menjadi pertanyaan kemana kayu-kayu yang memiliki nilai ekonomi ini akan dibawa? siapa yang akan mendapatkan keuntungan ini? Permasalahan lainnya bahwa proses pembukaan lahan yang sudah hampir 600 Ha ini tanpa didahului dengan kajian lingkungan sebagai dasar. Hingga saat ini publik bertanya-tanya bagaimana menyampaikan sejumlah persoalan atau pengaduan jika terjadi pelanggaran terkait program ini. Mekanisme seperti ini yang belum ada,” tambahnya.

Secara pribadi, dirinya melihat kawasan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian (Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan) hanya akal-akal licik penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggungjawab untuk menguasai lahan dan kawasan khususnya di Kalimantan Tengah. Yang mana harusnya wilayah ini dilindungi untuk kepentingan bersama.

Hal senada juga disampaikan oleh Ridwan Samosir, Sekretaris Eksekutif Yayasan Petrasa, Sumatera Utara. “Kami melakukan kunjungan ke lokasi food estate di Desa Ria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan. Hasil pemetaan yang kami lakukan bahwa kawasan food estate masuk ke dalam konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL), dan senada dengan itu program food estate yang akan diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Dairi juga masuk ke dalam konsesi PT. Gruti. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa penggunaan lahan food estate masuk ke konsesi perusahaan besar? Ini patut dikritisi karena Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang sangat rentan terjadinya konflik agraria,” ujarnya.

Lanjut Ridwan, kasus yang terjadi di Humbang Hasundutan, dari 1.000 Ha program food estate, 215 Ha diantaranya diserahkan pengelolaannya kepada petani, namun sisanya akan diserahkan kepada pihak ketiga (785 Ha). Ada 10 perusahaan yang akan kemudian melakukan pengolahan ini. Jadi, kalau selama ini sumber pangan kita berasal petani, maka dengan program food estate akan ada pergeseran aktor: penyedia pangan nasional mulai dialihkan kepada industri dan korporasi.

“Selanjutnya, ketika program food estate berjalan maka perusahaan besar akan bersaing dengan petani lokal. Hal ini berpotensi timbulnya kesejangan antara petani lokal yang masih manual dengan korporasi yang memiliki infrastruktur dan sumber daya yang besar. Lalu, bagaimana dengan pasar? Bagaimana dengan petani lokal ketika mereka memasarkan produknya? Apakah hasil pertanian dari food estate tidak akan berdampak pada mereka? Pemerintah harus menjelaskan kepada publik khususnya kepada petani tentang akses pasar terhadap hasil produksi mereka. Pemerintah juga harus mempertimbangkan potensi perubahan dari petani mandiri menjadi buruh tani di masa depan,” tambahnya.

Sementara itu, Fatkhurohman, Pemerhati Lingkungan Kalimantan Tengah menyampaikan, dari sisi kelembagaan bahwa hadirnya food estate di dasari oleh kondisi krisis pangan akibat pandemi Covid-19, namun tidak ada kebijakan di level Kepres atau Inpres yang mengaturnya. Hal ini menurut saya merupakan masalah besar karena akan berdampak pada kerja-kerja yang terjadi parsial. Jika kita bercermin pada pelaksanaan program ini dan mengibaratkannya sebagai sebuah orkestra, maka yang muncul hanya ada suara bising cendrung gaduh semata.

“Hal ini karena semuanya berjalan secara parsial karena tidak ada conductor yang dapat mengatur menjadi irama yang harmonis. Di sisi kebijakan, Perda Tata Ruang Kalteng tidak menjadi rujukan dalam banyak hal termasuk program ini. Rekomendasi saya sederhana, marilah kita pertimbangkan manfaat yang lebih besar, resiko yang lebih kecil, dengan memastikan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang rentan terhadap dampak dari program ini, dan juga agar mitigasi berdampak efektif,” tambah Fatur.

Webinar juga menampilkan sejumlah penanggap, seperti Muhammad Wahyu Agang (Tim Ahli KLHS Food Estate Kalimantan Tengah), Pdt., Jimmy Sormin, M. A (Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI), dan Agustinus Teras Narang (Senator DPD RI Kalteng).

Menurut Muhammad Wahyu, pada dasarnya Tim Ahli KLHS Food Estate Kalimantan Tengah telah menjalankan proses KLHS Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan di Kalteng, sesuai dengan tahapannya berdasarkan kebijakan yang ada tentunya dengan tidak meninggalkan proses partisipatif masyarakat. “Sejumlah fakta implementasi food estate di sejumlah daerah ini sangat bermanfaat bagi kami. Kami sangat terbantu dengan laporan dan data dari lapang karena dapat kami tuangkan dalam proses penyusunan KLHS. Harapannya proses deliberatif melalui KLHS ini dapat kita kawal bersama sehingga menjadi pembelajaran. Kegagalan masa lalu akan menjadi masukan bagi kita kedepan,” ujar Wahyu.

Sedangkan Pdt., Jimmy Sormin, M. A berpendapat, jika benar perhitungannya program ini akan justru merugikan banyak pihak serta proses yang salah sejak awal, hulu hilirnya, dikhawatirkan program ini hanya akan menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga program ini hanyalah sebuah kebohongan yang akan menciptakan kebohongan lain serta menciptakan dosa berulang dengan daya rusak yang semakin bertambah. Berangkat pula dari kegagalan proyek nasional jauh sebelumnya di Kalimantan dan Papua.

“Melihat sejumlah persoalan ini rekomendasi kami bagi pemerintah dan pihak terkait adalah perlu untuk melihat dan mengkaji program ini, kiranya semangat ‘memberdayakan’ petani tidak berubah menjadi ‘memperdaya’ petani dan ‘memperdaya’ anggaran negara. Jika ingin menjadi bangsa ini diberkati dan program food estate ini juga diberkati, mulai dari niatan sampai dengan pelaksanaan haruslah dipenuhi dengan kejujuran dan asas-asas yang mendukung dan memuliakan makhluk dan merayakan kehidupan. Kita harus menjadi manusia utuh yang berlaku adil dan hidup dalam berkelanjutan,” terang Jimmy.

Sementara Agustinus Teras Narang, mengatakan, program food estate menjadi penting dan perlu untuk didukung namun dengan catatan adanya prinsip keberlanjutan didalamnya. Artinya program ini harus memenuhi aspek keselamatan ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangannya. Selain itu, karena program ini melibatkan lintas kementerian, saya mencoba mendorong ada payung hukum yang jelas untuk mengatur semua pihak. Perlu adanya sebuah badan otorita pangan yang mengawal dan memimpin agenda ini, agar lebih dapat fokus dalam membangun sinergitas kepentingan antar kementerian, termasuk pemda dan masyarakat.

“Secara umum pelaksanaan program ini perlu menjadi perhatian dan dievaluasi. Saya berpandangan kita harus tetap kritis yang konstruktif tentunya serta memiliki semangat untuk membangun kepentingan dan tujuan bersama,” tegasnya.

 

Pewarta: Markus Saragih