JAKARTA,PGI.OR.ID-Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.(Ormas).
Ada tiga alasan dikeluarkannya peraturan tersebut yaitu, pertama, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Kedua, terkait aturan hukum yang belum memadai. Ketiga, Perppu bisa diterbitkan jika kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru.
Keluarnya Perppu ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Ada yang berpendapat hal itu sebagai langkah sewenang-wenang pemerintah untuk membatasi ormas. Namun tidak sedikit pula yang setuju dengan adanya Perppu dengan sejumlah catatan.
“Pada masa situasi dan kondisi sekarang memang kita butuh Perppu ini. Tapi ada catatan-catatan yang perlu diingatkan kepada pemerintah, yaitu gunakanlah ini dengan sewajarnya, dan tidak sewenang-wenang untuk menghantam dan sebagainya. Karena Perppu ini punya bahaya yang luar biasa terutama dalam pasalnya masih menggunakan kata-kata seperti penistaan. Ini bisa jadi jastifikasi untuk melakukan penindasan,” jelas Pdt. Albertus Patty, dalam diskusi menyikapi Perppu No. 2 Tahun 2017 di Grha Oikoumene, Jakarta, Jumat (21/7). Selain aktivis, diskusi tersebut juga dihadiri sejumlah praktisi hukum.
Lanjut Albertus, perlu diingatkan pula karena Perppu ini menilai berdasarkan Pancasila, maka pemerintah sendiri harus menjadikannya sebagai cermin yang harus digunakan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, apakah dia sendiri sesuai dengan Pancasila.
Sementara itu, dari perspektif hukum, mantan anggota Komnas HAM, Jhonny Simanjuntak menegaskan, memang keluarnya Perppu ini sebagai respon atas kondisi terkini. Namun Perppu ini memiliki kelemahan dalam struktur maupun budaya hukum. Sehingga jika Perppu dibedah secara hukum, maka akan terlihat kelemahan yang tidak bisa dihindari. Kelemahan dimaksud antara lain adalah, implikasi perppu akan meluas kesegala hal dan bisa jadi membuat kita kembali pada totalitarian.
Selain itu keluarnya Perppu ini tidak lepas dari situasi sosial politik yang terjadi. Sebab itu, juga harus dicermati dari aspek sosial politik, dimana ada situasi keterdesakan sosial politik yang menyebabkan penting dan mendesaknya pemerintah mengeluarkan Perppu tersebut.
Pada kesempatan itu, Nikson gans Lalu, yang juga praktisi hukum, justru menilai keluarnya Perppu ini merupakan sesuatu hal yang wajar, karena hal itu merupakan otoritas dari Presiden dalam melindungi rakyatnya.