ROTE NDAO, PGI.OR.ID – Pdt DR. Albertus Patty yang mewakili Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) menyampaikan sambutan dihadapan peserta Sidang Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) ke-33, dengan menekankan gereja-gereja di Indonesia harus melangkah lebih maju, yaitu menciptakan partnership yang konkrit, kerjasama yang nyata untuk mengatasi kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme agama dan persoalan lingkungan hidup. Demikian disampaikan pada hari Senin (21/9), sembari menambahkan bahwa persoalan gereja dan bangsa tidak bisa diatasi oleh salah satu gereja saja, tetapi harus diatasi dalam partnership bersama dengan gereja lain dan bahkan bersama umat beragama lainnya.
Berikut catatan lengkap sambutan MPH PGI pada Sidang Sinode GMIT di Rote Ndao:
Yang terhormat Ketua Umum dan Sekertaris Umum Sinode GMIT, yang terhormat para tamu dan undangan sekalian, serta rekan-rekan pendeta yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus. Syalom!
Pertama-tama saya ingin menyampaikan salam hangat juga dari seluruh anggota MPH PGI kepada seluruh peserta persidangan Sinode GMIT ini. Saya juga hendak menyatakan bahwa kehadiran saya sebagai wakil dari gereja-gereja di Indonesia menunjukkan bahwa gereja-gereja di Indonesia mendukung dan turut mendoakan Sidang Sinode GMIT ke-33 ini. Gereja-gereja di Indonesia berharap dan berdoa agar persidangan ini akan menghasilkan keputusan-keputusan yang bermanfaat bagi kebaikan gereja Tuhan di tanah NTT ini, bagi bangsa dan bagi kemanusiaan bersama.
Tentu saja di tengah multi krisis yang sedang melanda dunia dan berimbas ke Indonesia ini, sudah saatnya gereja-gereja di Indonesia tidak hanya berdiam diri atau sekedar saling mendoakan, tetapi kita harus melangkah lebih maju, yaitu menciptakan partnership yang konkrit, kerjasama yang nyata untuk mengatasi kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme agama dan persoalan lingkungan hidup. Persoalan gereja-gereja dan bangsa tidak bisa diatasi oleh salah satu gereja saja, tetapi harus diatasi dalam partnership bersama dengan gereja lain dan bahkan bersama umat beragama lainnya.
Saya akan menyinggung sedikit tentang tema Sidang Sinode ke-33 ini “Yesus Kristus adalah Tuhan.” Pada satu sisi tema ini menunjukkan betapa GMIT ‘back to basic‘. Melalui tema yang merupakan konfesi ini, GMIT menunjukkan kesetiaannya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan. Meskipun demikian, minimal bagi saya, tema ini juga mengundang tanya ada apa dengan GMIT? Apakah GMIT sedang mengalami persoalan dan penderitaan yang berat. Pertanyaan ini muncul karena di dalam sejarah gereja, tema seperti ini lahir dari gereja yang sedang bergumul dengan penderitaan, tekanan dan penganiayaan.
Gereja abad pertama, misalnya, menghadapi tekanan dari pemerintahan Roma yang memaksa mereka untuk mengakui kaisar sebagai Allah. Umat Kristen yang menolak untuk mengakui dan menyembah kaisar sebagai Allah, dikejar dan dianiaya sehingga mereka mengalami penderitaan yang berat. Dalam situasi seperti yang menderita itu, mereka menegaskan kesetiaan pada Yesus Kristus dengan konfesi “Yesus Kristus adalah Tuhan.” Gereja pada jaman kekuasaan Nazi di bawah Hitler juga berupaya untuk menyatukan gereja-gereja di bawah kekuasaan dan ideology politik Nazi yang bukan saja mengagungkan Hitler tetapi juga yang menyebabkan pembantaian terhadap jutaan orang Yahudi.
Pada saat seperti itu, confessional Church di Jerman di bawah pimpinan Martin Niemoller dan Dietrich Bonhoeffer berani mengeritisi dan menantang Hitler. Di bawah upaya dominasi politik yang brutal dan keras, mereka berupaya menegaskan kesetiaan mereka terhadap Yesus Kristus sebagai Tuhan. Meski Martin Niemoller dan Bonhoeffer dipenjara, dibuang bahkan dibunuh, tetapi mereka telah membuktikan bahwa penderitaan apa pun tidak melunturkan kesetiaan mereka terhadap Yesus Kristus.
Sekali lagi, tema Yesus Kristus adalah Tuhan biasanya muncul dari gereja yang sedang menderita dan tertindas. Padahal kalau kita petakan persoalan gereja-gereja di di Indonesia. Mestinya yang menggunakan tema ini adalah gereja-gereja di Aceh yang selalu diintimidasi dan ditutup. Atau gereja-gereja di daerah Jawa Barat yang tingkat intoleransinya paling tinggi di Indonesia dengan 1417 kasus pada tahun yang lalu. Apa yang gereja-gereja di Aceh dan Jawa Barat alami tidak akan dialami oleh GMIT di wilayah NTT ini karena di tempat ini GMIT justru merupakan mayoritas. Itulah sebabnya, tema ini justru menimbulkan tanya, mengapa tema ini dipilih. Apa persoalan yang sedang dihadapi oleh GMIT?
Meskipun demikian, apapun persoalan yang GMIT hadapi, saudara-saudara tidak menghadapinya sendirian karena ada Yesus Kristus yang akan menolong kita dan ada gereja-gereja lain dalam persekutuan PGI yang juga siap membangun partnership untuk mengatasi persoalan dan tantangan itu.
Tema Yesus Kristus adalah Tuhan harus dipahami dengan hati-hati karena bisa menimbulkan persoalan teologis. Pertama, pengakuan Yesus Kristus sebagai Tuhan bila dipahami dalam kategori politis yaitu kekuasaan bisa menciptakan konflik internal gereja dan eksternal antar gereja dan antar umat beragama. Ketika Yesus mengatakan bahwa Dia harus menderita dan mati, Petrus menarik Yesus dan menegurnya. Yesus langsung memarahi Petrus dan mengatakan:” Enyahlah engkau iblis karena Engkau lebih memikirkan apa yang dipikirkan manusia dan bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah.” Petrus berpikir tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan dalam kategori politis yaitu kekuasaan dan kemuliaan. Yesus berpikir tentang rencana Allah yang menderita dan mati untuk keselamatan manusia.
Apa yang Yesus katakan itu adalah suatu desakralisasi terhadap berbagai bentuk kekuasaan baik politik, ekonomi, budaya bahkan kekuasaan di dalam institusi gereja sendiri ketika kekuasaan itu merupakan ekspresi dari nafsu manusia atau bila kekuasaan itu hanya demi kekuasaan bukan demi melayani kemanusiaan dan demi kemuliaan Tuhan.
Kedua, pengakuan Yesus Kristus adalah Tuhan bila dipahami secara salah bisa membawa kita pada apatisme karena meerasa Tuhan akan membereskan semuanya. Kita tidak perlu melakukan apapun. Kita pasrah. Akibatnya kita menjadi gereja yang kehilangan kreativitas, gereja yang pasif yang tidak mampu memberikan kontribusi apa pun di tengah berbagai krisis yang melanda bangsa dan dunia ini.
Ketiga, Pengakuan Yesus Kristus sebagai Tuhan bila dipahami secara salah bisa membawa kita pada sikap eskapisme yaitu melarikan diri dari dunia. Kita tidak perduli dengan dunia. Gereja menjadi tidak serius dengan dunia karena menganggap dunia dalah tempat sementara, dan bila karenanya kita tidak lagi memfokuskan diri pada persoalan dan masalah yang melanda dunia ini, Gereja pun menjadi irrelevant dan insignificant.
Keempat, pengakuan Yesus Kristus adalah Tuhan bila dipahami secara salah justru bisa menebalkan sikap fundamentalisme dan triumphalisme agama. Lalu orang berpikir dalam kategori yang polaristik yaitu terang vs gelap, anak Tuhan vs anak setan, anak Allah vs anak iblis. Maka yang terjadi cuma konflik dan permusuhan sehingga agama bukan menjadi problem solver yaitu memberikan kontribusi bagi berbagai persoalan dunia ini, tetapi justru menjadi problem maker yang semakin mengeruhkan persoalan yang melanda bangsa dan dunia ini.
Saya percaya, GMIT akan menggumuli tema ini dengan bijak sehingga makin memperkuat komitmennya pada Yesus Kristus sebagai Tuhan, sekaligus memperkuat komitmennya pada perjuangan kebangsaan dan kemanusiaan. Saya pecaya GMIT adalah salah satu komponen bangsa yang bisa memainkan peranan yang sangat penting bagi kebaikan bangsa dan umat manusia.
Terakhir, saya mengutip apa yang dikatakan Hatta ketika ia berbicara tentang keanekaragaman suku bangsa dan agama di Indonesia. Hatta bilang seluruh komponan bangsa adalah seperti kaki-kaki. “Kita harus menjaga agar tidak ada satu kaki pun dicederai karena itu akan melumpuhkan kita. Kita juga harus menjaga agar kaki-kaki itu tidak saling menendang agar kita tidak rubuh bersama.”
Selamat menjalani persidangan Sinode GMIT ke-33. Kiranya Tuhan memberkati persidangan ini!