Fenomena perilaku intoleransi atau kekerasan atas nama agama semakin sering terjadi di Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok radikal dengan mengatasnamakan agama Islam telah menjadi sumber persoalan tersendiri. Padahal, selama ini, Islam Indonesia terkenal sebagai “Islam yang ramah, bukan yang ‘marah’.
Tetapi hal ini rupanya tak hanya menjadi masalah bagi Indonesia tetapi bagi dunia. Di dunia, Islam kerap diidentikkan dengan kekerasan, kediktatoran, dan perilaku intoleran.
Menyikapi hal ini, Institut Leimena berinisiatif mengadakan pertemuan terbatas, Kamis (8/5), yang dihadiri sejumlah tokoh agama dan masyarakat seperti seperti Jakob Tobing (President Institut Leimena), R.K. Sembiring Meliala (Board of Trustees Institut Leimena), Pontas Nasution (Program Advisor Institut Leimena), Matius Ho (Executive Director Institut Leimena), Daniel Adipranata (Program Director Institut Leimena), Maruarar Siahaan (Rektor UKI), Nasaruddin Umar (Wakil Menteri Agama), Emil Salim (Anggota Wantimpres), Ahmad Syafii Maarif (Maarif Institute, Ketua PP Muhammadiyah ke-13), Salahuddin Wahid (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng), Dr. Harjono (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), Ahmad Suaedy (Direktur Eksekutif Abdurrahman Wahid Center-Universitas Indonesia), Musdah Mulia (Ketua ICRP), Pdt. Gomar Gultom (Sekum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), dan Y.W. Junardy (President Indonesia Global Compact Network).
Pertemuan ini membahas ide untuk mengangkat Islam Indonesia yang toleran sebagai model di tengah dunia Internasional.
Dengan melakukan hal ini, diharapkan masarakat internasional mendapatkan sebuah alternatif baru dalam memandang agama Islam. Selama ini, seperti kita ketahui, dunia internasional masih menjadikan negara-negara Islam Timur Tengah (dengan segala permasalahan di dalamnya) sebagai model utama, sedangkan Indonesia, justru dianggap merupakan sebuah “anomali” karena meski memiliki jumlah penduduk Islam terbesar dapat menerapkan demokrasi modern.
Di sisi lain, dengan mengangkat isu ini ke dunia internasional, diharapkan masyarakat Indonesia sendiri menyadari aset berharga yang ia miliki dan merawatnya di masa depan. Dengan demikian, tindakan intoleran yang saat ini marak terjadi di tanah air dapat dicegah untuk berkembang di masa mendatang.
Para peserta secara aktif mengemukakan pemikiran mereka mengenai beberapa persoalan-persoalan di atas dan memetakan akar-akar penyebabnya. Diskusi berlangsung hangat dan sangat kaya. (Institut Leimena News)
Be the first to comment