BANJARMASIN,PGI.OR.ID-Sejak lama agama menjadi bagian dari proses kerusakan lingkungan yang muncul akibat normativitas agama yang berorientasi pada prinsip “PENGUASAAN” alam. Akhirnya, Khalifatulloh itu menjadi wakil-wakil yang serakah yang melakukan mengeksploitasi alam dan merusak keseimbangan alam.
Hal pelestarian lingkungan sesungguhnya merupakan amanat Allah kepada manusia. Karena itu, agama-agama memiliki tanggungjawab bersama untuk menghentikan dan memastikan bahwa bumi tempat kita tinggal yang menjadi sumber kehidupan ini tetap ada dan tidak mengalami kehancuran.
Dibutuhkan konstruksi baru normativitas agama-agama yang berorientasi keadilan ekologis, sehingga “tugas”penguasaan berubah menjadi “tugas”pemeliharaan dan terciptanya relasi persahabatan antara alam dengan manusia, bukan lagi relasi yang eksploitatif.
Seminar Agama-agama (SAA) PGI ke-32 yang berlangsung sejak 11-14 Januari 2017 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sebagai bukti kecintaan agama-agama atas Indonesia. Pembukaan seminar secara resmi dilakukan oleh Pdt. Gomar Gultom selaku Majelis Pekerja Harian PGI.
Dalam pembukaannya, Pdt. Gomar Gultom menyampaikan mandat Sidang Raya PGI di Nias pada empat hal penting yang menjadi konsen PGI, yaitu Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme dan Kerusakan Lingkungan. Maka, bersumber dari mandat tersebut, seminar agama-agama kali ini masuk pada isu kerusakan lingkungan.
Dalam overview program, Pdt. Penrad Siagian sebagai sekretaris eksekutif yang membidangi program lingkungan mengatakan bahwa dalam SAA kali ini akan dicari bahasa baru agama-agama yang berorientasi keadilan ekologis. Bahasa baru agama-agama ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mengurangi dampak kerusakan lingkungan demi pemeliharaan keutuhan ciptaan. (Pdt. Penrad Siagian)