Lawang,PGI.OR.ID-Kebebasan beragama selalu menjadi soal yang pelik dalam kehidupan kebangsaan kita. Dan karena itu, maka sulit juga mencari solusi terhadap persoalan terkait kebebasan beragama yang muncul, yang bisa memberi keadilan bagi kelompok dengan jumlah sedikit. Dalam peristiwa Aceh Singkil (13/10) lalu kita bisa melihat jelas problematika tersebut.
Mencermati persoalan terkait kebebasan beragama, Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, dalam Seminar Agama Agama (SAA) ke-31 (19/10) yang dilaksanakan di Griya Bina, Lawang, Malang, mengatakan bahwa UUD 1945 memberi jaminan akan kebebasan beragama tersebut di Indonesia. “Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini,” ujarnya. Karena itu, semestinya “orang boleh memilih secara bebas agama apa yang dianutnya,” tegasnya.
Meski begitu, Yewangoe pun mengakui bahwa rumusan tentang agama dan kepercayaan di Indonesia ini tak dengan sendirinya terang benderang. Ada banyak yang mengatakan bahwa kepercayaan dalam rumusan UUD mengacu kepada kepercayaan lokal, sehingga dapat dipandang sebagai agama yang berhak mendapat perlindungan negara dan alokasi anggaran. Namun, disisi lain, ada yang mengatakan bahwaI kepercayaan itu sebagai bagian yang melekat pada sistem keagamaan lokal. “Masih banyak perbedaan,” katanya singkat.
Untuk itu, berkaitan dengan rencana pembuatan UU Perlindungan Umat Beragama, mantan Ketua Umum PGI tersebut mengajukan pertanyaan, siapakah yang berhak mengakui sebuah kepercayaan itu sebagai agama atau tidak? Apa kriterianya? Lalu, dapatkah agama didefinikan?
Bagi Yewangoe, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting agar kita mampu secara tepat merumuskan apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama itu sendiri. Sebab jika hal itu tak bisa dirumuskan dengan tepat maka akan terus menimbulkan perdebatan tanpa akhir. Misalnya, “Apakah termasuk juga disini kebebasan berpindah agama dan atau berganti agama?,” tanya beliau.
Kebebasan beragama pun, lanjut Yewangoe, tak berarti bisa diungkapkani tanpa batas. Kebebasan beragama “tidak berarti bahwa ia secara sewenang-wenang mengklaim bahwa ia boleh dibenarkan melakukan apa saja atas dasar agama yang diyakininya,” tegasnya.
Selanjutnya, Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) ini menekankan bahwa “kebebasan beragama di dalam kepenuhannya tidak berarti, semua doktrin dan praktek agama secara setara layak dan benar.” Jadi, “apa yang dianggap benar di dalam komunitas suatu agama tidak bisa secara ‘telanjang’ dipakai sebagai ukuran nilai-nilai bersama di dalam komunitas yang berbeda agama,” tambahnya.
Yewangoe berharap, justru “dengan bertolak dari nilai-nilai yang dihayati di dalam komunitas masing-masing itu kita bisa mendefinisikan secara bersama apa makna keadilan dan kebaikan bersama demi mencapai kehidupan bersama yang harmonis.”
SAA yang dihadiri oleh peserta dari gereja dan lintas agama ini berlangsung 19 – 22 Oktober. Dalam berbagai topik yang dibahas, diharapkan adanya masukan bagi pembuatan bahan advokasi bersama gereja tentang rencana pembuatan UU PUB.