RUU Terorisme Berpotensi Melanggar HAM

JAKARTA,PGI.OR.ID-Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyorot beberapa isu penting dalam RUU Terorisme. Isu-isu penting itu antara lain terkait dengan upaya paksa, anak sebagai pelaku terorisme, pidana mati dan pencabutan kewarganegaraan, sampai dengan minimnya penguatan hak korban. ” Terkait upaya paksa, ICJR menilai ketentuan yang ada dalam RUU Terorisme berpotensi besar melanggar hak asasi manusia dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar fair trial,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono, di Jakarta, Kamis (2/6).

Supriyadi juga mengkritik keras klausul penangkapan yang mencapai 30 hari dan penahanan pra persidangan yang mencapai 450 hari. Pemerintah sendiri sama sekali tidak memberikan penjelasan yang rasional kenapa membutuhkan waktu begitu lama untuk menangkap dan menahan seseorang. Berdasarkan hasil pemantauan ICJR, sampai dengan hari ini, tidak ada tersangka dan terdakwa terorisme yang dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum.  “Ini menunjukkan bahwa hukum acara pidana yang diatur baik dalam KUHAP atau UU Terorisme yang saat ini berlaku masih efektif,”ujarnya.

Ia juga menggarisbawahi masa penangkapan yang mencapai 7×24 jam yang termuat dalam UU Terorisme saat ini. Dengan pengaturan itu saja sudah membawa praktik penahanan “InCommunicado” atau penahanan yang dilakukan tanpa memberikan kepastian hukum. Terutama terkait akses pada informasi dan keberadaan tahanan. Praktik ini menjadi latar belakang banyaknya kasus penyiksaan yang terjadi dalam proses peradilan perkara terorisme. Jadi, ia tidak bisa membayangkan, jika masa penangkapan  diperpanjang menjadi 30 hari. Ketentuan ini juga melanggar hak dari tersangka untuk sesegera mungkin diajukan ke ruang sidang. ” Upaya paksa lainnya yang menjadi persoalan adalah terkait penyadapan,” kata dia.

Dalam RUU Terorisme, kata Supriyadi, penyadapan diatur dengan melonggarkan aturan yang sudah ada. Misalnya menghilangkan izin pengadilan dan menghapus jangka waktu penyadapan. Seharusnya pengaturan kontrol terkait penyadapan diperkuat. Bukan diperlemah. Sebab penyadapan sangat berpotensi disalahgunakan apabila tidak dikontrol dan diawasi dengan ketat. Belum lagi, dalam UU Terorisme, penyadapan adalah bagian upaya paksa dalam konteks penegakan hukum, bukan penyadapan dalam hal intelijen. Sehingga pengaturannya harus tunduk pada konsep proses peradilan pidana.  ” Keputusan untuk menghapuskan ketentuan yang sudah ada tidak didukung data yang kuat seperti apakah ada kendala dalam penyadapan yang selama ini dilakukan atau berapa jumlah penyadapan yang tidak berhasil dilakukan dikarenakan adanya izin pengadilan dan jangka waktu penyadapan,” tuturnya.

Supriyadi juga mendesak DPR menghapuskan pasal “Guantanamo”  yang ada dalam Pasal 43B RUU Terorisme. Pasal tersebut menyatakan, tindakan penanggulangan berupa pencegahan terhadap orang tertentu di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum selama 6 bulan. Ini berpotensi melanggar HAM,  karena dilakukan tanpa alasan dan pengaturan yang jelas. Tidak ada kepastian hukum dalam pasal ini. Selain pasal ini juga akan menambah problem HAM di Indonesia.”  Saya juga minta DPR menghapus hukuman mati dan mengevaluasi adanya pidana pencabutan kewarganegaraan,” katanya.

Supriyadi menilai hukuman mati tidak efektif. Karena berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia yang sudah lama menerapkan itu untuk kasus terorisme, hukuman mati justru bisa menjadi inspirasi baru lahirnya bentuk perlawanan baru terhadap negara. ” Yakni munculnya ideologi siap mati yang diusung teroris,” ujarnya.

Pencabutan kewarganegaraan juga kata Supriyadi harus dievaluasi ulang, sebab  teknisnya tidak jelas. Selain itu juga, hal tersebut bukan bagian dari sistem pemidanaan yang dikenal di Indonesia. ” Ini juga dapat menjadikan seseorang berstatus tanpa negara atau stateless,” katanya.

Supriyadi menambahkan, karena Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal, ketentuan pencabutan dapat berakibat pada hilangnya perlindungan terhadap hak asasi seseorang. Kedua hukuman ini juga mengkhianati pendekatan deradikalisasi yang dibangun dalam UU Terorisme. ” Dan yang lain, harus dipastikan keselarasan antara anak sebagai pelaku terorisme dengan anak sebagai korban kejahatan terorganisir seperti terorisme,” katanya.

Dalam konteks perlindungan anak, ujar Supriyadi, dalam hal anak pelaku kejahatan terorganisir, harus dilihat posisi kerentanan anak sebagai korban kejahatan. Bukan serta merta sebagai pelaku. Pemenjaraan bertentangan dengan prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Anak harus sedapat mungkin dijauhkan dari peradilan pidana dengan sanksi pidana misal pencabutan kewarganegaraan.  ” Untuk anak, program deradikalisasi harus diutamakan, sekalipun anak melakukan pidana, dan tidak ditempatkan dalam penjara karena berpotensi menjadikan anak lebih terjerumus dalam ideologi yang dibangun teroris,” ujarnya.

Tidak hanya itu, Supriyadi juga mendesak DPR untuk mengavaluasi ulang seluruh rumusan delik yang ada dalam RUU Terorisme. Ada banyak delik yang diatur sangat luas tanpa maksud dan batasan yang jelas. Contohnya Pasal 13A yang mengatur penyebaran ucapan, sikap,  perilaku, tulisan, atau tampilan. Pasal ini bersifat tidak jelas dan sangat berbahaya. ” Ini akan memberikan kewenangan untuk menafsirkan sikap atau perilaku dan tampilan kepada penyidik. Disisi lain dari temuan ICJR, pengaturan yang demikian akan menyasar salah satu ekspresi yang dicap sebagai “gambaran” teroris,” ujarnya.

Untuk itu, ia meminta DPR menyisir ulang pasal-pasal seperti itu. Sehingga pengaturannya tidak menjadi pasal karet. Supriyadi juga menyorot tentang minim penguatan hak korban. Catatan penting dalam RUU Terorisme ini adalah dilupakannya pengaturan mengenai hak korban. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengaturan hak korban. Diantaranya belum diaturnya pengertian korban yang lebih komprehensif sesuai dengan ketentuan internasional yang mencakup sampai dengan korban potensial. ” Selanjutnya belum dicantumkannya juga hak korban secara spesifik dalam UU Terorisme, meskipun sudah ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Tapi pencantuman hak lain yang lebih spesifik untuk korban terorisme masih dibutuhkan,” kata Supriyadi.

Hal lainnya, ujar Supriyadi,  tidak ada pencantuman hak khusus mengenai  bantuan medis yang bersifat segera kedaruratan. Kedaruratan medis terkait korban terorisme masih belum secara eksplisit disebutkan. Ini mengakibatkan sering tertundanya pelayanan bagi korban terorisme. Tingkat kedaruratannya tidak mengikat secara hukum.  ” ICJR juga mencatat proses pemberian kompensasi juga sulit diberikan, karena pemberian kompensasi bergantung pada putusan pengadilan yang diletakkan dalam proses peradilan pidana,” katanya.

Padahal angka extra judicial killing sangat tinggi, kata Supriyadi.  Dari data ICJR yang sementara ini dapat ditelusuri, terdapat 32 korban extra judicial killing yang diduga adalah pelaku terorisme. Dengan bergantung pada putusan hakim maka kompensasi sulit diberikan, karena pelaku tidak sempat diadili. Belum lagi tidak semua nama dapat dicantumkan dalam putusan hakim dan tuntutan jaksa. ” Terlebih apabila harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap yang sangat lama,” katanya. (AS)