RUU Perlindungan Umat Beragama

MENTERI Agama Lukman Hakim Saifuddin, sebagaimana dilansir sejumlah media, menyatakan, Kementerian Agama sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.

Menurut dia, RUU PUB merupakan hasil forum group discussion yang dilakukan Kementerian Agama dengan melibatkan tokoh-tokoh dari beberapa agama (28/10/2014). Keinginan Kementerian Agama untuk menginisiasi lahirnya UU seperti ini sudah ada sejak lama meski dengan nama berbeda.

Tahun 2010, dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri disepakati percepatan pembahasan RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Tempat Ibadah juga disepakati dinaikkan statusnya menjadi UU.

Gagasan membuat RUU KUB muncul seiring banyaknya kasus kekerasan bermotif agama, termasuk penusukan terhadap pendeta gereja HKBP Ciketing, Bekasi. Jauh sebelum itu, tahun 2003 sudah beredar RUU KUB yang diduga dikeluarkan Litbang Departemen Agama (sebelum jadi Kemenag) meskipun itu tidak diakui. Pada Agustus 2011, beredar dokumen naskah akademik dan draf RUU KUB dari Baleg DPR yang isinya ada kemiripan dengan RUU KUB Litbang Kemenag 2003.

Melindungi

Pertanyaannya, apakah substansi RUU yang hendak diusulkan Kemenag sekarang ini merupakan kelanjutan belaka dari perkembangan di atas, atau ada substansi yang berubah. Pertanyaan ini tentu belum bisa dijawab karena RUU PUB hingga sekarang belum ada naskah akademik dan draf RUU-nya. Apakah hanya mengubah nama dari RUU KUB menjadi RUU PUB, ataukah ada perubahan paradigmatik yang lebih mendasar.

Lukman Hakim mengungkapkan, gagasan pokok dari RUU PUB adalah memastikan perlindungan umat beragama, terutama dalam dua hal: kemerdekaan memeluk agama di satu pihak dan kemerdekaan menjalankan agama sesuai keyakinan yang dipeluk. Jaminan ini sebenarnya sudah ditemukan dalam konstitusi UUD 45. Namun, belum ada UU turunan yang mengimplementasikan jaminan konstitusi.

Lukman menyebutkan, RUU PUB ini diharapkan bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat yang menganut agama di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. ”Kami rasakan saat ini ada perilaku diskriminatif terhadap masyarakat di luar keenam agama itu,” ujarnya.  Pernyataan ini mengindikasikan adanya spirit berbeda dengan RUU KUB yang sama sekali tidak mempersoalkan posisi agama dan keyakinan di luar enam agama yang diakui negara. Hal ini mengindikasikan ada paradigma melindungi dan menghormati, bukan mengatur dan mengontrol.

Paradigma mengatur dan mengontrol lebih dominan dalam perbincangan RUU KUB yang diproyeksikan sebagai alat mengintegrasi dan perekayasa sosial. Dengan demikian, RUU KUB memang diproyeksikan untuk mengintegrasikan, mengontrol, dan merekayasa masyarakat. Hal itu tak bisa dilepaskan dari kepentingan orang atau kelompok yang memegang kekuasaan. Dari perspektif ini jelas paradigma yang digunakan adalah menempatkan masyarakat sebagai ”obyek” yang perlu diintegrasikan, dikontrol, dan direkayasa.

Negara dan kelompok mayoritas adalah ”subyek” yang mengontrol, mengintegrasikan, dan merekayasa. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan negara dan juga mayoritas. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan rakyat, terutama minoritas, tetap harus disubordinasikan dalam kepentingan negara dan mayoritas.

Dengan demikian, RUU PUB yang digagas Lukman Hakim akan punya arti penting jika ada spirit sungguh-sungguh untuk melindungi dan memfasilitasi warga negara agar dapat menjalankan agama dan keyakinannya dan tak dihantui diskriminasi. Ini penting ditegaskan karena dalam praktiknya, istilah melindungi sering dibelokkan jadi membelenggu dan membatasi.

RUU PUB juga harus dipastikan bisa menghilangkan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan. Harus diakui, sekarang ini masih ada perlakuan diskriminatif terhadap pemeluk keyakinan keagamaan di luar enam agama yang dianggap sah. Hal ini sudah berjalan puluhan tahun dan tak ada terobosan hukum untuk menghilangkan. RUU PUB harus mampu menerobos hal ini.

Hal ini bisa dilakukan jika definisi agama diperluas sehingga bisa mencakup semua jenis kepercayaan keagamaan, termasuk agama lokal yang banyak hidup di seluruh Nusantara. Bukan pembuat UU yang mendefinisikan sebuah kepercayaan atau tidak, tetapi pemeluknya sendiri. Jika hal ini gagal dilakukan, bukan tak mungkin, meski RUU-nya ”perlindungan”, justru berisi represi dan legalisasi diskriminasi.

Bukan obat mujarab

Meskipun demikian, harus disadari sejak awal, UU tidak bisa jadi obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan kehidupan beragama. Dalam visi-misi Presiden Joko Widodo disebutkan, salah satu problem pokok bangsa adalah merebaknya intoleransi. Apakah RUU PUB upaya untuk menjawab problem itu? Kalau RUU PUB dimaksudkan untuk menjawab ini, saya bisa pastikan ini bukan jawaban yang tepat. Intoleransi terjadi di mana-mana bukan karena kekosongan hukum, melainkan lebih akibat lemahnya penegakan hukum dan kepemimpinan.

Bukan berarti penulis alergi dengan perumusan aturan kehidupan beragama. Regulasi kehidupan keagamaan pada tingkat tertentu dibutuhkan, tetapi harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, regulasi keagamaan melalui perumusan pasal-pasal dalam UU tak berarti bisa menyelesaikan semua problem kehidupan beragama.

Adalah keliru jika ada yang beranggapan bahwa problem kehidupan beragama karena ketiadaan aturan perundang-undangan. Pasal-pasal UU tak ada artinya jika relasi sosial keagamaan di Indonesia tak cukup sehat, aparat pemerintah dan penegak hukum tak punya kapasitas melakukan penegakan hukum, atau budaya hukum tak mendukung. Karena itu, hal yang jauh lebih penting adalah membangun sistem kehidupan keagamaan yang sehat, terbuka, dan adil. Tanpa itu, aturan sebagus dan sedetail apa pun tidak akan banyak gunanya, bahkan bisa menjadi sumber konflik baru.

Kedua, menggunakan paradigma yang benar: dari mengatur menjadi melayani; dari mengontrol menjadi melindungi. Perubahan paradigma ini harus diikuti sense of minority, sebuah sikap sensitif terhadap kebutuhan kelompok minoritas. Sense of minority inilah yang selama ini absen dalam pembahasan kehidupan keagamaan.

Dalam soal tempat ibadah, misalnya, mengatur tempat ibadah bagi Muslim di Jawa tak bisa disamakan dengan Muslim di Papua atau Manado. Begitu juga mengatur tempat ibadah umat Hindu di Bali tak bisa disamakan dengan Hindu di Jawa dan seterusnya. Ketiadaan sense of minority ini kemudian melahirkan aturan-aturan yang justru menyulitkan kalangan minoritas. Alih-alih sense of minority, yang dikedepankan justru sikap dan cara berpikir untuk melindungi kepentingan mayoritas dari ancaman minoritas.

Ketiga, harus dipastikan, RUU PUB bisa menghilangkan diskriminasi berdasar agama dan keyakinan, tidak justru melanggengkan diskriminasi. Jika hal itu dilakukan, RUU PUB akan membawa perubahan besar dalam kehidupan berbangsa.

Penulis: Rumadi Ahmad
Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Peneliti Senior The Wahid Institute dan Komisioner Komisi Informasi Pusat
Tulisan ini dimuat di kompas.com

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*