JAKARTA,PGI.OR.ID-Revisi kedua UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah telah disahkan. Namun belum juga dioperasionalkan, para penggiat kepemiluan sudah mengkritiknya. Revisi UU Pilkada, alih-alih membuat penyelenggara bisa bekerja independen, tapi justru menciptakan rumah kaca bagi penyelenggara pemilihan.
“Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 9 huruf (a) bahwa dalam menyusun peraturan KPU dan pedoman teknis harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum dengar pendapat dan bersifat mengikat,” kata Andrian Habibi, Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia (KIPP Indonesia), di Jakarta, Senin, 6 Juni 2016.
Andrian menambahkan, begitu juga nasib pdengan pengawas. Pengawas pemilihan juga dirumahkacakan. Setidaknya itu bisa terlihat dari bunyi ketentuan yang termuat dalam Pasal 22B huruf (a) terkait pembuatan peraturan dan pedoman teknis.
“Ini juga sama, harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dan bersifat mengikat,” katanya.
Mengenai itu, kata Andrian, ada beberapa catatan dari KIPP Indonesia. Catatan pertama, frase “setelah berkonsultasi” sama saja dengan keharusan mengakomodir saran dan masukan dari DPR dan Pemerintah. Bila rapat dengar pendapat dilaksanakan, maka KPU dan Bawaslu tentu menyampaikan rancangan peraturan yang kemudian sangat mungkin akan diobok-obok oleh parlemen dan Pemerintah. Dengan demikian, asas kemandirian, profesional dan kepastian hukum akan lepas landas dari keharusan peraturan yang dibuat penyelenggara.
“Catatan kedua, kata “setelah berkonsultasi” juga bisa diartikan mengharuskan lobi-lobi politik untuk mensahkan peraturan dan pedoman teknis,” ujarnya.
Kata Andrian, ini sama saja dengan memuluskan kepentingan politisi. Tidak mungkin politisi membiarkan adanya peraturan teknis yang menyulitkan kader yang diusungnya. Catatan ketiga, selain itu, pasca “setelah berkonsultasi” penyelenggara Pilkada hanya bisa menggunakan kaca mata kuda dan menjalankan aturan hasil “konsultasi” dengan DPR dan Pemerintah. Aturan teknis, baik yang dibuat KPU dan Bawaslu, boleh jadi hanya jadi aturan sesuai ‘pesanan’ para politisi.
” Catatan keempat, oleh karena itu, penting adanya juducial review untuk menghilangkan kalimat setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat” katanya.
Andrian berpendapat, ketentuan itu tak sesuai dengan konstitusi yang menyatakan bahwa DPR dan Pemerintah bersama-sama membentuk UU, bukan ikut pula menyusun aturan teknisnya. Bila ini dibiarkan, publik hanya akan menyaksikan penyelenggara dikungkung dalam sebuah rumah kaca. Pesta demokrasi pun akan berjalan sesuai dengan keinginan Senayan, bukan sejalan keinginan rakyat.
” Penyelenggara akan sibuk melobi untuk memuluskan peraturan dan pedoman teknis. Sedangkan tahapan Pilkada jelas berwarna partai dengan frame berfikir politik adalah merebut dan mempertahankan kekuasaan,” tuturnya. (AS)
