Oleh: Pdt. Jimmy Sormin
Banyak monumen di berbagai kota di Indonesia yang dikritisi masyarakat. Menariknya, sebagian dari masyarakat itu memberi kritik bernuansakan agama. Misalnya, Patung Tiga Mojang di Bekasi yang dihubungkan dengan Trinitas; Patung Naga Mas di Singkawang yang dianggap bertentangan dengan budaya lokal dan sebagainya. Fenomena tersebut sangat menarik karena ruang publik makin diseret ke wilayah religiositas dan perbedaan waktu (konteks) menentukan pemaknaan-pemaknaan religius yang muncul. Sementara itu, ruang publik ternyata semakin didominasi pula oleh kepentingan pasar berbasis ideologi neoliberal dan negara telah kehilangan sebagian otoritasnya untuk menjaga dan mengatur ruang publik itu. Lalu bagaimana prospek ruang publik ke depan? Apa peran aparatus agama dalam pembangunan dan pemaknaan ruang publik itu? Ruang publik seperti apa yang perlu dikembangkan? Bagaimana mengatasi kontestasi ruang publik dalam masyarakat antar-kelas yang diwarnai pula dengan perbedaan secara kultur dan agama?
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Jimmy Sormin dengan Prof. Abidin Kusno, seorang pakar sejarah arsitektur Indonesia, terhadap beberapa pertanyaan di atas ditemukan jawaban menarik dari sang pakar. Berikut petikan wawancara Jimmy Sormin (JS) dengan Abidin Kusno (AK) saat mereka berdua berada di National University of Singapore sebagai fellow di Asia Research Institute. Mereka berdiskusi tentang ruang publik dan memori kolektif, yang kemudian merembet ke kepentingan ekonomi, budaya, politik, kekuasaan, dan kelas sosial.
Agama, Monumen dan Kekuasaan
JS: Sejauh mana kesadaran aparatus agama mampu membutakan monumen-monumen religius untuk membangun kolektifitas memori di Indonesia?
AK: Sebaiknya kita mulai dari pengertian-pengertian: Sebuah monumen, termasuk juga yang bernilai religius, maknanya dibentuk oleh penguasa, institusi dan masyarakat yang mendukung. Sebuah monumen juga bisa mengandung berbagai makna yang saling konflik. Berbagai penguasa, dengan institusional interest masing-masing, selalu berupaya mengeser dan menguasai kolektif memori masyarakat melalui pemaknaan monumen. Dengan demikian monumen dan memori kolektif itu tidak berdiri diluar kekuasaan. Memori dan monumen yang dimarginalkan misalnya, karena tidak ditampung oleh penguasa, ia tergeser ke pinggiran, disembunyikan atau mengambil bentuk lain, namun ia tidaklah hilang begitu saja meskipun cenderung dilupakan. Proses penguasaan kolektif memori itu tidak semuanya baik atau jelek. Tergantung isi dan konteks pemakaiannya. Misalnya dalam konteks memperjuangkan toleransi, komunitas agama berupaya untuk menunjukkan lintas budaya dari agamanya. Makna kemajemukan dari arsitektur (-monumen) sebuah agama misalnya menjadi penting dalam membangun kolektif memori terutama pada saat suatu masyarakat berada di bawah ancaman fundamentalisme agama.
JS: Jadi monumen religius itu tidak lepas dari relasi kekuasaan. Bagaimana kaitan antara negara dan agama?
AK: Dalam teori politik, negara dan agama (sebagai bagian dari masyarakat sipil) pada umumnya terpisah, sehingga organisasi agama (seperti organisasi sipil lainnya) mampu menjadi sebuah kekuatan yang men-check atau mem-balance kekuatan negara. Dalam posisi ini, organisasi-organisasi agama bergerak independen tanpa dikooptasi oleh negara, sehingga mereka menjadi kekuatan sipil yang kuat. Kalau kita melihat sejarah Indonesia (seperti yang telah ditulis Robert Hefner), organisasi-organisasi agama kita cenderung berada di pihak sipil dan tidak dikuasai oleh negara. Interaksi antara negara dan agama selalu menarik untuk diamati karena Indonesia bukan negara agama, meskipun (seperti masa kini) ada kecenderungan pada organisasi agama tertentu yang ingin mempengaruhi negara. Tarik-tarikan sering terjadi dan efek dari interaksi ini adalah pergeseran dan penguasaan ”kolektif memori” dan ”ruang publik,” salah satu ekspresinya adalah monumen.
JS: Tapi untuk pembangunan kolektif memori ”demokrasi” di Indonesia apakah komunitas agama itu mampu berdiri sendiri tanpa didukung oleh negara?
AK: Ini adalah suatu dilema dalam perjuangan demokrasi. Apakah agama itu mampu menjadi tulang punggung demokratisasi di Indonesia tanpa didukung oleh negara? Demokrasi bukanlah monopoli masyarakat sipil, karena sebenarnya masyarakat sipil (dengan berbagai komunitas agamanya) itu sering diwarnai konflik dan praktek-praktek tidak demokratis bila ia tidak diwadahi oleh negara yang mampu menjaga hukum dan praktek-praktek demokrasi.
Dalam upaya mencapai negara demokratis, masyarakat sipil tidak hanya menghadapi negara, tapi juga menghadapi sesama kelompok sosial yang berbeda pandangan. Sebenarnya di era pasca-reformasi ini justru perbedaan-perbedaan di level masyarakat sipil menjadi makin menonjol sehingga negarapun kewalahan menghadapinya. Dalam konteks ini anggota masyarakat sipil dan agama sangat perlu mawas diri dan membangun tradisi ”self-criticism” dan ”check and balance” terhadap diri sendiri (dan sesama kelompok lainnya). Kritis terhadap diri sendiri ini akan membantu terciptanya masyarakat yang majemuk, toleran dan demokratis. Jadi ”check and balance” ini berjalan secara vertikal (terhadap negara) dan horizontal (terhadap dirinya sendiri dan sesama anggota masyarakt sipil).
JS: Bagaimana sebuah organisasi agama mampu berpartisipasi dalam ”check and balance” masyarakat melalui monumen?
AK: Kita perlu memahami konteks setempat. Bila kita berada di sebuah ruang dan waktu pada saat agama menjadi bagian dari praktek intolerance dan uncivil, maka yang kita perjuangkan adalah kemajemukan dan tradisi toleransi dan civic-ness dari sebuah agama. Jadi kembali ke pertanyaan-pertanyaan awal, kita perlu mengetahui dulu, aparatus agama itu di bawah kekuasaan siapa? Dan apa pandangannya? Apa yang ingin diperjuangkan? Memori kolektif apa yang ingin dibangun (melalui penghancuran dan pembangunan monumen) dan apa pula dampaknya terhadap memori kolektif yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri itu akan mampu memberi kritik dan strategi kebudayaan pada sebuah organisasi agama. Kalau suatu agama ingin memperlihatkan identitasnya sebagai bagian dari budaya majemuk, maka organisasi agama tersebut akan memperlihatkan pertautan budaya melalui monumennya– misalnya suatu mesjid mengandung dimensi Cina, Jawa dan Barat. Dalam konteks kemajemukan Indonesia, maka narasi keragaman agama yang demikian untuk sebuah monumen dapat membantu pengembangan jiwa kemajemukan masyarakat dan melawan kepicikan pemahaman memori kolektif yang hanya memihak golongan tertentu. Dengan demikian mungkin bisa terjadi suatu wacana ”public–ness” dari monumen / arsitektur tersebut.
Public Space
JS: Diskusi mengenai wacana kekuasaan, agama dan monumen ini tampak berada di wilayah awang-awang, karena isu politik dan agama di Indonesia sudah semakin kompleks. Terkadang kita dibawa pula pada situasi yang sulit untuk membedakan mana wilayah agama dan negara. Perbedaan kedua elemen tersebut sudah sangat tipis, antara mana yang menggunakan dan mana yang digunakan, sehingga terjadi tarik-menarik kekuasaan, dan yang menunjukkan pula bahwa kekuasaan bukan lagi sebagai entitas tunggal yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang. Namun demikian, apakah ada dalam sejarah arsitektur Indonesia yang menunjukkan pertemuan kedua entitas ini, yang kemudian menunjukkan pula bahwa ada golongan tertentu yang berusaha menguasai space yang sering kita sebut ‘public space’ atau ruang publik?
AK: Perlu kita jelaskan dulu konsepnya. Ruang publik boleh dimaknai sebagai ruang yang dimiliki atau diurus oleh negara untuk kepentingan publik. Di era pembangunan berorientasi pasar dan monopoli ekonomi yang mengambil konsep public-private partnership (sejak zaman Orde Baru, terutama sejak akhir tahun 1980an– mengikuti perubahan paradigma ekonomi dunia), makna ruang publik telah berubah menjadi ruang public-private –atau ruang private yang berorientasi publik atau ruang publik yang berorientasi private, dan sebagainya. Neoliberalisme itu selalu butuh negara untuk menjamin keamanan privatisasi, sehingga muncullah partnership public / private. Sejak jaman Soeharto, mekanisme itu telah terjaga. Pada saat Soeharto runtuhpun mekanisme itu tidak terganggu karena ideologi neoliberalisme itu mampu menyesuaikan diri dengan jaman pasca reformasi. Karena sekarang ruang publik makin terbuka untuk kemungkinan ”private ownership” maka kepentingan-kepentingan non-state actors-pun makin kelihatan.
Kalau definisi public space itu adalah bahwa negara bertanggungjawab menjaga supaya ruang tersebut berada di luar pasar / market dan kepentingan golongan-golongan tertentu, maka kita sekarang mengalami the crisis of public space. Yang jelas negara sudah tidak punya kekuatan untuk menjaga public space tadi. Di era liberalisasi ekonomi, public space tidaklah seutuhnya dikuasai oleh negara lagi. Status public space telah digeser oleh space yang berorientasi public / private partnership. ”Private” dalam hal ini mengandung arti privatisasi secara ekonomi. Jadi yang menarik pada situasi ini adalah bagaimana agama (sebagai anggota dari private sector) hidup dan berperan dalam era hegemoni ekonomi bebas ini. Bagaimana agama memanfaatkan atau dimanfaatkan kehidupan ekonomi kompetitif dan monopolistik neoliberal?
JS: Kalau dalam konteks sekarang apakah ada tren tertentu dalam pembangunan dan pemaknaan public space yang ada di Indonesia? Contohnya pembangunan monumen pahlawan Jenderal Soedirman di Jakarta beberapa tahun belakangan ini di tengah-tengah pembangunan bangunan moderen seperti superblok dan berbagai bangunan pencakar langit. Apakah dengan demikian pembangunan monumen-monumen seperti itu juga dimaknai sebagai bagian dari proses privatisasi dan kapitalisasi ruang yang sedang berlangsung seirama dengan bangunan-bangunan moderen tersebut? Atau, apakah memang ada usaha untuk pengingatan masa lalu di tengah-tengah perkembangan saat ini melalui monumen seperti itu?
AK: Ini persoalan ruang-ruang kota yang sudah dipengaruhi kekuatan neoliberal (istilah lain dari private / public partnership). Artinya pasar bebas itu dibiarkan untuk menentukan arah atau wujud kota. Sebetulnya kalau dianalisa superblok-superblok yang terjadi di Indonesia itu kita bisa melihatnya dengan kacamata politik ekonomi, yakni ketika sektor private (melalui investasi kapital) itu mampu menata kota, merubah ruang dan bentuk kota. Jadi ada semacam penguasaan ruang untuk mencapai profit maksimal (-tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial setempat). Kemungkinan pun terbuka bagi kelompok agama untuk ikut berperan dalam keterbukaan ekonomi dan menguasai ruang kota.
Tapi pada saat yang sama pemerintah kota juga cukup giat membangun monumen-monumen bersifat nasional seperti monumen Soedirman dan pemagaran Monumen Nasional. Di satu pihak terlihat semacam usaha menunjukkan nasionalisme, di lain pihak kota itu sudah dilahap oleh ekonomi global. Kelihatannya ada dua kekuatan yang saling melawan tapi sebenarnya mereka bekerjasama, jadi sangat beda dengan, misalnya era Soekarno, ketika monumen-monumen yang didirikan memang untuk membangun politik dekolonialisasi. Sekarang memang ada juga monumen nasional, tapi itu terjadi pada konteks ketika Indonesia sedang mengalami neoliberalisasi.
JS: Bagaimana sebaiknya kita memahami pembangunan monumen nasional (atau keagamaan) di era neoliberal?
AK: Pendirian monumen Soedirman dan Tugu Selamat Datang di jamannya Sutiyoso misalnya boleh dikatakan adalah usaha untuk menunjukkan bahwa negara atau pemerintah kota masih punya wibawa untuk melawan krisis ekonomi. Di era Reformasi setelah jatuhnya Soeharto ada semacam looseness in the center, bahwa pusat itu seakan-akan sudah goyang, terllihat bahwa kewibawaan pemerintah sudah runtuh. Sutiyoso itu ’kan diangkat pada masa Soeharto. Jadi sebetulnya secara mental dia masih mengikuti jaman lama. Dia agak kaget dan emosi-an bahwa ternyata saat dia menjabat gubernur sifat orang Jakarta sudah berbeda. Dia merasakan efek losseness in the center, dan itu perlu diutuhkan kembali. Dan berbagai usaha dilakukannya. Selain membangun monumen, monas juga dipagari, dan tugu selamat datang dibuat lebih meriah. Semua monumen ini dilalui busway-nya. Semua usaha ini seakan-akan mau menunjukkan kepada setiap orang bahwa kita itu masih mempunyai pusat kekuasaan – semacam public order di public space yang sebenarnya sudah makin dilahap oleh kapital. Posisi ini yang pernah saya sebut sebagai kaum nationalist urbanism, yakni usaha membangun rasa nasionalisme (-mirip dengan membangun rasa keagamaan) disaat ekonomi global atau privat capital sedang melahap ruang kota. Jadi wacana monumen nasional-nya Sutiyoso itu adalah dalam rangka menghadapi tekanan ”masa kini” dan juga untuk mengangkat kewibawaannya di zaman Reformasi dan digiatkan oleh kapital. Di era kita, rasa nasionalisme dan rasa keagamaan tidak terlepas dari rasa kebebasan yang diberikan oleh ekonomi liberal.
JS: Jadi Sutiyoso itu ingin mengangkat semacam kolektif memori bangsa di masa ”looseness in the centre”?
AK: Melalui simbol-simbol kota. Tapi pada saat yang sama Sutiyoso itu juga pragmatis. Dia ingin dikenang sebagai gubernur yang berprestasi. Jadi dia juga ikut budaya gubernur di Jakarta sejak dulu sampai sekarang, yaitu bahwa setiap gubernur ingin suatu ”monumen” dibangun pada jamannya. Jadi pembangunan yang bersifat short term selalu diutamakan. Kalau diminta untuk investasi sesuatu yang lebih substansial tapi memakan waktu jangka panjang, misalnya lebih dari 5 atau 6 tahun, yang melebihi masa pemerintahannya, biasanya gubernur-gubernur tidak mau, merasa sayang namanya nanti tidak muncul dalam sejarah. Kalau melebihi masa pemerintahannya, proyek jangka panjang itu takut akan diklaim sebagai hasil dari pemerintahan gubernur berikutnya.
Jadi monumen-monumen yang menjadi simbol kota itu tidak mempunyai makna yang utuh, dia harus dipahami menurut konteks keberadaannya. Kita harus memahami formasi sosial politik yang berkembang dan dikaitkan dengan monumen itu. Belum kita ketahui juga bagaimana persepsi masyarakat terhadap monumen-monumen Sutiyoso misalnya, jadi dibutuhkan riset sendiri.
JS: Bagaimana pula dengan monumen-monumen di era Soekarno?
AK: Di era Soekarno kita mengalami ”state modernisme” (istilah yang pernah dipakai kolegaku Michael Leaf) ketika negara (bukan pasar) mengambil peran utama dalam menata ruang kota. Untuk era ini kita perlu menganalisa Presiden Soekarno dan geopolitik perang dingin beserta upaya negara ketiga untuk membentuk jati dirinya yang moderen di luar tatanan blok Timur dan Barat. Uniknya, di pasca perang dunia II itu, arsitektur modernis (yang mempengaruhi bahasa arsitektur blok Timur dan Barat) itu pula yang menjadi bahasa arsitektur dunia ketiga. Tampak sekali Bung Karno terpesona oleh monumen-monumen yang bersifat modernis, dan monumen itu punya bahasa tertentu yang menurut dia beda dari segala bahasa yang pernah ada di ruang Indonesia. Soekarno tidak tertarik pada arsitektur kolonial atau bangunan tradisional Indonesia. Dia lebih tertarik dengan bahasa yang baru, yang translokal. Bahasa itu didiskusikan pada zamannya dan diterapkan di luar Indonesia, ada istilahnya international style dan modernist architecture. Itu baginya adalah aspirasi dunia baru, dan itu yang dia ambil. Untuk memahami bagaimana Bung Karno bisa berpikir demikian, kita harus memahami konsep dari arsitektur modernis yang dia pakai, seperti gedung Wisma Nusantara, gedung Parlemen dan boulevard yang sangat kontras dengan bagian lain dari Jakarta. Konsep demikian itu bukan penemuan dari Bung Karno sendiri, tapi dipinjam dari dunia luar. Dia pernah ngomong dalam salah satu pidatonya: ”Kalau kamu melihat kota baru, lihatlah dunia luar misalnya Brasilia.”
Estetika dari arsitektur modernis bisa cocok dengan jiwanya Bung Karno karena gerakan arsitektur modernist waktu itu percaya bahwa mentalitas manusia bisa dirubah melalui kekuatan bentuk dan ruang arsitektur. Ada misi untuk men-”civilize” manusia Indonesia melalui aristektur modernist. Konsep ini juga berlaku saat ini. Manusia dibawa ke dalam superblok untuk dididik menjadi manusia superblok. Bedanya adalah superblok masa kini dipengaruhi oleh ”market modernism” yang dalam keterbukaannya cenderung men-segregasi-kan kelas.
JS: Jadi apakah ruang publik itu lebih baik dikuasai oleh negara daripada pasar?
AK: Ruang publik yang dimiliki dan diurus oleh negara tidaklah selalu lebih baik atau lebih buruk dari pada ruang private yang berorientasi publik. Semua itu tergantung pada konteks dan politik pemakaiannya. Kedua tipe ruang ini bisa saja menjadi arena pembentukan kesadaran kolektif yang kritis. Kita tahu Bung Karno sering memanfaatkan ruang publik untuk menyatukan perasaan melawan neo-imperialisme dan sebagainya. Kita tahu jalan-jalan protokol di zaman reformasi sering menjadi arena demonstrasi. Kita juga tahu bahwa acapkali ruang-ruang private (seperti mal) atau warung kopi di pinggir jalan bisa menjadi arena perdebatan politik yang bisa membangkitkan kesadaran sosial masyarakat. Yang jelas, ruang publik yang dimiliki dan diurus negara makinlah berkurang karena statusnya telah diubah menjadi public-private atau telah diprivatisasi demi kepentingan tertentu. Pergeseran ini menciptakan krisis pada ruang publik tapi juga kemungkinan dan realita baru.
JS: Jadi ada prospek ruang publik di kota-kota di Indonesia meskipun ia berada dalam konteks private / public partnership?
AK: Prospek selalu ada dan ini perlu di teliti melalui analisa para urbanis Indonesia. Cukup banyak peneliti Indonesia yang telah menulis dampak private / public partnership terhadap kota Jakarta (-misalnya Tommy Firman, Marco Kusumawijaya, Jo Santoso, dan Herlambang Suryono). Mereka yang mendukung privatisasi mengatakan bahwa kualitas ruang makin baik, contohnya keteraturan kota-kota real estate di pinggiran kota atau mal-mal di tengah kota –meskipun ketertibannya tergantung pada satpam dan gardu. Sementara, yang melawan privatisasi mengatakan bahwa makin menghilang ruang publik yang secara bebas boleh dipakai masyarakat umum, dan interaksi sosial pun jadi kurang beragam karena ruang-ruang private cenderung eksklusif, dan sebagainya. Sedangkan yang berada di tengah-tengah menunjukkan kontradiksi pemakaian ruang dan mengatakan bahwa mungkin di ruang-ruang private itu muncul kreativitas-kreativitas yang progresif dan juga regresif. Intinya, prospek ruang publik untuk demokrasi makin menipis dan tantangan makin banyak karena ia berada di ruang ekonomi yang mengutamakan privatisasi. Berbagai kelompok masyarakat mulai dari yang berorientasi agama, etnisitas dan kelas berusaha memanfaatkan strategi private / public partnership untuk menguasai ruang kota, baik dengan maksud yang progresif maupun regresif. Ruang publik telah menjadi arena perebutan untuk kepentingan masing-masing.
Civic Space
JS: Belakangan muncul konsep civic space di celah-celah ruang publik dan private. Apa itu civic space?
AK: Civic space ini merupakan konsep baru yang muncul karena tidak puas dengan konsep public space. Public space menurut teorinya itu dimiliki atau diatur oleh negara. Jadi ada semacam ketergantungan dengan negara. Masyarakat (kelas menengah merasa tidak bebas karena political consciousness-nya tidak lepas dari framework negara. Sehingga, para urbanis mau memunculkan suatu ruang baru yang namanya civic space, yakni ruang yang dibentuk (dan dimiliki) oleh masyarakat sipil yang terlepas dari kekuatan negara dan ekonomi.
Alasan lainnya adalah untuk melawan ideologi neoliberal, public-private partnership, yakni pada saat ruang publik milik negara telah ”dijualkan” ke private. Contohnya Senayan. Bung Karno mengatakan tempat itu mengandung jiwa perjuangan bangsa, dan situs itu hanya untuk pemerintahan dan olahraga. Pelan-pelan prinsip ruang publik Senayan itu tergeser oleh ideologi public-privateship partnership.
Konsep civic space (yang di populerkan oleh Michael Douglass) ini berangkat dari suasana dan aspirasi post-authoritarianisme Asia. Konsep ini ingin memberi peran yang lebih banyak pada civil society dalam menghadapi kekuatan private / public partnership yang telah diuraikan diatas. Jadi civic space itu adalah space-nya civil society– sebuah ruang yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa dikuasai oleh kepentingan negara dan ekonomi. Jadi menurut teori, civic space adalah ruang publik yang bisa menjadi tempat untuk masyarakat madani, atau sipil, bisa berkembang tanpa tekanan negara dan bisnis.
Konsep ini cukup menarik dalam usahanya untuk memperdaya civil society, tapi ia juga punya kelemahan terutama dalam konteks civil society yang tidak menyatu– ketika konflik mewarnai kehidupan masyarakat madani. Civil society itu tidak selalu demokratis dan banyak anggota civil society yang tidak punya toleransi terhadap kemajemukan ruang kota kita. Pertanyaan berikut sering muncul dalam diskusi civic space: Apakah betul lebih baik organisasi masyarakat yang menguasai dan menjaga civic space? Bukankah masyarakat sipil itu terbagi atas berbagai kepentingan? Siapakah yang dimaksud dengan masyarak sipil? Yang bayar pajak? Yang punya tanah? Yang punya kekuasaan? Yang punya jumlah penduduk terbanyak? Yang punya kepercayaan tertentu? Yang punya nenek moyang di Nusantara?Jadi siapa yang menjamin kehidupan civic space yang sehat bila civil society sendiri tidak mampu menjaganya karena banyaknya kepentingan yang berbeda? Akhirnya, civic space yang baik mungkin hanya bisa terwujud bila ”dijaga” (tanpa dikuasai) oleh negara yang civil, yakni negara yang memiliki civic consciousness. Tapi cukup civil-kah negara kita?
JS: Apakah mungkin negara menjaga civic space?
AK: Masalahnya adalah siapa lagi kalau bukan negara berdasarkan hukum yang punya kekuatan menjaga kualitas civic space yang demokratis? Civic space harus dijamin keamanannya supaya masyarakat merasa aman dan bebas mengkritik kebijaksanaan negara yang dianggap tidak adil dan bijaksana.
Negara dan kapital sebenarnya mempunyai sikap yang ambiguous terhadap civic space. Mereka jelas tidak mendukung civic space bila ia dipakai untuk, justru, mengkritik negara dan kapital. Tapi Negara dan kapital juga perlu civic space karena mereka punya kepentingan juga, yaitu untuk memoderasi konflik masyarakat. Bukankah lebih baik menyediakan ruang untuk protes (yang tertib) dari pada sama sekali tidak ada ruang untuk mencurahkan hati, sehingga yang terjadi adalah kekerasan tanpa kontrol? Jadi dalam konteks ini kita bisa melihat kepentingan negara dalam menjaga keberadaan civic space. Dalam konsep civic space, peran negara, kapital dan masyarakat memang agak kontradiktif, tapi cobalah dipikirkan – Apakah civic space (space-nya civil society) bisa berjalan dengan baik dan demokratis tanpa di dukung oleh negara?
JS: Apakah penting menciptakan civic space yang sifatnya religius?
AK: Memang civic space itu hanyalah berfungsi bila ia diisi oleh makna, nilai dan norma pada konteks tertentu. Pertanyaannya adalah nilai yang mana? Norma dari mana? Dan maknanya siapa? Apa kepentingannya? Apa konsekuensinya bila makna, nilai, dan norma itu diterapkan? Siapa yang bakal tersingkirkan?
Pertanyaan-pertanyaan demikian haruslah dihadapi dulu sebelum memikirkan civic space yang sifatnya religius. Apakah penting atau tidak untuk diadakan civic space yang sifatnya religius tergantung pada konteks setempat. Pada saat menghadapi komersialisasi ruang, misalnya, maka ide bahwa ada ruang bersifat religius yang tidak bisa dijual-belikan adalah argumen yang penting untuk dihadirkan. Tapi bila civic space yang bersifat religius itu maksudnya ruang yang tidak mengizinkan protes pada ketidakadilan atau tidak mengizinkan identitas majemuk, tentulah bukan civic space lagi namanya.
Agama, Urbanisasi dan Memori Bangsa
JS: Bagaimana Anda melihat dinamika pembangunan rumah-rumah Ibadah di Indonesia? Apakah framework mayoritas-minoritas bisa ditempatkan di sini?
AK: Hubungan antara agama dan urbanisasi belumlah banyak dianalisa dalam studi perkotaan. Dinamika pembangunan rumah-rumah ibadah di Indonesia sekarang cukup penting untuk dikaji. Apakah ada kaitannya dengan masalah ketimpangan sosial dan kemiskinan? Tentang transmisi tradisi beragama? Tentang penciptaan kebersamaan dalam kesusahan dan keberhasilan? Tentang penguasaan identitas? Tentang konflik mayoritas dan minoritas? Tidaklah jelas, tapi realitas menunjukkan bahwa kalau di Indonesia dalam pembangunan rumah ibadah untuk Muslim sangat dipermudah, tapi kalau untuk membangun gereja, misalnya, itu akan dipersulit. Dalam hal ini terlihat struktur-struktur yang mendukung dan juga membatasi identitas agama. Masalahnya mungkin bukanlah hanya karena mayoritas perlu lebih banyak bangunan ibadah, tapi berkurangnya toleransi kemajemukan dan ambiguitas dalam pembangunan identitas agama. Padahal kemajemukan dan toleransi adalah kolektif memorinya Indonesia. Sayang kolektif memori demikian makin diancam oleh kolektif memori yang mengutamakan konflik dan pembedaan.
Kalau kita melihat mesjid-mesjid tua, kita bisa merasakan percampuran arsitekturnya dengan paham Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal. Kalau kita melakukan studi mesjid kuno itu terlihat jelas bahwa ada percampuran dan ambiguitas identitas, suatu suasana yang juga dimiliki beberapa bangunan ibadah agama lainnya. Tradisi sinkretisme demikian sering terlupakan meskipun sebetulnya ia punya kolektif memori yang cukup kuat. Mungkin karena konteks politik dan ekonomi sekarang kelihatannya nilai-nilai sinkretisme itu makin dipermasalahkan. Jadi saat ini bisa disebut juga sebagai masa munculnya wacana-wacana moralitas yang membekukan identitas. Norma-norma makin berperan sehingga perasaan ambiguitas yang menjadi dasar terbentuknya toleransi menjadi makin tergeser.
JS: Memori seperti apa yang perlu terus dibangun dalam ingatan masyarakat Indonesia?
AK: Bahwa Indonesia itu dibentuk oleh berbagai kalangan masyarakat majemuk, Pramoedya Ananta Toer memakai istilah child of all nations; bahwa Indonesia itu bukan warisan yang bisa dimonopoli, tapi suatu proyek bersama yang sifatnya incomplete; Bahwa Indonesia itu future-perfect, menurut Ben Anderson. Sehingga, status Indonesia itu tidaklah pernah komplit. Bahwa konsep ”menjadi Indonesia” ini perlu partisipasi dan usaha semua orang untuk menjaga dan membina kualitasnya karena Indonesia itu dibentuk oleh child of all nations. Memori demikian sering terlupakan karena sudah dihapuskan oleh wacana warisan nenek moyang, wacana milik kita jadi tidak perlu lagi dipikirkan pembentukannya. ”Punya gue” dan ”sesuka bapak” karena, ’kan, ”milik kita” -adalah ungkapan-ungkapan dan kebiasaan-kebiasaan yang akhirnya meruntuhkan memori kolektif dan juga menjatuhkan civic-ness dari ruang publik yang sudah kita diskusikan di atas.
JS: Apakah proses pelupaan itu bagus / baik bagi memori bangsa Indonesia?
AK: Memori bangsa itu selalu selektif dan terikat konteks. Bangsa itu, kata Ben Anderson, seperti manusia. Kita dibentuk oleh pelupaan, karena kita tidak pernah ingat saat kita dilahirkan atau masih bayi. Kita diingatkan melalui cerita orang tua, foto album, video, dan sebagainya. Si itu kakakmu, si itu adikmu, sering kaget juga ternyata kita anak pungutan. Itu pun kita tahunya karena cerita orang. Asalmu dari mana itu tidak pernah habis awal dan akhir ceritanya. Jadi kalau ada tugas mencari asal mula, maka orang cenderung ingin melihat jauh ke belakang– semakin jauh semakin baik, katanya. Politiknya tentu ada juga. Bagaimana kalau oomku ternyata bajingan; bagaimana kalau tanteku dari tanah seberang; bagaimana kalau kakek-ku komunis, wah untunglah ternyata iparnya nenekku ajudan sultan dan sebagainya.
Sejarah bangsa itu juga demikian, disusun mirip album famili. Tidaklah mungkin pernah lengkap, bisa berubah, dan selalu disertai pelupaan karena malu, benci, takut, dan sebagainya bila diketahui generasi berikutnya. Memori bangsa memang dibentuk dari pelupaan, atau pelupaan selektif. Yang penting bukanlah pelupaan itu bagus atau tidak, karena tidak ada memori tanpa pelupaan, tapi bagaimana pelupaan itu dipahami sebagai bagian dari keputusan dan kebutuhan politik. Pelupaan itu bagus bila diperlihatkan prosesnya– sehingga kita menjadi cerdas, paham, dan mengerti konsekuensinya. Bagus juga bila kita mengetahui bahwa bangsa kita bukanlah hasil warisan yang tidak perlu dipertanyakan, tapi perjuangan yang penuh dengan politik pelupaan.
Bahwa, seperti Walter Benjamin pernah bilang, barbarism adalah bagian dari civilization kita, dan mengetahui kontradiksi ini akan membantu generasi muda untuk memahami dirinya, sebagai akibat pelupaan– bukan warisan. Dengan demikian, semoga generasi muda menjadi lebih terbuka dan kritis dalam menghadapi wacana dan politik pelupaan yang mereka hadapi dalam konteks mereka sendiri.
JS: Sebagai bagian dari pertanyaan terakhir, bagaimana mengatasi kontestasi ruang kota di Indonesia antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah?
AK: Kebijaksanan ekonomi kita, sejak akhir tahun 1980an, adalah berdasarkan prinsip public-private partnership, yang mirip dengan praktek ekonomi neo-liberal. Dalam sistem ini, manusia diberi kebebasan untuk memperbaiki nasibnya melalui mekanisme pasar bebas– artinya makin banyak barang dan ruang yang bisa dijual-belikan, makin banyaklah kesempatan untuk memperbaiki nasib. Menurut ceritanya, makin banyak yang bisa dijual-belikan, makin sempurnalah sistemnya– termasuk kesehatan, pendidikan, perumahan, dan ruang publik.
Bagi negara, ini berarti membantu memperluas ruang ekonomi– artinya melepaskan aset-aset negara termasuk ruang publik supaya bisa dijual-belikan. Negara juga melepaskan, perlahan-lahan (- supaya tidak habis diprotes), hak dan kewajibannya atas kesejahteraan rakyat. Dengan demikian paket-paket kesejahteraan itu pun bisa dijual-belikan di pasar bebas. Terjadilah apa yang kita pahami sebagai private-public partnership.
Kebjiaksanaan yang demikian (seperti telah diungkapkan di atas) mengubah status ruang publik karena telah dimasukkan ke pasar untuk bisa dijual-belikan atau diberi izin komersialnya, dan sebagainya). Kita lihat makin banyak ruang publik di Jakarta, misalnya, menjadi ruang private berorientasi publik.
Kebijaksanaan ini jelas berpengaruh besar pada masyarakat miskin kota karena tempat tinggal mereka di ruang-ruang milik negara menjadi target penyediaan lahan untuk bisa dijual-belikan. Akibatnya, terjadi banyak penggusuran. Lahan-lahan ini ingin dimanfaatkan oleh pemerintah kota untuk memperluas taman kota, untuk menyediakan infrastruktur dan untuk mengembangkan ruang private berorientasi publik. Semua ini bertujuan untuk menjadikan kota Jakarta lebih menarik bagi investor dan masyarakat kelas menengah-atas karena kota yang indah bukan hanya nyaman tapi juga akan menaikkan nilai properti dari penghuninya.
Dari skenario ini, jelaslah bahwa kebijaksanaan ekonomi neo-liberal berpotensi membuka lebih luas jurang yang memisahkan kelas atas dan kelas bawah. Dan jurang ini bisa membuka atau memperdalam jurang-jurang yang lain seperti perbedaan agama, etnisitas dan identitas-identitas yang lain. Jadi konflik kelas merupakan masalah yang sangat menekan kehidupan kota. Dan konflik ini terlihat di ruang publik yang kini telah banyak di-privatisasi. Penggusuran adalah manifestasi dari konflik itu, dan masyarakat kelas bawah akhirnya kehilangan hak untuk tinggal di dalam kota.
Bagaimana mengatasinya? Sudah banyak contohnya di negara-negara maju. Biasanya yang miskin dipindahkan ke luar kota– sehingga pusat kota makin dikuasai oleh kelas atas. Bayangannya adalah terciptanya keseragaman pusat kota, tempat masyarakat dari kelas yang sama tinggal di superblok dan keluar-masuk kota yang telah penuh dengan taman dan jaringan pedestrian dan transport yang efisien (-kelihatannya Tata Ruang Jakarta 2010-2030 sudah mengisyaratkan program demikian).
Tapi penyelesaian ini akan dipenuhi oleh banyak masalah, pertama, karena masyarakat kelas atas telah terbiasa tergantung pada masyarakat kelas bawah. Kedua, karena kota yang secara ruang terbagi miskin dan kaya akan makin mengundang konflik. Ketiga, masyarakat kelas bawah yang telah tergeser keluar juga akan meminta penyediaan sarana yang memadai dan pemerintah kota tidak akan mampu menyediakan, sementara investor pun tidak akan memberi dana untuk menfasilitasi kelas bawah karena kurang profit.
Lantas bagaimana mengatasi konflik kelas? Mungkin jawaban sederhananya adalah memberi ruang pada masyarakat miskin untuk hidup di dalam kota, sehingga merekapun mendapat bagian dari hasil perbaikan kota (dan kampung). Bukankah masyarakat miskin juga adalah anggota civil society? Bukankah mereka bisa ikut berperan dalam pembinaan civic space? Apakah mungkin, seperti yang pernah disarankan oleh David Harvey, masyarakat kelas bawah diberi kekuasaan untuk ikut menentukan pemakaian dana hasil dari profit yang diperoleh dari private-public partnership?
JS: Apakah pembentukan ruang itu sendiri, seperti konsep peri-urban, desa-kota itu bisa disebut pembentukan ”segregasi” mentalitas juga?
AK: Pierre Bourdieu pernah mengatakan bahwa pengalaman kita dalam sebuah ruang dibentuk menurut posisi kelas dan identitas kita dalam struktur masyarakat. Jadi ruang dan identitas itu saling berkait. Ruang memperkuat identitas dan sebaliknya. Meskipun demikian, hubungan ruang dan manusia tidaklah mutlak karena kontradiksi sering terjadi dalam hubungan tersebut. Wacana-wacana dan realitas-realitas (politik, ekonomi dan sosial) yang memberi desa kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan kota bisa menyebabkan urbanisasi. Akibatnya adalah makin terbelangkangnya kedudukan desa dan makin bias terhadap kota dalam segala peraturan pemerintah. Orang desa pun selalu dianggap lebih rendah dari pada orang kota, dan sebagainya. Sementara desa menjadi tempat impian bagi kota yang dianggap terpolusi modernitas. Apakah ini yang disebut segregasi mentalitas? Bisa jadi, meskipun dalam kehidupan nyata kita merasa bahwa desa dan kota saling bertaut sehingga terbentuk suatu gaya kehidupan Jakarta yang khas.
Konsep peri-urban dan desa-kota itu boleh dikatakan melawan segregasi mentalitas. Konsep ini berasal dari ahli geografi, seperti Terry McGee yang mengambarkan proses urbanisasi [-ekspansi kota (urban sprawl)] yang dianggap unik. Pemekaran kota ke desa katanya tidak menghilangkan desa, tapi justru percampuran antara kedua wilayah tersebut dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Terry McGee menganggap desa-kota itu memberi harapan bagi kota Indonesia. Tapi ada juga ahli yang menganggap perkembangan yang terjadi di Indonesia (khususnya Jakarta) cukup patologis. Misalnya, daerah peri-urban itu telah menjadi arena permainan kapital dalam bentuk industri-industri milik multicorporation yang menginginkan buruh murah dari desa. Sementara itu, di era market modernisme-nya Soeharto, banyak lahan juga terambil oleh developer besar untuk pembangunan rumah mewah dan kelas menengah. Tanah-tanah di peri-urban telah menghasilkan banyak uang, dan pada saat yang sama cocok dengan politik Indonesia pada tahun 1980an, ketika ada suatu keinginan untuk menciptakan generasi Indonesia baru yang menjauhi kota. Melalui kota baru di peri-urban diharapkan tercipta dunia baru tempat manusia baru yang sesuai dengan Orde Baru itu bisa dilahirkan. Budaya bermobil juga muncul karena meskipun di peri-urban telah dibangun berbagai fasilitas untuk membuat pusat Jakarta itu tidak terlalu dipadati orang penduduk, tetap saja ada usaha untuk terus mengakses pusat kota– dengan mobil dan sekarang juga dengan sepeda motor.
Prof. Abidin Kusno adalah seorang sejarahwan arsitektur dan perkotaan Indonesia. Minat utamanya dalam dunia akademik adalah pada kajian sosiologi, antropologi, budaya visual, sejarah dan politik. Ia mengajar di University of British Columbia. Beberapa buku yang pernah Ia tulis antara lain: 1) Appearances of Memory: Mnemonic Practices of Architecture and Urban Form in Indonesia (Durham: Duke University Press, 2010); 2) Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia. (London and New York: Routledge, 2000); 3) Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Soeharto. Yogyakarta: Ombak Press, 2009; 4) Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Djawa, Yogyakarta: Ombak Press, 2006.
COPYRIGHT © PGI 2018
Be the first to comment