JAKARTA, PGI.OR.ID – Republik Indonesia tidak jelas akan dibawa ke mana? Tiada roh kebangsaan yang menggelora. Penegakkan hukum masih saja berorientasi kekuasaan. Korupsi tidak diperlakukan sebagai penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Untuk menutupinya, justru pencitraan menjadi obat pamungkas yang biasanya disuguhkan melalui media massa.
Kekacauan dan kegalauan melanda negeri ini. Dalam kondisi demikian, Indonesia perlu pemimpin yang mampu membawa bangsa ini keluar dari labirin persoalan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa diteladani.
Itulah kegalauan di Republik Indonesia yang kita diami ini. Bentuk kegalauan inilah yang diangkat dalam diskusi publik membahas buku karya Pdt. Yonky Karman, Ph.D. Diskusi berlangsung di Gereja Isa Almasih (GIA) Rajawali pada Senin (24/3/2014). Hadir dalam diskusi ini sebagai pembicara 1: Pdt. Yonky Karman, Ph.D, 2. Pdt. Gomar Gultom, M.Th. (Sekum PGI), dan 3. Dr. Boni Hargens (pengamat politik alumnus UI) serta moderator: Pdt. Drs. Silvana Apituley (Dosen STT Jakarta dan Anggota Komisioner Komnas Perempuan).
Sebagai penulis buku ini, Pdt. Yonky mengatakan bahwa survei dari Barometer Korupsi Global 2013 dengan skala 0 (tidak ada korupsi) sampai 5 (korupsi akut/epidemik), lembaga DPR berada pada skala 4,5 dan Pengadilan/Kepolisian (4,4). Peringkat sangat buruk ini jelas menimbulkan kegalauan bagi mereka yang masih hidup di negara ini.
Karena itu, Pdt. Yonky menawarkan beberapa kriteria untuk pemimpin masa depan bagi Indonesia, antara lain:
- Berorientasi kebangsaan, bukan keumatan.
- Memiliki kapasitas kerja politik.
- Memiliki integritas dan kemandirian sosial.
- Memiliki sikap kritis.
- Sosok negarawan(-wati) bukan cuma populer dan selebritas.
Pemimpin seperti ini bisa dicapai karena dalam demokrasi selalu ada harapan dan kita perlu mengoreksi dan mengawalnya setiap saat.
Boni Hargens menegaskan bahwa kegelisahan harus menjadi bagian dari kita selama kita masih merasakan adanya ketidakadilan. Bagi Boni point utama menjadi seorang Kristen adalah melalui keseluruhan eksitensi dirinya untuk kepentingan umum. Meskipun umat Kristen di Indonesia adalah minoritas secara kuantitas, tetapi umat Kristen di Indonesia harus menjadi mayoritas secara kualitas.
Boni mengingatkan kita bahwa politik adalah dagangan yang jauh lebih “kotor” ketimbang yang lain. Karena itu, jangan memasukkan politik praktis ke dalam gereja (itulah yang dagangan yang diporakporandakan Yesus di Bait Allah). Gereja harus menjadi entitas dan komunitas sebagai panggilan orang-orang percaya. Saat ini kita, termasuk gereja, menjadi krisis, yaitu krisis refleksi. Kita (termasuk gereja) mulai pudar merefleksikan kebenaran. Inilah kegalauan kita.
Sekum PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th., menanggapi bahwa Yongky Karman berhasil memetakan bangsa Indonesia yang masih sehat pikirannya. Ini menunjukkan bahwa masih ada beberapa orang dari bangsa ini yang mampu berpikir jernih mengkritik situasi dan kondisi Republik ini yang semakin galau. Artinya masih ada yang merajuk asa.
Terkait dengan kegalauan di Republik ini, Pdt. Gultom mengatakan bahwa sedikitnya ada 4 isu (persoalan) yang akan dibicarakan dalam Sidang Raya XVI PGI di Nias, Sumatera Utara, yang akan berlangsung November 2014. Keempat isu tersebut antara lain:
- Radikalisme
- Kemiskinan
- Ketidakadilan
- Masalah Agraria dan isu lingkungan
Di tengah-tengah semua persolan tersebut, para pejabat dan aparatur negara absen, bahkan mereka ikut memfasilitasi hal tersebut.
Karena itu, negara dapat dikatakan gagal. Situasi seperti ini mencerminkan masyarakat yang sakit, ironisnya hal itu terjadi di tengah-tengah bangkitnya agama-agama di negara ini. Kesalehan individu karena kebangkitan agama-agama tersebut diharapkan dapat menjadi kesalehan sosial (komunal). Republik yang galau ini menjadi kegalauan gereja juga. Di sinilah gereja tampil/hadir supaya tidak kehilangan jati dirinya.
Diskusi publik ini diselenggarakan oleh PGIW DKI Jakarta bekerjasama dengan BPK Gunung Mulia dan Gereja Isa Almasih. Peserta yang ikut hadir dalam diskusi ini ada sekitar 50 orang, kebanyakan para pendeta.
Oleh: Boy Tonggor Siahaan (Staf Biro Litkom PGI)
Be the first to comment