Pertama kali saya datang menemui Wiwin Triwinarti pada awal tahun 2014 silam, saya terkejut ketika seorang perempuan berjilbab yang muncul di hadapan saya. Saya sengaja datang ke Depok untuk bertemu Wiwin Triwinarti karena saya mencari guru Bahasa Ibrani. Saya tidak mengira saya akan bertemu dengan seorang Muslimah.
Saat itu saya menanyakan kesediaannya untuk memberikan kursus Bahasa Ibrani bagi beberapa orang yang berminat belajar Bahasa Ibrani yang dikenal di kalangan Kristen sebagai bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Karena keterbatasan waktunya, kursus Bahasa Ibrani itu gagal terwujud.
Pada pertemuan pertama kami yang berlangsung singkat itu, saya menanyakan mengapa Bahasa Ibrani diajarkan di Program Studi Arab. Wiwin menjawab, “Bahasa Ibrani dan Bahasa Arab itu satu rumpun.”
“Apakah Bahasa Ibrani bisa disebut sebagai bahasa tertua di dunia?” saya bertanya. “Ya, Bible (Alkitab) klasik. Lebih tua dari Arab yang jelas,” jelasnya sembari mengangguk-angguk. Dari sejarahnya, Bahasa Ibrani dan Arab beserta Aramaik termasuk dalam rumpun Semit. Semit berasal dari kata Sem, anak Nabi Nuh yang selamat dari air bah yang menjadi cikal bakal nenek moyang bangsa-bangsa itu.
Pertemuan kedua kami berlangsung pada sebuah tengah hari di kala hujan lebat mengguyur Depok, awal Januari 2015. Berkerudung warna moka, perempuan kelahiran Bandung, 13 April lima puluh dua tahun silam ini terlihat ceria dan enerjik. Senyum lebar tersungging di wajahnya yang berkacamata. Siang itu ia baru selesai memberikan tutorial Bahasa Indonesia bagi mahasiswa asing. Sudah 12 tahun Wiwin Triwinarti, M.A mengajar Bahasa Ibrani Dasar di Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia. Gelar M.A diperolehnya pada tahun 1998 dari Program Magister Linguistik Australian National University (ANU) di Canberra, Australia.
Wiwin menjadi pengajar Bahasa Ibrani Dasar secara tidak sengaja. Setelah ia lulus S-1 Bahasa Arab, ia diminta oleh Ketua Jurusan saat itu (Ramli Harun) untuk mendampingi Profesor Ihromi, dosen Bahasa Ibrani di UI. Kebetulan pendamping Profesor Ihromi yakni Amin Subarkah sedang mengambil S-2 di Jogyakarta. Karena menyukai linguistik, Wiwin pun mencoba mendalami Bahasa Ibrani dengan cara mendengar Profesor Ihromi mengajar mahasiswa. Di rumah pun, ia mendengar kaset-kaset rekaman Bahasa Ibrani. Ia baru benar-benar lepas dari Profesor Ihromi setelah belajar mengajar selama dua tahun. Profesor Ihromi kala itu berstatus sebagai dosen tamu di UI. Sehari-hari Profesor Ihromi adalah dosen Bahasa Ibrani Alkitab dan juga pernah menjadi Rektor Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Wiwin sempat mengenang bagaimana sulitnya ia belajar dari Profesor Ihromi karena contoh kata, struktur dan tata kalimat yang digunakan masa itu diambil dari buku berbahasa Ibrani tertua. Maklum, Profesor Ihromi adalah orang Indonesia pertama yang mendapat gelar doktor Bahasa Ibrani Perjanjian Lama dari Amerika Serikat.
“Ketika (Profesor Ihromi) mengajar di sini, sama sekali tidak menyinggung agama,” tegas Wiwin. Wiwin terlihat sangat percaya diri pada profesinya sebagai pengajar Bahasa Ibrani meski tinggal di Indonesia yang mayoritas Muslim. Ia mengaku tidak mengalami hambatan dari keluarga dan teman-teman. Bahkan mahasiswanya pun sudah sangat terbuka pemikiran dan wawasannya sehingga tidak ragu untuk memilih mata kuliah Bahasa Ibrani Dasar.
Wiwin menjelaskan pengajaran Bahasa Ibrani sudah ada sejak Wiwin berkuliah di Program Studi Arab. Awalnya ini menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Program Studi Arab. Namun sejak tahun 2011, Bahasa Ibrani Dasar hanya mata kuliah tambahan yang bebas diambil oleh mahasiswa Program Studi Arab dan program studi lain. Tak heran kelas Bahasa Ibrani Dasar pada tiap semester diikuti oleh mahasiswa berbagai jurusan. Pada semester lalu, Wiwin mengajar dua kelas masing-masing memiliki murid 29 dan 24 orang – ada yang muslim dan ada yang non-muslim.
Wiwin mengatakan mahasiswa dari luar Program Studi Arab maupun fakultas lainnya juga berminat mengambil Bahasa Ibrani Dasar karena dianggap berguna untuk bidang ilmu yang sedang mereka pelajari. Misalnya untuk Ilmu Arkeologi, beberapa penemuan artefak kuno yang bertuliskan Bahasa Ibrani. Untuk mahasiswa Ilmu Perpustakaan, Bahasa Ibrani akan sangat berguna untuk membaca dan pengarsipan naskah-naskah tua yang ditulis dalam Bahasa Ibrani. Mahasiswa Wiwin semester lalu berasal dari jurusan Hukum, Fisika, Psikologi, Ekonomi, Ilmu Komunikasi dan Ilmu Komputer.
Bagi para mahasiswa kelas Bahasa Ibrani Dasar, mata kuliah ini sangat sulit. Tetapi Dosen Wiwin dinilai piawai dan sabar dalam mengajar sehingga mahasiswa senang mengikuti kelas ini. Kesukaran Bahasa Ibrani menurut Wiwin adalah pada vokalnya yang berjumlah 12, konsonan 22.
“Ada vokal panjang, vokal pendek dan vokal pendek yang lebih pendek.”
Kesulitan semakin bertambah karena vokal umumnya tidak ditulis sehingga orang yang mau berbahasa Ibrani harus mengingat setiap kata dan tata cara penulisan karena berubah-ubah. Wiwin mencontohkan kata “bait” yang berarti rumah, dapat berubah menjadi “bet” ketika bertemu dengan kata lain. Contoh lain sebuah kalimat “mahasiswa universitas itu” dan “mahasiswa-mahasiswa univertas itu”, maka dalam Bahasa Ibrani penulisan dan bunyinya berubah.
Wiwin mengakui belajar Bahasa Ibrani itu susah namun sangat unik. Bahkan Wiwin menilai perubahan vokal dalam kalimat yang luar biasa itulah yang menjadikan bahasa ini unik. Menurut Wiwin, meski ia dapat membaca aksara Ibrani, namun hanya ketika ada vokalnya saja.
“Itu sangat menantang. Saya yakin mereka itu (pengguna Bahasa Ibrani) pintar-pintar karena ingatannya sangat kuat,” kesimpulan Wiwin. Namun bagi yang bisa berbahasa Arab, cukup mudah untuk belajar Bahasa Ibrani karena Bahasa Ibrani juga mengenal perubahan tunggal-jamak feminin-maskulin untuk bentuk nomina, juga perubahan bentuk verba berdasarkan pelakunya.
Selain itu, sebagaimana bahasa Arab penulisannya juga dilakukan dari kanan ke kiri. Tetapi, bentuk aksara, sangat berbeda dengan Bahasa Arab. Kedekatan Bahasa Ibrani dengan Bahasa Arab dicontohkan Wiwin dengan kata: talmid (mahasiswa/murid pria-Ibrani) dan tilmidz (mahasiswa/murid pria-Arab).
Meski bergelut dengan Bahasa Ibrani, Wiwin mengaku tidak menggali lebih jauh tentang budaya dan orang-orang pengguna Bahasa Ibrani.
Saya bertanya, apakah ia ingin ke Israel, negara pengguna Bahasa Ibrani? Dengan lugas, Wiwin menjawab “Ya, saya ingin tahu situasinya, bagaimana belajar Bahasa Ibrani ke negaranya sendiri.”
Dari selasar di depan ruang kerjanya, kami berpindah ke meja kerja Wiwin yang dipenuhi tumpukan buku dan kertas. Beberapa buku ajar Bahasa Ibrani ada di sana. Semua buku diupayakan sendiri oleh Wiwin. Tak sungkan-sungkan, Wiwin mengaku meminta buku ajar Bahasa Ibrani dari rekannya yang berkebangsaan Belanda. Sebuah buku yakni Bahasa Ibrani dengan terjemahan Bahasa Arab diberikan oleh muridnya ketika berlibur ke Mesir. Sedangkan Profesor Ihromi mewariskan dua buah buku ajar yang masih digunakan Wiwin hingga sekarang. Wiwin mengatakan sangat membutuhkan bahan ajar yang memadai. Ia berharap ada bantuan buku-buku yang sangat sulit didapatkan di Indonesia.
Wiwin adalah ibu dari dua orang putra berusia remaja. Foto Fadli Fikriawan Wibowo dan Gilang Novrizal Wibowo beserta sang suami Indiarto Wibowo terpajang bersama foto diri Wiwin ketika belum berjilbab di jendela meja kerjanya. “Ah, itu foto saya untuk ijazah sarjana.”
Wiwin mengaku pernah bercita-cita menjadi guru TK ketika ia masih kecil. Namun, Tuhan Yang Maha Kuasa membawanya menjadi salah seorang pengajar Bahasa Ibrani yang cuma dikuasai segelintir orang Indonesia. Bahkan, orang Kristen yang notabene membaca Alkitab Perjanjian Lama umumnya tidak dapat membaca dalam Bahasa Ibrani, bahasa aslinya. Karena itu ketika berkenalan dengan orang-orang yang beragama Kristen, Wiwin biasanya memberitahukan profesinya dan mengajak kalangan Kristen untuk menekuni Bahasa Ibrani. “Umat Kristen bisa menggali Bible (Alkitab) lebih dalam karena tahu arti dalam bahasa aslinya.”
Tak terasa sudah dua jam kami berbincang. Hujan di luar sudah berhenti, memudahkan Wiwin, si penyuka alam ini untuk bergegas pulang ke rumahnya di Sawangan.
“Perbedaan itu jangan dijauhi, justru kita harus pelajari untuk memahami, ujarnya sambil tersenyum.” Mendengar kalimat itu, mendadak langit kelabu di atas kepala kami terasa secerah mentari.
Penulis: Monique Rijkers
Sumber: http://www.portalkbr.com/opini/opinianda/3379852_4308.html
Be the first to comment