Refleksi Hari ke 5: Mari Kaum Muda Bangkit!

WAINGAPU, PGI.OR.ID-Sidang Raya XVII PGI yang masuk dalam hari ke 5 dimulai dengan ibadah pagi yang diikuti seluruh peserta. Dalam renungan yang disertai oratorium singkat yang disiapkan tim ibadah, di dalamnya disinggung kerjasama antar sesama, terkhusus kaum muda disertai simbol mengikat tali satu dengan yang lain sebagai bentuk kerjasama.

Refleksi yang dibawakan oleh Pdt. Merry Kolimon bekerjasama dengan remaja bernama Roslinda Tamo lebih akrab dipanggil Oslin, siswa kelas 3 SMP yang mejadi ketua Forum Anak Desa Kombapari dan ia terpilih menjadi salah satu perwakilan anak Indonesia untuk mengikuti kegiatan High Level Political Forum di PBB New York, USA pada 8-18 Juli 2019 lalu mengetengahkan drama kondisi anak saat ini.

Refleksi yang mengangkat soal Rahab dalam konteks masyarakat yang meminggirkan perempuan dan anak. Dikisahkan perempuan dan anak adalah kelompok rentan, kerap hidup dengan stigma dan terus menjadi korban kekerasan, bukan hanya dalam konteks masa lalu tapi juga masa kini. Di Sumba, ada praktik kawin tangkap, di mana perempuan baik anak maupun dewasa ditangkap di jalan atau di mana saja, dan dilarikan ke rumah untuk dikawini. Pendeta-pendeta perempuan di Sumba bangkit menentang dan menghadirkan kesadaran baru. Mereka mendampingi kelompok-kelompok masyarakat bawah dalam stratafikasi sosial.

Apa yang disampaikan dalam refleksi pagi di hari ke lima SRXVII PGI itu sejalan dengan apa yang disampaikan Benyamin Lumy, pengurus nasional Jaringan Peduli Anak Bangsa dan anggota pokja anak Biro Perempuan dan Anak PGI, yang menuliskan pesan dengan tema: Di mana posisi anak dalam Sidang Raya XVII PGI ?

Beny menulis, PGI sebagai lokomotif dari gereja-gereja di Indonesia harus serius menggarap isu anak dan menjadikan perlindungan anak serta pemenuhan hak anak menjadi arus utama program PGI 5 tahun mendatang. Dengan mengarusutamakan anak melalui Gerakan Ramah Anak, PGI mendorong setiap gereja, sekolah kristiani dan lembaga kesejahteraan sosial anak kristiani untuk menata ulang seluruh segi kehidupan gereja dengan membangun budaya ramah anak, mulai dari keluarga, pemimpin dan pelayanan yang berperspektif anak, sarana dan prasarana yang ramah anak, program dan anggaran yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, sehingga terbangun sebuah sistem perlindungan anak, yang didukung dengan kebijakan perlindungan anak untuk menjamin keberlangsunggan dan kesinambungan program-program 10-25 tahun kedepan.

“Gereja diharapkan menjadi lingkungan yang mendukung proses tumbuh kembang anak secara holistik. Dengan demikian, gereja harus pro aktif mengupayakan pemenuhan hak anak dan melakukan pencegahan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak. Gereja tidak boleh lagi terjebak pada respon kasus dan baru bertindak setelah anak menjadi korban dari kekerasan, eksploitasi dan penelantaran,” kata Beny.

Pdt. Merry dan Oslin menekankan ada banyak persoalan yang dihadapi perempuan, mereka yang kehilangan tanah, menjadi orang-orang  yang terbuang, mereka yang harus pergi meninggalkan tanah mereka untuk mencari uang di negeri orang. Ia mendorong gereja-gereja untuk menjadi ruang ketiga, yaitu ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak. Gereja mesti menjadi komunitas yang menghargai dan memulihkan.

Dalam ibadah itu, peserta diajak untuk peduli para tema yang dibahas dengan mengenakan gelang yang telah disiapkan panitia dan memakainya ke setiap peserta sebagai simbol pedui terhadap perempuan dan anak.

Pdt Merry juga berpesan bagi kaum muda di Sumba, untuk lebih banyak terlibat dalam berbagai pelayanan di gereja serta mendorong gereja sendiri memberikan ruang yang lebih banyak untuk kaum muda.

Pewarta: tim media PGI