Hingga tahun kesembilan berjalan, Myanmar menjadi salah satu negara dengan peringkat terburuk di mana minoritas paling terancam, sementara negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Kamboja, Thailand, Indonesia dan Malaysia juga termasuk dalam jajaran ini akibat ketegangan etnis dan agama.
Kemarin Minority Rights Group International merilis State of the World’s Minorities and Indigenous Peoples yang menyajikan studi kasus dari 70 negara di seluruh dunia dan membuat peringkat berdasarkan bahaya yang dihadapi oleh minoritas di sana.
Satu-satunya negara Asia Tenggara membuat komunitas lain di bawah ancaman adalah Myanmar. Negara ini berada di peringkat ke-8 dari sepuluh negara dunia – di bawah Somalia sebagai peringkat 1, Afghanistan (5), dan Pakistan (7). Meskipun pemerintah Myanmar telah berubah secara bertahap, namun laporan itu mencatat “permusuhan dengan Muslim minoritas”.
“Pelanggaran yang paling serius terjadi terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, tapi kekerasan juga telah menyebar ke bagian lain negara itu, yang dilakukan ekstremis Buddha. Selain dilakukan oleh massa atau geng Buddha lokal, pemerintah juga mengurangi bantuan kemanusiaan kepada 100 ribu pengungsi Muslim Rohingya yang tinggal di kamp-kamp, ” demikian laporan itu.
Pada Selasa, kekerasan sektarian pecah di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar setelah massa Buddha – termasuk para biksu – melemparkan batu ke toko milik Muslim yang dituduh memperkosa seorang wanita Buddhis.
Ratusan aparat kepolisian dikerahkan untuk membubarkan massa, menembak peluru karet ke kerumunan massa sehingga terjadi kekerasan yang menimbulkan dua orang tewas dan lima cedera.
“Sementara Burma telah membuat kemajuan di beberapa daerah, namun mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran terkait kekerasan suku,” kata Hanna Hindstrom, petugas informasi Minority Rights Group International di Asia.
Hindstrom mengacu pada gencatan senjata di antara pemerintah dan suku Karen sebagai salah satu perbaikan sejak Myanmar mulai reformasi tahun 2011, namun kekerasan di negara bagian Kachin dan negara bagian Shan menunjukkan tanda-tanda sedikit mereda.
“Minoritas Muslim Myanmar telah menghadapi kekerasan dan permusuhan yang meningkat selama dua tahun terakhir akibat pidato kebencian,” tambahnya.
Di Thailand, pasukan anti-pemerintah menuduh Kamboja bersekongkol dengan keluarga Thaksin Shinawatra untuk mengacaukan negara itu.
Baru-baru ini, junta militer telah menindak para pekerja migran ilegal Kamboja dan Myanmar, yang menimbulkan eksodus massal dan menimbulkan kekhawatiran di antara kedua negara itu.
Sementara itu, di Malaysia dan Indonesia kampanye kebencian yang mengarah ke serangan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas dan imigran.
Setelah Perdana Menteri Malaysia Najib Razak hampir tak terpilih dalam pemilu lalu, ia dituduh mengobarkan rasisme anti-Cina.
Sementara itu kelompok militan di Indonesia menyerang orang Kristen dan minoritas Muslim dalam beberapa tahun terakhir.
Selain dituduh absen terkait serangan itu, pemerintah juga membuat serangkaian undang-undang yang diskriminatif – termasuk yang mewajibkan semua warga Aceh untuk mempraktekkan hukum Syariah.
Adiani Viviana, dari Lembaga Studi dan Advokasi di Indonesia, mengatakan minoritas seperti Ahmadiyah mengalami penganiayaan “termasuk intimidasi, tindak kekerasan, (dan) larangan beribadah atau mengadakan kegiatan keagamaan”.
“Sejauh ini, polisi telah gagal melindungi penganut Ahmadiyah,” tambah Viviana.
“Meskipun nasionalisme agama dan suku bukanlah fenomena baru di Asia Tenggara, kita telah melihat kebangkitan di banyak negara selama tahun lalu,” kata Hindstrom.
Ia mengatakan, “Ironisnya, banyak pola yang sama dapat ditemukan di seluruh kawasan itu.”
Sedangkan intoleransi dan ancaman terhadap kelompok minoritas agama relatif jarang terjadi di Kamboja. Negara ini telah mengalami peningkatan ketegangan anti-Vietnam dan marginalisasi berkelanjutan minoritas pribumi.
Pemimpin oposisi Sam Rainsy dan wakilnya Kem Sokha banyak menggunakan retorika anti-Vietnam menjelang dan setelah pemilu Juli 2013. Berjanji untuk menghentikan invasi Vietnam, khawatir akan pengambilalihan wilayah Kamboja.
Toko milik Vietnam diserang setelah protes kekerasan pada Januari, sementara seorang pria etnis Vietnam tewas di bulan yang sama akibat serangan massa rasis.
Ang Chanrith, direktur eksekutif Organisasi Hak Minoritas, mempersalahkan pemerintah partai yang berkuasa memicu ketegangan etnis.
“Mereka berhak mengajukan permohonan atau mendapatkan sertifikat menjadi warga negara Kamboja, tetapi hukum tidak ditegakkan atau dilaksanakan sama sekali, yang membuat mereka tidak berwarga negara,” katanya.
Akibatnya, ratusan warga etnis Vietnam belum mampu mengintegrasikan dengan warga lokal – anak tanpa akta kelahiran dilarang sekolah, pekerjaan yang tertutup dan eksploitasi merajalela.
Sumber: UCA News
Be the first to comment