Rakyat Bicara Pembangunan Pariwisata Danau Toba

seminar sehari Rakyat Bicara Pembangunan Danau Toba

JAKARTA,PGI.OR.ID-Pembangunan pariwisata Danau Toba menjadi bahan seminar sehari yang bertajuk Rakyat Bicara Pembangunan Danau Toba di Hotel Ashley Jakarta Pusat, Kamis (4/10). Seminar tersebut merupakan kerjasama antara KSPPM, JKLPK, TUK Indonesia, PGI, ELSAM, Bakumsu, dan LBH FAS.

Seminar yang dimoderatori oleh Brigitta Isworo Laksmi ini, menghadirkan tujuh narasumber antara lain Suryati Simanjuntak (KSPPM), Eko Cahyono (Ketua Tim Riset Danau Toba), Prof. Haryadi Kartodiharjo, Dr. Riwanto Tirto Sudharmo, MA, Andi Marpaung, SH (Kemenpar), Proyogo Utomo (KLHK), dan Rahmawati Retno Winarni (TUK Indonesia).

Pdt. Gomar Gultom saat membuka seminar

Seminar ini dibuka oleh Pdt Gomar Gultom (Sekum PGI) dan diawali dengan testimoni tiga perwakilan masyarakat dari Kawasan Danau Toba yang menggambarkan sejarah pembangunan di Kawasan Danau Toba selama ini dan kondisi kesejahteraan masyarakat di kawasan Danau Toba. Hadir sebagai penanggap Yanuar Nugroho (KSP),  Arimbi (Debt  Watch), Basar Simanjuntak (BPOPKDT).

Seminar tersebut pada dasarnya ingin menegaskan persoalan dan ironi klasik: rakyat perlu pembangunan, namun, pembangunan sering merugikan rakyat. Pembangunan pariwisata Kawasan Danau Toba yang sebagian bersumber dari hutang Bank Dunia ini, masih berulang terjebak dalam ironi yang sama. Sayangnya, penyelenggara pembangunan kerap mengabaikan ironi ini, dan justru tak jarang menuduh rakyat yang menuntut keadilan dan kehidupan yang lebih sejahtera sebagai musuh pembangunan, tak faham pentingnya kemajuan.

Kini, setelah 20 tahun Orde Baru, jenis dan kebijakan pembangunan yang dijalankan di Kawasan Danau Toba masih berwatak developmentalistik; sumberdaya alam dan kekayaan sumber agraria lain (termasuk yang ada di Danau Toba) dianggap sebagai asset, komuditas dan barang dagangan. Sehingga diperlakukan layaknya barang jual beli di pasar. Padahal tidak semua sumberdaya alam boleh diperjualbelikan; tanah, air, udara sebagaimana dimandatkan dalam UUD 1945, pasal 33, semestinya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Praktiknya, pembangunan wisata di Danau Toba, masih jauh panggang dari api dalam memnuhi syarat-syarat keadilan sosial-ekologis bagi masyarakat lokal/tempatan/adat.

Akar masalah itu dapat dilihat dalam beberapa hal, pertama, persoalan paradigma kebijakan pembangunan yang masih berorientasi pada ekploitasi bentang alam dengan seluruh eksotiknya untuk layanan wisata dan pengunjung, devisa dan ekonomi nasional. Hal ini mengkuatirkan, terkait dengan daya dukung dan daya tampung ekologis, hak dan potensi lokal.

 Kedua,  pelanjutan watak pembangunan dengan model warisan pembangunan era Orde Baru, yakni dengan karakter land grabbing, marjinalisasi dan eksklusi masyarakat adat/lokal dan tempatan lainnya dari ruang hidupnya sendiri, memiskinkan masyarakat secara sistematis dan mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis. Pembangunan dilakukan tanpa mengajak bicara masyarakat setempat dan tidak jarang justeru menimbulkan konflik internal masyarakat. Pembangunan pariwisata di Danau Toba tidak secara serius mengatasi persoalan-persoalan ini, malah cenderung membuatnya bertambah parah. Entah, pembangunan wisata di  Danua Toba menjawab masalahnya siapa?

Ketiga, pembangunan selama ini juga selalu bersifat top down. Maksudnya, rakyat memerlukan perbaikan hidup, pemerintah datang dengan berbagai program pembangunan yang cenderung diracang dan dieksekusi secara sepihak sembari memperlakukan rakyat—yang memerlukan kesejahteraan tersebut—hampir sepenuhnya sebagai objek. Perkaranya adalah mensejahterakan masyarakat bukan pekerjaan menjadi sinterklas, tapi soal melibatkan masyarakat itu sendiri sejak awal untuk memikirkan, merancang dan mengeksekusi secara bersama-sama apa yang dianggap paling tepat sebagai pembangunan yang mensejahterakan. Pembangunan pariwisata mengulangi kekeliruan yang sama. Bahkan hingga saat ini sebagian besar masyarakat yang bermukim di Kawasan Danau Toba tidak cukup tahu dan paham apa sesungguhnya yang dimaksudkan dan akan terjadi dengan hiruk pikuk pembangunan pariwisata. Meski demikian, sebenarnya pemrintah sebagaimana ditegaskan oleh Yanuar Nugroho (KSP), bahwa ruang dialog substantif multi pihak. Sebab kadang pemerintah butuh dibantu ditunjukkan kondisi empirik di lapangan, agar gap niat tujuan kebijakan semakin “membumi” dengan kondisi masyarakat yang beragam-ragam. Tujuan pembangunan mesti bergeser dari orientasi administrative menjadi lebih substantive, dari sekedar tujuan out-put ke out-come.

Keempat, upaya pembangunan yang lama—tapi juga yang baru dalam wujud pembangunan pariwisata—sama sekali tidak dikaitkan dengan upaya restrukturalisasi ketimpangan struktur sosial-ekonomi, yang membuat apapun yang dilakukan di kawasan ini selalu hasilnya hanya akan menguntungkan segelintir orang dan merugikan sebagian besar anggota masyarakat. Lebih parah lagi, kemiskinan dan keterbelakangan malah sering dikaitkan dengan kualitas rakyat Danau Toba yang secara arogan dan stigmatis dipersepsikan sebagai rendah, hanya “kualitas no 2”, kurang pendidikan dan masih banyak lagi istilah-istilah merendahkan lainnya.

Maka penting ditegaskan, rakyat Danau Toba tidak anti pembangunan dan justru sangat memerlukannya. Namun bagaimana dan dengan cara apa pembangunan itu akan diwujudkan? Maka diperlukan “rambu-rambu” (apa yang boleh dan tidak boleh) menurut masyarakat atas pembangunan yang akan hadir di ruang hidup mereka. Prinsipnya, masyarakat yang tinggal di kawasan ini hanya tidak mau menerima pembangunan yang justru menyingkirkan mereka atau membuat mereka hanya sekedar, penonton penikmat remah-remah keuntungan yang diraup pemain-pemain besar. Rakyat Danau Toba karenanya menghendaki pembangunan yang kontekstual, partisipatif, mensejahterakan masyarakat banyak, berkeadilan dan ramah lingkungan. Maka, pembangunan yang baik adalah bukan untuk memberdayakan (mensejahterakan) tapi untuk semakin “memper-Tuan-kan” masyarakat dan hormat pada keberlanjutan ekologis bagi anak cucu kita nanti. (Delima Silalahi)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*