Menurut penanggalan gereja (kalender gerejawi), hari ini, Rabu, 1
Maret 2017, adalah Rabu Abu. Rabu Abu, 40 hari sebelum Paskah (Minggu, hari kemenangan tidak dihitung), menandai dimulainya masa Prapaskah, yang dikenal juga dengan masa-masa Passion.
Dalam tradisi gereja, selama masa Passion kita memeriksa batin, sebagai upaya mempersiapkan diri menyambut Kebangkitan Kristus yang menebus dosa kita. Dan upaya itu dimulai hari ini, yang dikenal dengan Rabu Abu atau Ash Wednesday.
Pada hari ini, biasanya gereja menyelenggarakan ibadah yang di dalamnya diberi kesempatan kepada umat untuk menempelkan debu di kening (bagi anda yang berminat, hari ini, pukul 15.00 Karyawan PGI menyelenggarakan Ibadah Rabu Abu di Grha Oikoumene; silahkan bergabung)
Penempelan abu ini adalah tindakan simbolik, yang mengingatkan kefanaan kita: berasal dari tanah (abu), hidup dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah (abu). Kefanaan ini mengingatkan kita akan ketidak-abadian dunia ini, dan olehnya kita perlu bertobat. Penempelan abu ini juga hendak mengingatkan, bahwa satu-satunya Keselamatan adalah dari Tuhan Allah.
Dalam kisah-kisah Alkitab, abu juga sering dipakai sebagai tanda pertobatan. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan dihancurkan, maka “turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu” (Yunus 3:6). Ketika orang-orang Israel menyesali diri, mereka menaburkan abu di kepalanya (Yosua 7:6).
Dari abu kita berasal dan akan kembali menjadi abu (Kej 3:19), maka sesungguhnya tak ada yang layak kita sombongkan. Maka, mestinya, kita harus membiasakan hidup sederhana dan menjalani kehidupan ini dengan kerendahan hati.
Sayangnya, keserakahan telah begitu dalam menggerogoti kehidupan kita selama ini dan mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan kita. Joseph G Stiglitz, peraih Nobel bidang ekonomi pernah berkata, kita ini sedang hidup di dekade keserakahan. Segala bentuk kenikmatan dunia (epithuma) begitu menggoda kita dalam keseharian kita. Kita ini bagaikan kedua anak perempuan lintah yang selalu berkata “Untukku!” dan “Untukku!”, dan tidak pernah mampu berkata “Cukup!” (Amsal 30:15).
Keserakahan inilah sumber berbagai persoalan yang kita hadapi sekarang ini, ketika setiap orang maupun kelompok berlomba menguasai sumber-sumber yang ada, dan bila perlu menegasikan keberadaan orang dan kelompok yang lain. Inilah sumber kemelut dunia ini. Gandhi pernah berkata: “the world has enough for everyone’s need, but not for everyone’s greed“,
Dalam kaitan inilah gereja-gereja di Indonesia, sejak Sidang Raya PGI 2014 di Nias, dengan giat mengampanyekan Spiritualitas Keugaharian (Sophrosun) sebagai kontras terhadap keserakahan ini. Sophron adalah orang yang mengetahui batas-batas dan mampu berkata cukup.
Spiritualitas Keugaharian, dengan demikian, memiliki sedikitnya tiga dimensi: a). Pengendalian diri, sehingga mampu berkata “cukup!”, dan tidak mengambil yang bukan haknya; b). Kesediaan untuk berbagi; dan c). Kesediaan untuk ikut menentangi segala sistem, struktur dan kebijakan yang menghalangi orang menggapai kecukupan bagi dirinya.
Saatnya kita kini mengembangkan Spiritualitas Keugaharian, sehingga pada gilirannya akan tertata dunia yang adil dan sejahtera dan dengan keugaharian ini pula kita mengamini doa yang diajarkan Kristus: “berikanlah makanan kami yang SECUKUPNYA!”
Harus kita mulai dari diri kita sendiri. Kita bisa mulai hari ini, Rabu Abu, dan seterusnya kita menjejeri langkah Kristus dengan Spiritualitas Keugaharian. Kita mulai dengan berpantang daging selama masa-masa Prapaskah ini hingga Perayaan Paskah nanti. Dan sebisa mungkin kita juga mengurangi konsumsi kita sehari-hari. Kita juga mengurangi berbagai bentuk perilaku yang tidak perlu, yang tidak membangun kehidupan bersama.
Tradisi gereja mengajak kita untuk puasa dan berpantang selama masa-masa Prapaskah ini. Mari….puasa dan berpantang: pantang korupsi, pantang melakukan kekerasan, pantang merendahkan martabat orang lain, pantang menggunduli hutan, pantang membuang sampah, pantang menumpuk kekuasaan pada diri dan kelompok sendiri, pantang menggunakan plastik berlebih, dan sederet pantang lainnya yang hanya mengedepankan diri dan kelompok sendiri.
Selamat merayakan Hari Rabu Abu, dan selamat menjejeri langkah Kristus menapaki jalan penderitaan (via dolorosa).