Press Release: Hentikan Pembahasan RUU KUHP/KUHAP

PRESS RELEASE
HENTIKAN PEMBAHASAN RUU KUHP/KUHAP

Tarik ulur pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP/KUHAP di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semakin memprihatinkan. Jika kita menghitung waktu kerja DPR RI yang tinggal 35 hari lagi, di mana konsentrasi 90 persen anggota DPR RI (yang kembali mencalonkan diri pada Pemilu Legislatif 9 April) tertuju pada kampanye dan konsolidasi lapangan, maka pembahasan RUU KUHP/KUHAP sudah pasti tidak akan maksimal dilakukan. Sebuah produk RUU yang harusnya dibahas secara serius dan mendasar, kembali digencarkan dalam tempo sisa waktu 35 hari masa kerja anggota DPR RI (2009-2014), terkesan sangat dipaksakan.

Memang RUU ini sudah dibahas dalam waktu yang cukup lama, namun pertanyaan konkrit di sini adalah, mengapa RUU tersebut seolah-olah dipaksakan pengesahannya di akhir masa jabatan DPR RI periode 2009-2014 ini? Desakan pengesahan RUU KUHP/KUHAP di akhir masa jabatan DPR RI ini patut dipertanyakan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negara ini.

Paska reformasi, bangsa Indonesia telah berkomitmen untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Karena itu dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tugas mencegah terjadinya praktek korupsi. Dalam perkembangannya kewenangan pencegahan saja tidak cukup, sehingga perlu diberikan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan melahirkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).

Publik menanggapi positif kinerja KPK, dan memberikan apresiasi terhadap indepndensi KPK. Artinya publik masih memiliki dan menaruh harapan masa depan Indonesia yang lebih baik ke depan.

Salah satu hal mendasar yang perlu mendapat perhatian dari RUU ini adalah adanya upaya pelemahan peran dan posisi KPK, dengan dipasungnya kewenangan lembaga ini untuk melakukan penyadapan. Sebagaimana diketahui, bagian terbesar dari pengungkapan kasus-kasus korupsi bersumber dari hasil penyadapan ini. Pendasaran nilai – nilai Hak Asasi Manusia sebagai alasan untuk memasung kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan adalah pendasaran yang mengada-ada, mengingat kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus dihadapi juga dengan “extra ordinary”.

Pasal 24 UUD  1945 misalnya telah jelas mengamanatkan tugas Lembaga Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung RI, akan tetapi hal mana semakin tidak jelas dalam RUU KUHP/KUHAP tersebut, di mana kejaksaan tidak akan bisa lagi mengajukan Kasasi kepada seseorang yang telah diputus tidak bersalah pada pengadilan Negeri. Rakyat patut mencurigai adanya upaya pemasungan dan pelemahan kewenangan KPK dan membuat portal hukum bagi para koruptor di negeri ini.  Sedangkan penangan tindak pidana korupsi merupakan sesuatu hal yang tidak biasa dalam penyelenggaraan hukum, sehingga ada yang dinamakan ekstra ordinary.

Terhadap kondisi ini, PGI meminta DPR RI untuk fokus pada proses menjelang Pemilu dan menghentikan pemaksaan penetapan RUU KUHP/KUHAP yang sebetulnya belum dikonsultasikan dengan organisasi masyarakat sipil yang ada di Indonesia.

Bahwa pembahasan RUU KUHP/KUHAP harus dihentikan dan biarkan DPR RI periode 2014-2019 yang akan melakukan pembahasan secara lebih serius dan komprehensif.

PGI juga memita Presiden RI menarik kembali RUU KUHP/KUHAP dan melakukan perbaikan dengan mendapat masukan dari masyarakat umum melalui wadah-wadah organisasi masyarakat sipil yang ada di Indonesia.

 

 

Jakarta, 4 Maret 2014
Biro Litkom PGI

 

Pdt. Henry Lokra, M.Si

082123496932

webpgi@yahoo.co.id

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*