Sejumlah kelompok hak asasi manusia (HAM) mendesak Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, agar tetap memegang janji yang disampaikannya saat kampanye untuk menangani isu pelanggaran HAM “yang cukup memprihatinkan” setelah ia terpilih sebagai presiden Selasa (22/7/2014) lalu.
Menyusul kampanye yang cukup sengit di mana retorika Jokowi tentang HAM bertentangan tajam dengan catatan mantan jenderal Prabowo Subianto, Amnesty International (AI) mengimbau Gubernur DKI Jakarta itu agar memikirkan kembali pendekatan penanganan isu HAM masa lalu.
“Kemenangan Jokowi membangkitkan harapan banyak aktivis HAM yang punya keberanian dan para korban yang telah berjuang melawan impunitas selama bertahun-tahun – harapan tersebut jangan dihancurkan,” kata Richard Bennett, direktur AI untuk Asia-Pasifik.
Jokowi menekankan sebuah Indonesia yang kuat dalam pidato politiknya pasca-kemenangan tanpa menyebut isu HAM yang turut memenangkannya, sementara Prabowo mengatakan bahwa ia akan menggugat hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi.
“Pemilihan Umum Presiden kali ini memunculkan optimisme baru bagi kita, bagi bangsa ini,” kata Jokowi dalam pidato politiknya menjelang tengah malam di atas Kapal Pinisi Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Kekalahan Prabowo merupakan kelegaan bagi sejumlah kelompok HAM yang telah melakukan pertentangan terhadap dirinya menjelang Pilpres yang digelar 9 Juli lalu mengingat peran kontroversialnya dalam penangkapan sejumlah aktivis tahun 1997-1998 di bawah pemerintahan mantan presiden Soeharto.
AI mendesak Jokowi, yang adalah seorang reformis, agar menginstruksikan peradilan guna menyelesaikan penyelidikan terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu dan membebaskan tahanan hati nurani, khususnya di Papua Barat dan Maluku.
April lalu, AI meluncurkan sebuah agenda HAM untuk presiden Indonesia mendatang. Kelompok HAM yang berbasis di London, Inggris, tersebut mengimbau pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghormati kebebasan beragama dan juga mengatasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
“Sebagai langkah awal, kami mendesak pemerintah yang baru untuk mengevaluasi catatan HAM dekade lalu dan merumuskan sebuah rencana aksi yang jelas,” kata Bennett. “Yang terpenting, ini harus dilakukan bersama dengan masyarakat sipil dan aktor kunci lainnya.”
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengatakan bahwa prioritas Jokowi seharusnya mempersatukan bangsa Indonesia setelah Pilpres yang berlangsung cukup ketat pasca-era mantan Presiden Soeharto.
“Setelah konsolidasi, barulah Jokowi konsentrasi pada upaya pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jokowi harus bangun kabinet yang baik. Menteri-menterinya harus orang-orang yang bersih dari korupsi, bebas dari pelanggaran hukum dan HAM dan harus menjunjung tinggi pluralisme,” katanya.
Langkah selanjutnya adalah memilih jaksa agung dan menteri hukum dan HAM “yang berani” dan menyelesaikan katalog pelanggaran HAM masa lalu, lanjut Indarti.
Sejumlah organisasi HAM telah berulangkali mengeluh bahwa pemerintahan Presiden Yudyohono gagal mengganti undang-undang lama dan represif namun menerapkan peraturan yang ketat untuk menekan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan di Papua Barat dan Maluku.
Juni lalu, penguasa setempat menyegel sebuah mesjid milik pengikut Ahmadiyah di Jawa Barat. Mereka menyegel mesjid tersebut berdasarkan SKP 3 Menteri tentang Ahmadiyah.
Para penguasa juga memenjarakan tokoh Syiah, Tajul Muluk, atas tuduhan penistaan agama, yang merupakan satu dari banyak pelanggaran terhadap kelompok minoritas Muslim, kata Sekjen Ahlul Bait Indonesia (ABI) Ahmad Hidayat.
“Kami berharap semua produk diskriminatif yang bertentangan dengan konstitusi akan dihapus,” katanya.
Di Papua Barat, UU Ormas digunakan untuk menahan sedikitnya 24 aktivis pro-kemerdekaan bulan lalu, demikian menurut Papuans Behind Bars.
Menanggapi tuduhan tindakan represif aparat kepolisian di seluruh negeri dan di Papua Barat khususnya, Kadiv. Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie mengatakan kepadaucanews.com bahwa penangkapan di masa lalu selalu dilakukan sesuai dengan undang-undang dan kebijakan pemerintah.
“Itu artinya seperti apa kebijakan pemerintah ke depan, kita sebagai aparat akan mengambil langkah yang sesuai di lapangan,” katanya.
Sumber: ucanews.com
Be the first to comment