Presiden Jokowi Hadapi Setumpuk Masalah HAM

Perubahan kepemimpinan nasional menjadi momentum yang tepat untuk melakukan serangkaian proses evaluasi atas perjalananan bernegara, khususnya setelah 16 tahun runtuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru (ORBA).

Pemerintahan di bawah SBY-Boediono meninggalkan pekerjaan rumah tiga agenda utama pemenuhan HAM, yang bila tak diselesaikan, dapat meruntuhkan pilar kebangsaan dan keberlangsungan agenda pembangunan.

Ketiga agenda utama tersebut – keberanian untuk secara bermartabat menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, perlindungan bagi kelompok minoritas sebagai bagian dari perwujudan demokrasi, serta komitmen untuk merawat kebebasan warga untuk berkontribusi dalam pemerintahan – dengan mencegah lahirnya kebijakan yang memberangus kebebasan berekspresi warga negara.

Isu mengenai penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi pekerjaan rumah rutin tiap kali ada pergantian pemerintahan, sampai adanya suatu langkah penuntasan atas kasus-kasus tersebut.

Serentetan peristiwa kekerasan yang di dalamnya diduga terjadi pelanggaran HAM berat seperti peristiwa G30S/PKI (1965), tragedi Tanjung Priok (1984), pembunuhan misterius (1982-1985), tragedi Talang Sari (1989), penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi (1998), dan kerusuhan sosial Mei 1998, menunggu jalan penyelesaian.

Aksi kekerasan pada serangkaian peristiwa tersebut, tidak hanya berujung pada penderitaan fisik, tetapi juga luruhnya seperangkat hak yang semestinya dinikmati oleh setiap warga negara. Masalahnya, sampai dengan berakhirnya pemerintahan SBY-Boediono, tidak satupun dari agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang mampu dituntaskan secara berkeadilan.

Pada periode SBY-Boediono, kondisi tak kalah menyedihkan juga dialami oleh kelompok minoritas yang terus mengalami tekanan dari kelompok intoleran, tanpa adanya perlindungan yang memadai dari negara. Mereka dijegal kebebasannya, mengalami persekusi, kesulitan mendirikan tempat ibadah, bahkan harus terusir dari kampung halamannya.

Dalam masa pemerintahan SBY-Boediono juga terjadi perbesaran kekerasan berlatar sengketa sumberdaya alam. Meski presiden memberikan atensi khusus pada penyelesaian konflik-konflik agraria, namun sampai dengan akhir masa jabatannya, SBY-Boedino tidak sekalipun mengeluarkan suatu kebijakan khusus dalam rangka penyelesaian konflik-konflik ini.

Kritik terhadap pemerintahan SBY-Boediono juga keras dilancarkan atas lahirnya sejumlah kebijakan yang memberikan ruang bagi tindakan represif dari aparat negara.

Lahirnya kebijakan ini menjadi penanda bergesernya pendulum ke arah yang lebih otoritarian. Situasi ini sekaligus memperlihatkan gagalnya reformasi kelembagaan, untuk keluar dari belenggu dan warisan masa lalu. Menguatnya pendulum otoritarianisme ini antara lain ditandai dengan lahirnya UU Intelijen Negara dan UU Penanganan Konflik Sosial, yang dinilai kurang sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia.

Pemerintahan ini juga dituding berupaya untuk mengkooptasi kembali kehidupan organisasi masyarakat sipil, dengan cara merevitalisasi keberadaan UU Organisasi Kemasyarakatan. Undang-undang ini memberikan ruang yang sangat besar bagi pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi aktivitas organisasi masyarakat sipil.

Oleh karena itu, berangkat dari sejumlah agenda hak asasi yang secara eksplisit telah dirumuskan sebagai prioritas dan komitmen dalam visi-misi pemerintahan Jokowi-JK, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mengingatkan pemerintahan baru melakukan terobosan politik untuk memecahkan kebuntuan atas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara bermartabat dan berkeadilan sebagai dasar membangun tata kebangsaan yang menghormati hak asasi manusia.

Negara perlu hadir dalam perlindungan terhadap kelompok minoritas baik budaya, agama, kepercayaan, maupun kelompok rentan lainnya, termasuk secara ekonomi. Kemampuan perlindungan ini merupakan wujud nyata dari realisasi demokrasi, dan supremasi hukum, serta bagian absolut dari mandat UUD 1945.

Pemerintah melindungi kemerdekaan berekspresi warga, serta memastikan terpenuhinya hak untuk terlibat secara aktif guna berpartisipasi dalam pemerintahan, dengan hadirnya kebijakan yang mendukung perlindungan, serta perlunya mengamandemen seluruh kebijakan yang berkontradiksi dengan kewajiban perlindungan tersebut.

Tiga hal pokok di atas, penting bagi Jokowi-JK guna memilih anggota kabinet yang bebas dari catatan pelanggaran hak asasi manusia, serta bebas korupsi. Pertimbangan ini menjadi utama, guna menghindari ganjalan serta terbukanya ruang politik transaksional, dalam implementasi kebijakan yang mendukung hak asasi.

Sumber: portalkbr.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*