JAKARTA,PGI.OR.ID-Komisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PGI telah melakukan survei menyikapi gereja di tengah pandemik Covid-19. Survei pertama, 28-31 Maret 2020 mengenai warga gereja merespon pandemi Covid-19. Sedangkan survei kedua, 6-13 Juni 2020, terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap kehidupan warga gereja. Hasil survei tersebut, menjadi bahan diskusi virtual yang diikuti oleh pimpinan sinode, jemaat dan aktivis gereja, pada Senin (27/7).
Mengawali diskusi, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty dalam sambutannya secara sepintas memaparkan upaya cepat tanggap yang dilakukan oleh PGI sejak Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, seperti imbauan pastoral, edukasi umat, pembentukan tim relawan dari gereja-gereja anggota, maupun penggalangan dana untuk menopang kerja-kerja penangulangan.
Seiring meningkatnya jumlah korban yang hampir merata di seluruh Indonesia, lanjut Pdt. Jacky, PGI lalu melembagakan upaya penangggulangan tanggap cepat, yang sifatnya lebih permanen dengan mendirikan gugus tugas penangulangan dampak covid-19 dengan nama Gereja Melawan Covid-19 (GMC19). “Kami mengadministrasi kerja-kerja itu secara lebih terstruktur dalam beberapa divisi, antara lain divisi kampanye dan sosialisasi, serta pengembangan jaringan, penyemprotan rumah ibadah lintas agama oleh relawan, tidak hanya di Jabodetabek, tapi hingga ke Bandung, juga pelatihan kepada gereja-gereja anggota di seputar Jabdetabek, juga divisi pastoral, dan devisi penelitian dan kajian, divisi multi media, dan divisi diakonia karitatif, yang didalamnya pengembangan jaringan ekonomi berbasis masyarakat,” jelasnya.
Sekretaris Umum PGI berharap, ke depan gereja-gereja dapat saling menguatkan untuk melihat apa yang akan, dan harus berobah dalam proses-proses intervensi strategis pengembangan pelayanan di tengah situasi ini. “Karena, pasca pandemi pun ada banyak hal terkait strategi pelayanan dan model kehadiran gereja, yang harus diakselerasi dengan perobahan yang dihadapi di tengah pandemi Covid-19,” tandasnya.
Pada kesempatan itu, Evelyn Suleeman dari Komisi Litbang PGI mengungkapkan, dari survei pertama, terkait himbauan berakivitas dari rumah, ada 19.4% responden mengatakan tidak keluar rumah, 19,5% mengatakan pernah tapi tidak lagi, sisanya keluar rumah dengan alasan pekerjaan, membeli obat, belanja kebutuhan sehari-hari dan ibadah. Sebagian besar responden (79.3%) mengatakan tidak lagi berkumpul dengan anggota gereja, 17.8% pernah berkumpul tetapi tidak lagi, dan 2,8% responden yang mengatakan saat survei dilakukan masih berkumpul dengan anggota gereja. Sebanyak 3.2% responden mengatakan tidak melakukan pembelanjaan. 29,3% ke supermarket/warung untuk belanja kebutuhan, 18,4% mendatangi pasar tradisional, 7,4% memanfaatkan jasa pedagang keliling, 6,5% belanja online, dan 35.2% gabungan opsi yang ada di atas.
Terkait sosialisasi, hampir semua responden (96.9%) mengatakan bahwa gereja melakukan sosialisasi bagaimana menghadapi pandemi Covid19. Hanya 3.1% responden yang mengatakan tidak menerima sosialisasi dari gereja. Selaras dengan data bahwa sebagian besar responden tidak lagi berkumpul dengan sesama anggota gereja, 95.4% responden mengatakan setuju ibadah dilaksanakan secara online dalam masa pandemi. Merespon pertanyaan terkait penyebab pandemi Covid-19, sebagian besar responden berpendapat disebabkan oleh cara hidup tidak bersih/sehat (66.1%). Walaupun, ada juga yang menganggap pandemi adalah hukuman Tuhan (3.9%). Dalam hal bentuk pelayanan pastoral, sebanyak 44.0% memilih didoakan, 0.9% penghiburan, 3.1% pendampingan, dan 43.5% kombinasi dari ketiganya (didoakan, penghiburan dan pendampingan). Sedangkan 8.5% responden mengatakan tidak membutuhkan pelayanan pastoral.
Sementara hasil survei kedua, yang dilakukan untuk menilai dampak pandemi Covid-19 terhadap kepatuhan pada pembatasan sosial, perilaku beragama, daya tahan ekonomi, dukungan sosial dan dampak psikologis pada kehidupan warga gereja, dijelaskan Evelyn, sebanyak 12.8% responden mengaku ke luar rumah untuk beribadah. Ini adalah prosentase terkecil alasan responden untuk keluar rumah. Alasan lainnya adalah untuk belanja kebutuhan sehari-hari (93.9%), berobat/membeli obat (58.8%) dan berkumpul dengan keluarga dan teman (13.1%).
Sedangkan sejak keluar imbauan beribadah di rumah, 87.2% responden mengaku rutin ibadah Minggu di rumah, 61.5% mengikuti ibadah minggu melalui layanan daring yang disediakan gereja asal. Sebanyak 83.3% responden mengatakan ibadah di rumah maupun di gedung gereja sama-sama membantu pertumbuhan spiritual. Sejak pandemi, 42.5% responden mengatakan lebih sering berdoa, 39.7% lebih sering membantu sesama, dan 31.4% lebih sering membaca Alkitab, Lebih banyak yang mengatakan tidak ada perubahan kebiasaan sebelum dan saat pandemi. Selain itu, apabila sudah bisa beribadah di gedung gereja, 86.1% responden mengaku tetap beribadah di gereja asal (tidak pindah keanggotaan gereja), 0.2% responden ingin pindah keanggotaan gereja, 11.4% tetap beribadah daring, 1.8% ibadah di gereja lain tanpa pindah keanggotaan, 0.6% tidak ingin beribadah.
Terkait daya tahan ekonomi, sebanyak 44.8% responden mengatakan dapat bertahan secara ekonomi tanpa bantuan, dan 52% responden mengatakan masih bekerja dan menerima upah. Sedangkan dikaitkan terhadap dampak psikologis, hasil survey menyebutkan, 73.1% responden mengindikasikan gejala depresi ringan (Mild Depresion). Sebanyak 21.9% responden mengindikasikan gejala depresi sedang, 3.5% mengindikasikan gejala depresi cukup serius, dan 1.5% mengindikasikan gejala depresi serius.
Dalam kaitannya dengan dukungan sosial selama Mei 2020, menurut Evelyn, hasil survei menunjukkan 22.4% responden mendapat bantuan sosial dari gereja, 20.3% dari pemerintah 15% pihak lain 10.6% masyarakat di lokasi tinggal. Sementara terkait pendampingan pastoral, 14.2% responden menghubungi gereja untuk meminta pendampingan pastoral. Sebanyak 92% permintaan pendampingan pastoral ditindaklanjuti gereja, dan 8% permintaan pendampingan pastoral tidak ditindaklanjuti gereja.
Pewarta: Markus Saragih