Pimpinan Lintas Agama se-Papua Minta 7 Terdakwa di PN Balikpapan Dibebaskan Tanpa Syarat

Para pimpinan lintas agama se-Papua saat menyampaikan pernyataan moral

PAPUA,PGI.OR.ID-Menyikapi proses hukum terhadap tujuh mahasiswa yang sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, para pimpinan lintas agama se-Papua mengeluarkan pernyataan moral yang disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo, pada 12 Juni 2020.

Dalam pernyataan tersebut, mereka meminta Presiden Joko Widodo untuk, pertama, serius menyelesaikan masalah rasisme di Papua. Hal ini guna membantu pemerintah agar terjadi stabilitas politik dan keamanan jangka panjang secara khusus di Papua dan Indonesia pada umumnya. Pemimpin umat beragama yang selalu berdampingan dengan umat berharap untuk aman, rukun dan damai jangka panjang. Rasisme kalau dibiarkan akan sangat berbahaya.

Kedua, meminta agar proses hukum terhadap ke – 7 (tujuh) terdakwa yang sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan – Kalimantan Timur dilakukan secara lebih adil. Kasus berawal dari rasisme di Surabaya dan bukan makar. Negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme.

Ketiga, ditengah situasi Pandemi Covid-19 dan situasi politik kedepan, sehingga meminta kepada Presiden Republik Indonesia agar terdakwa dibebaskan tanpa syarat. Meminta agar putusan yang dibacakan oleh yang mulia Majelis Hakim mencerminkan proses hukum yang tidak rasis dan hakim harus menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa masih ada keadilan bagi rakyat Papua dalam proses hukum di negara ini seperti yang termaktub dalam UU RI dan Peraturan Pemerintah RI No. 40 dan 56 tentang pengawasan dan penghapusan diskriminasi, ras dan etnis.

Keempat, harapan kami sebagai pemimpin agama agar Papua tanah damai terwujud, maka Presiden Jokowi segera menyelesaikan 4 (empat) akar masalah utama konflik Papua yang dirumuskan dan direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) antara lain; pertama, sejarah dan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Republik Indonesia; kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965 yang nyaris nol keadilan; ketiga, diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri; empat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat.

Kelima, mengevaluasi perjalanan 20 (dua puluh) tahun OTSUS berdasarkan analisa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada point 4 diatas dengan memperhatikan asal usul lahirnya OTSUS; melibatkan para pemimpin agama di tanah Papua; melibatkan masyarakat sipil; dan para pemimpin agama menolak draft OTSUS yang disiapkan secara sepihak oleh BAPPENAS Republik Indonesia.

Dalam kesempatan itu juga  para pimpinan lintas agama ini menyatakan 9 poin pernyataan moral yakni:

  1. Kami menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan dan dengan tegas menolak berbagai bentuk ketidakadilan dan rasisme. Menurut kami, manusia dalam eksistensinya dihadapan Tuhan dan Konstitusi Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang setara dalam hak, kewajiban, harkat dan martabat. Semua umat memiliki nilai yang sama sebagai makhluk ciptakan Tuhan yang setara, mulia dan tidak ada perbedaan.
  2. Berawal dari kasus rasisme di Surabaya yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Semarang pada tanggal 15-17 Agustus 2019 oleh Organisasi Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI (FKKPI) telah memicu aksi protes anti rasisme oleh masyarakat Papua dan berbagai kelompok yang bersolidaritas di seluruh Tanah Papua dan di seluruh Indonesia sejak tanggal 19 Agustus hingga September 2019. Persoalan rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua telah menciderai kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga negara harus serius dalan menyelesaikan persoalan rasisme ini.
  3. Menurut pengamatan kami sebagai pemimpin umat beragama yang harus berdiri secara obyektif, independent dan dalam kapasitas menyuarakan keadilan dan kebenaran; bahwa ke – 7 (tujuh) terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri  Balikpapan Kalimantan Timur murni melakukan demonstrasi karena menolak perlakuan rasis. Tetapi dalam dakwaan dan tuntutan di persidangan sangatlah jauh berbeda dengan data dan fakta di lapangan. Mereka korban rasisme tetapi justru dituduh melakukan gerakan makar.
  4. Kami mengamati bahwa proses hukum terhadap ke 7 (tujuh) terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan- Kalimantan Timur tidaklah prosedural mulai dari penangkapan yang sewenang-wenang, penyiksaan yang terjadi sejak proses penangkapan dan pemeriksaan yang tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah dan pemindahan para terdakwa yang dilakukan diluar Papua. Dimana tidak sesuai dengan tempat terjadinya peristiwa dan tanpa memberitahukan kepada keluarga serta penasihat hukumnya. Pemindahan ini jelas membuat jarak antara tempat kejadian perkara sehingga keluarga terdakwa juga semakin jauh sehingga konsekuensinya berdampak bagi tidak terdapatnya akses bagi keluarga terdakwa lainnya dan seluruh rakyat Papua untuk melihat persidangan secara terbuka. Walaupun secara hukum persidangan harus dilakukan secara terbuka.
  5. Proses hukum ini juga bertambah sulit dengan situasi pandemic covid-19 sehingga membuat persidangan dilakukan secara online terhitung mulai awal bulan April 2020 persidangan secara online ini membuat proses pembuktian tidak dapat dilakukan secara optimal dan obyektif, mulai dan sinyal terganggu, waktu yang tidak tepat. Masyarakat umum yang tidak dapat mengakses persidangan secara terbuka tentu melanggar asas pradilan yang cepat sederhana dan biaya murah serta terbuka untuk umum.
  6. Kami melihat bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa sangat tidak masuk akal karena jauh dari fakta persidangan. Saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum 6 (enam) diantaranya adalah anggota kepolisian daerah Papua dan 1 (satu) dari Kesbangpol Provinsi Papua. Saksi-saksi dari kepolisian bukan merupakan saksi yang menjelaskan fakta-takta sebagaimana tuduhan makar, melainkan saksi yang melakukan pemantauan dan pengamanan terhadap aksi demo anti rasisme tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019. Sedangkan saksi dari Kesbangpol sama sekali tidak mengetahui terdakwa dan dugaan perkara yang dilakukan termasuk tidak mengetahui organisasi mereka terdaftar di Kesbangpol atau tidak karena pendaftaran di Kesbangpol bukan merupakan kewajiban tetapi sukarela.  Disamping itu, 3 ahli yang diajukan  Jaksa Penuntut Umum yakni ahli bahasa, ahli psikologi dan ahli HTN  keterangannya tidak mempunyai korelasi dugaan perbuatan makar yang dilakukan oleh terdakwa. Disamping itu, Jaksa Penuntut Umum juga tidak menghadirkan ahli pidana untuk mendukung pembuktiannya terhadap dakwaan tersebut. Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum hanya memutar video demo anti rasisme dan sama sekali tidak ditunjukkan barang bukti yang mendukung pembuktiannya bahwa terdakwa melakukan makar.
  7. Terdakwa melalui penasihat hukum dalam persidangan telah mengajukan 5 saksi fakta dan 5 ahli yang terdiri dari ahli HTN, Ahli Pidana, Ahli Filsafat Hukum, Ahli Politik dan Resolusi Konflik, Ahli Rasisme. Dari pengamatan kami berdasarkan bukti surat dan barang bukti serta keterangan saksi fakta bahwa terdakwa Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, Irwanus Uropmabin dan Agus Kossay bukan melakukan makar tetapi ikut dalam aksi demo anti rasisme di Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 sebagai reaksi atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019. Sedangkan Buchtar Tabuni dan Steven Itlay sama sekali tidak terlibat dalam demo anti rasisme maupun pertemuan kaitan dengan gerakan Papua Merdeka. Ahli juga menjelaskan bahwa demo menentang rasisme adalah merupakan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusila (DUHAM), Konvensi Sipol, UUD 1945, UU HAM dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
  8. Melihat realitas proses persidangan diatas dan tuntutan terhadap keputusan yang tinggi, maka agama sebagai wadah untuk menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di negara ini meminta agar negara hadir dan berperan serius untuk menyelesaikan masalah rasisme serta menegakkan hukum secara adil dan bermartabat.
  9. Apabila suara keagamaan tidak disampaikan kami kuatir sekali bangsa ini kedepan akan mengalami gejolak sehingga sangat berbahaya karena memicu disintegrasi bangsa serta hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Pewarta: Markus Saragih