SUMATERA UTARA,PGI.OR.ID-Pimpinan gereja-gereja di Sumatera Utara mengeluarkan pernyataan sikap terkait Peraturan Presiden (Perpres) No 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) yang ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 13 Juni 2016.
Dalam pernyataan sikap tersebut ditegaskan, pimpinan gereja-gereja di Sumatera Utara sangat mengapresiasi perhatian Presiden Joko Widodo terhadap kawasan Danau Toba yang ditunjukkan dengan instensitas kunjungan Presiden ke kawasan ini, dan akhirnya membuat sebuah kebijakan khusus untuk mengatur kawasan Danau Toba.
“Kami pimpinan gereja yang ada di sekitar Kawasan Danau Toba juga sejak lama menaruh keprihatinan yang mendalam atas pengabaian kawasan Danau Toba. Kami prihatin selama 30 tahun terakhir, terjadi degradasi yang parah, baik hutan di sekitar kawasan, maupun pencemaran air yang massif. Di atas semuanya itu, kami terlebih prihatin atas penggusuran warga dan terjadinya tindak kriminalisasi yang berkepanjangan di sekitar Danau Toba,” demikian pernyataan sikap yang dikeluarkan pada tanggal 22 Juni 2016 ini.
Pimpinan gereja-gereja di Sumatera Utara menggarisbawahi, bahwa persoalan yang selalu disuarakan 30 tahun terakhir adalah merosotnya hutan, pencemaran danau, dan penggusuran masyarakat dari tanahnya. Oleh karena itu, diharapkan Presiden Joko Widodo akan menjawab tiga persoalan utama ini.
Namun, setelah membaca Perpres No 49 ini, pimpinan gereja-gereja di Sumatera Utara melihat jauh panggang dari api. Perpres tersebut tidak menyentuh sama sekali tiga persoalan akut yang telah disebutkan sebelumnya. Perpres hanya berisi tentang alokasi tanah untuk membangun resort dengan penyediaan tanah seluas 500 hektar di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir.
Perpres ini juga secara terang hanya membahas kemudahan perizinan atas implementasi proyek ini (pasal 26 ayat 1-5 Perpres), tetapi tidak membahas sama sekali seperti apa nasib kelestarian hutan, dan nasib warga sekitar yang kuat dengan adat istiadatnya. Kami tidak memperoleh informasi terkait dasar hukum, filosofi, keorganisasian, dan dasar penentuan lokasi 500 hektar yang dimaksud.
“Sebagaimana diundangkan Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka kami mempertanyakan basis hukum dan akademis terkait kelayakan proyek konversi hutan di Kecamatan Ajibata dan sekitarnya yang akan dikonversi menjadi wilayah resort dan perhotelan. Publik belum pernah mendengar adanya kajian lingkungan Hidup Strategis (KHLS) atas proyek sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang,” demikian pernyataan sikap tersebut.
Sebab itu, pimpinan gereja-gereja di Sumatera Utara, menyerukan kepada Pemerintah agar, pertama, segera merevisi Perpres No 49-2016 dengan memperhatikan kelestarian Danau Toba dan hutan sekitar kawasan, dan memperhatikan perlindungan masyarakat lokal. Kedua, memberikan penjelasan kepada publik terkait penentuan lokasi pembangunan resort di areal hutan seluas 500 ha di sekitar kecamatan Ajibata, Toba Samosir.
Ketiga, memastikan adanya KLHS sebelum dilakukan implementasi proyek konversi hutan. Keempat, menjawab persoalan yang selama ini disuarakan pemimpin gereja, yang menghentikan deforestasi di Kawasan Danau Toba, menghentikan pencemaran Danau Toba, dan menghentikan segala bentuk penggusuran dan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal di Kawasan Danau Toba.
Adapun pimpinan gereja-gereja di Sumatera Utara yang menyampaikan pernyataan sikap tersebut yaitu Pdt. Rumanja Purba (Ephorus GKPS), Pdt. Agustinus Purba (Ketua Moderamen GBKP), Pdt. Adolv Bastian Marpaung (Ephorus GKPA), Pdt. Elson Lingga (Ephorus GKPPD), Pdt. Oloan Pasaribu (Bishop GKPI), Pdt. Adventus Nadapdap (Kepala Departemen Diakonia HKI), Pdt. Rein Justin Gultom (Direktur Pengmas HKBP), Pdt. Jaya Harefa (Direktur Pengmas BNKP), St. Juniamer Purba (Direktur Pelpem GKPS), dan Pdt. JP. Robinson Siregar (Sekretaris Eksekutif LPPM GKPI).
Editor: Jeirry Sumampow