
JAKARTA, PGI.OR.ID – Politik uang, kekerasan, kurangnya persiapan, waktu penyelenggaraan yang terkesan dipercepat, pentingnya pendidikan politik bagi rakyat, dan pilihan calon pemimpin yang cerdas, menjadi tantangan dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan berlangsung pada 9 Desember 2015 mendatang.
Persoalan-persoalan tersebut mencuat dalam diskusi terbatas Menyikapi Pilkada Serentak, yang digelar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), di Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (10/9). Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah pimpinan ormas dan aktivis ini, dalam rangka memberikan masukan bagi penyusunan pesan pastoral PGI terkait pelaksanaan Pilkada serentak.
Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani (LIMA) mengungkapkan, menghadapi Pilkada serentak ada tiga hal yang menonjol. Pertama, fenomena satu kandidat. Kedua, keterlibatan inkamben dalam menggunakan dana negara saat pelaksanaan Pilkada. Ketiga, kerumitan administrasi. Ketiga persoalan ini akan menyulitkan bagi kita untuk memilih pemimpin yang cerdas.
“Pilkada langsung ini memang strategi yang cerdas, tetapi kalau ketiga kondisi ini masih terjadi maka outputnya tidak akan memunculkan pemimpin yang cerdas. Contoh dalam hal kerumitan administratif misalnya, justru bisa menjadi bahan untuk membatalkan Pilkada. Memang sudah sejak dulu kita ingatkan seperti mengurus KTP justru berpotensi menghilangkan hak orang untuk ikut dalam Pilkada, ” katanya.
Potensi kekerasan dan konflik dalam pelaksanaan Pilkada, diungkapkan oleh Cholil dari PERLUDEM. Potensi tersebut menurutnya masih kuat terutama di wilayah timur Indonesia, seperti Papua. Sebab itu, perlu diteliti peta konflik Pilkada di daerah tersebut. “Saya kira pesan pastoral sangat strategis di Papua untuk menekan konflik dan kekerasan. Komunitas agama-agama dan tokoh-tokoh agama harus bertindak sebagai fasilitator perdamaian. Kita tidak bisa berharap kepada pihak keamanan di Papua karena jumlah polisinya sedikit,” ujar Cholil.
Ada Skenario Besar
Sementara itu, pengamat politik Sebastian Salang melihat, ada nuansa pragmatis dalam mempersiapkan Pilkada serentak ini, karena segala sesuatu terkesan tidak dipersiapkan dengan matang. Selain itu, waktu pelaksanaan Pilkada juga ditengarai dipaksakan untuk dipercepat lantaran ada skenario besar dibalik itu.
Sebastian juga menambahkan: “KPU dan mayoritas DPR sudah menegaskan Pilkada dilaksanakan pada Juni 2016, tapi pemerintah meminta Desember 2015. Waktu pelaksanaan yang begitu mepet menyebabkan proses seleksi calon kepala daerah kacau balau. Parti politik sedang bersiap-siap untuk melakukan proses seleksi yang benar ketika Pilkada ini dilakukan secara serentak pertama kali, tetapi dengan waktu yang begitu mepet partai kelabakan, sehingga yang terjadi parpol berorientasi ke inkamben, dan praktek uang terjadi.”
Agar Pilkada dapat berjalan dengan baik, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ini melihat, seruan moral perlu diberikan kepada beberapa pihak, seperti penyelenggara Pilkada. Mereka perlu didorong untuk transparan, akuntabilitas dan objektif. Kemudian, partai politik, agar bertanggungjawab terhadap Pilkada akan menghasilkan orang terbaik di daerah. Juga kepada para calon. Mereka diharapkan tidak hanya mengejar kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Selain itu, institusi agama. Dalam praktek politik baik tingkal nasional maupun daerah, menurut Sebastian, institusi maupun tokoh-tokoh agama ikut terlibat dalam Pilkada. Sebab itu, mereka perlu diingatkan akan tanggungjawab moralnya agar dapat menjaga nilai-nilai dari proses Pilkada ini. Demikian pula masyarakat. Masyarakat perlu diingatkan agar menolak segala bentuk transaksi apapun, dan menggunakan hak politiknya secara benar.
Dan terakhir kepada pemerintah dan birokrasi agar memakai wewenang dan kekuasaannya secara jujur serta adil.
Editor: Jeirry Sumampow