PGI – Jakarta. Pelaksanaan Pilpres 2014 tidak akan lama lagi. Mengingat pentingnya pesta demokrasi untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia ini, PGI mengeluarkan Pesan Pastoral PGI untuk Pemilu Presiden 2014, yang disampaikan dalam jumpa pers di Wisma PGI, Jalan Teuku Umar, Jakarta, Senin (9/6/2014).
Dalam pesan pastoral yang ditujukan kepada warga gereja ini, PGI menegaskan kita akan memilih siapa yang akan menjadi nakhoda bangsa yang secara langsung akan mengelola dan melaksanakan kehidupan kebangsaan lima tahun ke depan. Karena itu, PGI mengharapkan agar warga gereja tetap menggunakan hak pilihnya, sama seperti dalam Pileg yang lalu. Bahkan jika ada sesama warga gereja yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pileg, ajaklah agar kali ini bisa memilih.
Menurut PGI, memilih merupakan tanggungjawab iman orang percaya. Dan dengan memilih, kita bisa menentukan orang yang tepat untuk duduk di kursi Presiden dan Wakil Presiden lima tahun ke depan. Makin banyak yang memilih, makin baik, karena derajat legalitas moral sosial dari Presiden terpilih akan makin kuat.
Selain itu, juga diungkapkan kriteria pemimpin yang baik. “Alkitab memberikan pengajaran yang jelas tentang pentingnya kepemimpinan dalam sebuah bangsa. Bahkan dalam Alkitab, pemimpin hadir untuk menjalankan mandat Ilahi. Dalam Roma 13:1 dikatakan bahwa “….tidak ada pemerintahan, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah.” Karena itu, proses memilih pemimpin bangsa tidaklah lepas dari mandat dan campur tangan Allah. Jadi, ketika kita memilih pemimpin kita harus sadari bahwa kita sedang menjalankan mandat Ilahi untuk melahirkan pemimpin yang baik dan bertanggungjawab.
Lalu, seperti apakah pemimpin yang baik? Kitab Keluaran 18:21 mengatakan bahwa mereka yang layak dipilih sebagai pemimpin haruslah “orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengajaran suap.” Begitu juga, dalam Kitab Kisah Para Rasul 6:3 dikatakan “…pilihlah tujuh orang di antara kamu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat…”. Dua pesan Alkitab ini kiranya bisa menuntun kita untuk menentukan pilihan dalam Pilpres demi menghasilkan pemimpin bangsa yang baik dan bertanggungjawab bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, dalam pesan pastoralnya PGI juga memuat pedoman dalam memilih. Pertama, visi dan misi pasangan calon. Pelajari dan cermatilah visi dan misi pasangan calon sebelum Anda menentukan pilihan. Sebab visi dan misi inilah yang akan menjadi kerangka kerja dan program pasangan calon jika nanti terpilih. Nilailah apakah visi dan misi itu sesuatu yang sungguh-sungguh bisa dilakukan atau hanya sekadar mimpi untuk mempengaruhi suara hati Anda. Dalam konteks itu, maka bandingkan juga visi dan misi tersebut dengan “ideologi” masing-masing partai pendukung. Hal ini penting agar kita bisa mengukur derajat kesungguhan bangunan koalisi partai pengusung dan tidak terjebak memilih “kucing dalam karung.”
Kedua, rekam jejak dan latar belakang masing-masing calon. Pemimpin yang baik biasanya lahir melalui sebuah proses yang baik dan alamiah. Proses inilah yang kami yakini membentuk karakternya dan sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja kepemimpinannya. Proses pembentukan karakter lahirnya seorang pemimpin sangat penting untuk kita cermati, agar tak lahir pemimpin “karbitan” tanpa moralitas kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang hanya mau kuasa dan jabatan, tanpa mau bersusah payah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemimpin yang hanya pandai memoles diri agar rakyat simpati dan memilihnya, padahal tak mampu berbuat banyak. Pemimpin yang hanya pandai bersilat lidah, tapi minim tindakan nyata. Karena itu, periksalah dan cermatilah rekam jejak dan latar belakang Capres – Cawapres sebelum memntukan siapa yang akan dipilih.
Ketiga, sinergisitas pasangan calon. Pasangan calon dipilih dalam satu paket, sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun yang seringkali menjadi sorotan adalah calon Presiden. Meski begitu, harus kami tegaskan bahwa posisi Wakil Presiden juga sangat penting dan karena itu jangan diabaikan. Nilai dan cermatilah, apakah pasangan itu memang betul-betul pasangan yang harmonis dan bisa bersinergi dalam tugas dan pekerjaannya. Dalam hal ini, penting juga untuk dicermati sejauh mana calon Wakil Presiden bisa bekerjasama, mendukung ataupun menutupi kekurangan calon Presiden. Hal ini penting untuk kami sampaikan sebab jika pasangan calon tak bisa kompak, tak bisa bekerja sana secara harmonis, tak bisa saling mendukung, maka proses pemerintahan akan mengalami hambatan dan yang akan merasakan akibatnya adalah rakyat.
Keempat, partai pengusung pasangan calon. Sebagaimana kita tahu bahwa pasangan calon ini diusung oleh gabungan partai politik. Hal ini jangan hanya dimaknai sebagai sebuah syarat keikutsertaan pasangan calon dalam Pilpres. Partai pendukung memiliki peran yang penting dalam proses pemenangan psangan calon, sehingga akan mempengaruhi proses kepemimpinan ke depan. Yang perlu Anda cermati adalah “ideologi” partai-partai pengusung, rekam jejak mereka di masa lalu, kelompok-kelompok seperti apa yang selama ini mendukung partai-partai itu, kinerja partai tersebut di parlemen dan dalam masyarakat dan siapa-siapa saja tokoh utama yang berpengaruh terhadap partai tersebut. Di samping itu, perlu juga dicermati apakah partai-partai itu partai yang bersih dan tidak terlibat korupsi. Hal-hal ini penting agar jangan sampai pasangan calon terpilih disandera atau dipengaruhi oleh partai-partai tersebut dalam menjalankan pemerintahan. Perhatikan juga apakah bangunan koalisi itu bersifat transaksional atau memang sungguh-sungguh untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Perlu juga diperhatikan, manakah partai koalisi itu yang tidak secara jelas menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan ideologi yang lain. Perlu juga dilihat bagaimana komitmen partai-partai pendukung tersebut terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Kelima, waspadai kampanye jahat. Peserta Pilpres yanga dua pasang calon. Karena itu, kompetisi ini bisa saja berlangsung ketat dan keras. Dalam konteks ini, biasanya akan marak kampanye jahat (bad campaign). Hal ini tentu dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan calon tertentu seraya mengangkat calon yang lain. Model kampanye seperti ini, apalagi yang menyinggung isu SARA, tidak saja mencederai Pemilu dan demokrasi, tapi merusak bangunankebangsaan kita. Kita harus menegaskan bahwa kita tidak boleh memilih berdasarkan SARA. Karena itu, waspadalah terhadap jenis kampanye jahat, jangan terpengaruh dan terprovokasi serta ikut melakukannya. Pemilu tak boleh menjadi ajang untuk merusak NKRI karena kita mau memilih pemimpin yang mampu terus menjaga tegak-nya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Keenam, awasi proses Pemilu agar berjalan damai. Untuk memastikan agar proses dan hasil Pemilu baik dan berintegritas, kami memganjurkan agar warga gereja aktif terlibat dalam pengawasan Pemilu. Laporkan pelanggaran kepada pihak yang berwajib, termasuk para pelaku kampanye jahat. Jangan melibatkan diri membuat keributan tapi peliharalah kedamaian agar proses Pemilu ini dapat berlangsung secara tertib dan aman.
Ketujuh, Gereja tak boleh mendukung salah satu pasangan calon. Gereja memang berpolitik, tapi tidak berpolitik praktis. Politik gereja adalah politik moral, bukan politik dukung-mendukung. Karena itu, gereja tidak boleh menyatakan keberpihakannya mendukung salah satu pasangan calon. Janganlah jadikan gereja sebagai arena kampanye untuk pemenangan salah satu pasangan calon, agar tak menimbulkan konflik di antara jemaat dan memicu hal-hal yang tak kita inginkan bersama. Jagalah agar gereja tetap suci, tidak dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Dalam pesan pastoralnya PGI juga menegaskan praktek politik uang adalah dosa. Politik uang merupakan pembodohan rakyat dan merusak substansi demokrasi kita. Dalam 1 Timotius 6:10 ditegaskan bahwa “……akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman….” Begitu juga dalam kitab keluaran 23:8 ditegaskan bahwa “…suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.” (lihat juga Ulangan 16:19). Jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Alkitab, politik uang adalah dosa. (ms dan bts)
Be the first to comment