PIKIRAN POKOK SIDANG MPL-PGI 2014
GEREJA-GEREJA MENDORONG TERWUJUDNYA DEMOKRASI YANG BERETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
(1) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai wadah dan gerakan bersama mewujudkan keesaan dalam konteks Indonesia terpanggil untuk berperan secara positif, kritis, konstruktif dan berkualitas dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahwa kehadiran PGI di Indonesia secara sadar telah menegaskan komitmennya untuk mengejawantahkan visi dan misinya melalui program-program pelayanannya di bawah sorotan tema “ Tuhan itu Baik kepada Semua Ciptaan (Mzm. 145:9a). Dalam mengimplementasikan tema tersebut MPL tahun 2014 ini kemudian menjabarkannya dengan pikiran pokok yang dinilai relevan, kontekstual, dan yang sungguh-sungguh menjadi pergumulan dan tantangan riil baik oleh gereja-gereja, maupun bangsa dan negara.
(2) Persidangan MPL tahun 2014 yang digelar di Merauke telah menetapkan pikiran pokok ”GEREJA-GEREJA MENDORONG TERWUJUDNYA DEMOKRASI YANG BERETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA”. Pikiran pokok ini terlahir dari kepedulian dan kegelisahan gereja atas fakta kehidupan berdemokrasi di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang sungguh-sungguh memprihatinkan, dan bahkan sungguh mengkhawatirkan gereja akan masadepan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kegelisahan dan keprihatinan itu memaksa gereja untuk tidak tinggal diam
dan tenang- tenang saja, tetapi mesti mengambil sikap kritisnya, mewujudkan peran
kritisnya, peran prophetiknya terhadap panggilannya sendiri dan sekaligus terhadap
bangsa dan negara yang kepadanya gereja diutus untuk bersaksi tentang keselamatan.
Kepedulian dan kegelisahan gereja terhadap masalah-masalah manusia, bangsa dan
negera, secara hakiki merefleksikan kesadaran Imannya sebagai gereja yang harus
mempertanggung jawabkan dan mengerjakan keselamatan yang telah ia terima, tidak
hanya bagi dirinya tetapi juga bagi manusia, dan kemanusiaan serta bagi masyarakat,
bangsa dan negara.
(3) Melalui pendalaman dan refleksi kritis serta diskusi yang dilakukan, disadari bahwa
salah satu persoalan bangsa dan negara yang merupakan persoalan serius sekarang ini
adalah persoalan demokrasi, dan oleh karenanya gereja mesti memberi sikap dan
kontribusinya. Keseriusan gereja terhadap persoalan demokrasi tentusaja sebagai
responnya terhadap momentum politik di tahun 2014 sebagai tahun politik, dimana
akan dilaksanakan pemilihan legislatif (April 2014) dan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden pada bulan (Juli 2014) Namun mesti ditegaskan bahwa kepedulian dan
kegelisahan terhadap persoalan demokrasi, persoalan kebangsaan dan kenegaraan serta
kemasyarakatan bukanlah persoalan yang baru disikapi. Namun demikian, gereja ingin
menjadikan momentum politik ini untuk kembali menegaskan sikap dan komitmen
serta kesungguhannya dan juga kegelisahannya terhadap persoalan–persoalan bangsa
dan negara yang tidak pernah selesai dan yang terus menjadi pergumulannya.
Bahwa kenyataan yang dihadapi dalam praktek berdemokrasi semakin memprihatinkan.
Praktek dan perilaku berdemokrasi masyarakat Indonesia, khususnya elit politik sudah
semakin mengkhawatirkan, rakyat dan warga masyarakat termasuk di dalamnya gereja
dan warga gereja semakin apatis, skeptis terhadap situasi politik yang terjadi saat ini,
bahkan skeptis terhadap masadepan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gereja dalam kesadaran dan tanggungjawabnya sebagai bagian integral dari kehidupan
berbangsa dan bernegara terpanggil untuk mempertanyakan secara serius praktek
berdemokrasi sekarang ini. Apakah sebenarnya demokrasi itu? Dan apa pula tujuannnya? Apakah ada masadepan dari demokrasi yang dilaksanakan di negeri yang pluralistik ini? Bagaimana pula perspektif demokrasi (Pancasila) yang diharapkan?
Kalau demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
tetapi mengapa kemudian rakyat dan warga masyarakat menjadi skeptis terhadap
praktek berdemokrasi itu sekarang ini? Mengapa demokrasi tidak menghasilkan
keadilan dan kesejahtraaan bagi rakyat? Mengapa tatanan kehidupan politik nasional
semakin diwarnai dengan kekerasan dan anarkhis dalam proses demokrasi sekarang
ini? Ada apa yang salah dengan demokrasi? Apa yang harus gereja lakukan?
Tidak hanya itu, akan tetapi juga kegelisahan itu kemudian mendesak gereja untuk
mempertanyakan apakah dampak dari reformasi bagi praktek berdemokrasi sekarang
ini. Apakah reformasi yang dihasilkan masyarakat terutama para mahasiswa Indonesia
tidak samasekali membuahkan sebuah tatanan masyarakat konstitusional yang lebih
demokratis? Apakah reformasi tidak membuahkan pembaruan mental dan karakter
serta tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis, yang bisa
dipercaya, suatu sistem reformasi keadilan, serta bebas dari KKN. Apa yang terjadi
sekarang justru memperlihatkan kenyataan bahwa praktek demokrasi tidak
merefleksikan keadilan, terjadi diskriminasi dan marginalisasi karena alasan-alasan
agama, etnis; politisasi agama dan agamanisasi politik, praktek demokrasi dengan
memobilisasi agama untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan, dominasi mayoritas,
praktek kekerasan dan anarkhis serta pemaksaan kehendak.
Praktek berdemokrasi yang dipentaskan dalam panggung kehidupan politik, pentas
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah demokrasi prosedural, adalah demokrasi
akal-akalan dan bukanlah demokrasi yang sejati, demokrasi yang substansial. Demokrasi
prosedural, adalah demokrasi yang sarat rekayasa. Banyak kasus pemilihan,
bupati/walikota/gubernur sarat dengan politik uang, rakyat menentukan pilihan politik
tidak berdasar pada kemandirian, kebebasan dan hati nurani, tetapi karena dimobilisasi
dengan janji dan uang. Para penguasa dan pengusaha dalam banyak kasus pemilu di
kabupaten kota, dan provinsi telah memanfaatkan berbagai sumber ( ekonomi, etnis,
agama) untuk menentukan hasil pemilihan. Banyak pengusaha dan penguasa karena
menguasai sumber-sumber ekonomi, agama , etnis telah melakukan bajakan terhadap
proses-proses demokrasi. Ada banyak kasus pemilihan yang hasilnya sudah bisa
diketahui sebelum pemilihan berlangsung. Demokrasi prosedural yang sarat dengan
rekayasa dan akal-akalan, telah mebuahkan hasil dengan melahirkan pemimpin
karbitan, tidak memiliki integritas, tidak berpihak kepada rakyat dan hanya untuk
memperkaya diri , keluarga dan kelompok. Tidak mengherankan bila kemudian terjadi
korupsi di mana-mana, banyak bupati/walikota/gubernur yang akhirnya korupsi dan
ditahan KPK. Berbagai fakta lapangan memperlihatkan dengan kasad mata bahwa
praktek-praktek berdemokrasi sekarang ini merefleksikan kebutaan para elit dan juga
warga masyarakat tentang arti dan hakikat demokrasi itu sendiri. Dalam banyak kasus
sekarang ini para caleg, para calon Bupati/walikota yang berlomba-lomba mencetak
balehu/poster, tanpa secara kuat memiliki kemampuan kepemimpinan publik untuk
mendekatkan diri kepada masyarakat, memahami aspirasi masyarakat. Hal lain juga
yang menarik perhatian sekarang ini adalah, para caleg membangun relasi dan
komunikasi dengan para pemimpin agama/gereja dengan memfasilitasi agenda-agenda
agama/ gereja dengan tujuan mendapat dukungan agama/gereja. Interpentrasi atau
politisasi agama dan politik tidak dapat dihindari dalam praktek-praktek berdemokrasi.
Tidak menjadi rahasia lagi bahwa ketegangan sering muncul dalam kehidupan
gereja/agama karena politisasi ini.
Pertanyaan kemudian adalah, mungkinkah gereja-gereja mendorong terwujudnya
demokrasi yang beretika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sembari
mengabaikan pentingnya terwujudnya demokrasi yang beretika dalam kehidupan
bergereja? Bagaimana kemudian gereja menjadi gereja? Bagaimana gereja menjadi lembaga moral-etik dimana di dalamnya terbangun sosial-etik yang kuat sebagai model praktek demokrasi yang beretika?
Yang kita butuh adalah demokrasi yang substansial, di mana prinsip-prinsip ekualitas,
kebebasan, kemandirian, keadilan, transparansi dan partisipasi rakyat secara bebas
dapat betul-betul dilaksanakan, agar rakyat betul-betul menjadi penentu, rakyat
memaknai posisinya serta harkat dan martabatnya sebagai yang berdaulat sehingga
menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan bermartabat. Masalahnya kemudian,
bagaimana demokrasi yang substansial itu dapat dilaksanakan? Banyak analisis
menyatakan bahwa sangat sulit mengharapkan kemandirian masyarakat sebab
masyarakat kita adalah masyarakat miskin. Kemiskinan di negara-negara berkembang
telah menjadi salah satu penyebab utama demokrasi prosedural semakin subur, dan
penyebab utama suburnya politik uang dalam proses demokrasi, serta sulitnya tumbuh
demokrasi yang substansial. Analisis yang lain juga mengatakan bahwa kuatnya paham
komunalisme pada masyarakat kita juga menjadi sebab suburnya artiulasi pilihan politik
masyarakat yang tidak kritis, tidak memilih pemimpin yang sungguh-sungguh
mempunyai kapasitas, integritas dan berpihak pada rakyat, tetapi memilih pemimpin
yang ada hubungan-hubungan geneologis. Kalau begitu apa yang mesti dilakukan,
termasuk dilakukan oleh gereja?
(4) Kesadaran gereja untuk mendorong terwujudnya demokrasi yang beretika dalam hidup
berbangsa dan bernegara, demokrasi yang substansial tidak hanya karena praktek
berdemokrasi yang oleh gereja dinilai tidak beretika, tetapi secara konstitusional
didasarkan pula pada kesadaran gereja mendorong kemajuan bangsa dan negara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya falsafah bangsa Indonesia.
Pancasila harus betul-betul ditegakkan dalam praktek penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kata dan perbuatan harus menjadi satu dan bukan hanya
janji- janji yang penuh kepura-puraan. Dengan demikian akan menghasilkan pemimpin
yang bermoral, setia, jujur dan memiliki integritas. Gereja harus membangun kesadaran
etik, moral, intelektual dan kultural untuk mentradisikan masyarakat Indonesia
terutama elit politik untuk sungguh- sungguh mewujudkan kemajuan bangsa dan negara
berdasarkan Pancasila. Pancasila mesti menjadi prinsip prinsip pengelolaan kebijakan-kebijakan berbangsa dan bernegara.
Dalam hubungan itu pula, konsepsi negara hukum mesti diposisikan secara benar dan
konstitusional. Bahwa dalam konsepsi negara hukum Indonesia, sistem norma hukum,
norma kesusilaan, norma agama mesti difungsikan secara simultan, sehinggga perilaku
masyarakat, perilaku elit dapat diarahkan dan dikendalikan secara efektif, termasuk di
dalamnya perilaku dan praktek berdemokrasi. Norma-norma etika, norma agama, norma
hukum mesti terwujud dalam transformasi nilai-nilai kehidupan nyata, termasuk dalam
praktek berdemokrasi. Kalau Pancasila adalah falsafah bangsa, maka dengan begitu
sistem politik, sistem hukum, termasuk sistem demokrasi (Pancasila) tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila. Karenanya gereja mesti mendorong warganya untuk
terus membangun kesadaran berbangsa mengenali Pancasila dan nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya jika diterapkan menjadi solusi yang komprehensif atas
persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraaan. Pancasila seharusnya dipahami dan
dipraktekkan sebagai filsafat berpikir, dalam berperilaku sehari hari sehinggga memberi
pengaruh dan dampak secara sosiologis, kultural, etik, psikologis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kesadaran gereja untuk mendorong terwujudnya demokrasi yang beretika dalam
kehiduan berbangsa dan bernegara, menjadi imperatif bagi gereja-gereja untuk
membangun cara pandang yang dialektik dan bukan dikhotomis terhadap persoalan-persoalan bangsa dan negara ( politik), bahkan hubungan gereja dan negara mesti
diposisikan secara benar dan dialogis. Bahwa gereja dan negara adalah dua entitas yang
memiliki prinsip –prinsip yang mesti saling menopang dan mesti dimuarakan pada
persoalan-persoalan etik kebangsaan dan kenegaraaan. Dengan kata lain , keprihatinan terhadap persoalan-persoalan etik kebangsaaan dan kenegaraan mesti menjadi fokus di mana gereja dan negara dapat membangun dialog yang setara untuk memberi solusi terhadap persoalan-persoalan bangsa, negara dan kemanusiaan. Dalam hubungan itu, maka bagaimana kemudian gereja- gereja mendorong warga jemaat menjadi subyek aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara bertanggungjawab.
Sering kita mendengar sikap sinis dan apatis dari masyarakat, tidak mau tahu mengenai
realitas berbangsa dan bernegara karena kekecewaan terhadap praktek-praktek
berbangsa dan bernegara termasuk praktek berdemokrasi. Oleh karena kekecewaan itu
kebanyakan warga kemudian memilih golput, tidak mau memilih. Ini persoalan penting
yang harus diselesaikan oleh gereja.Tugas gereja adalah mendorong masyarakat,
terutama warga gereja untuk tidak golput. Gereja harus meyakinkan warganya untuk
tidak golput, tetapi harus memilih. Mengapa? Sebab dengan memilih kita terlibat dalam
usaha-usaha pembaruan masyarakat, bangsa dan negara. Kita tidak mungkin menjadi
gereja yang hidup kalau kita masabodoh dan tidak mengambil peduli dengan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Cara kita merespons keselamatan yang telah Allah beri
kepada kita adalah dengan mewujudkan peran dan tanggung jawab kita demi kebaikkan
dan kemaslahatan seluruh masyarakat. Motivasi ini harus menjadi motivasi gereja untuk
menjadi gereja yang tetap positip dan optimistik terhadap masa depan bangsa dan
negara.
(5) Tujuan gereja untuk mendorong terwujudnya demokrasi yang beretika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja tidak pada demokrasi itu sendiri.
Demokrasi itu bukan tujuan akhir, tujuan akhir justru pada terwujudnya sebuah tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, berdamai sejahtera,
berkemanusiaan, masyarakat sipil yang kuat dan mandiri serta terwujudnya kebebasan
beragama, terbangunnya tatanan masyarakat yang pluralistik, penghargaaan terhadap
perbedaan, serta terwujudnya kekuasaan yang melayani rakyat-jelata, melayani orang-orang miskin, orang-orang asing, mereka yang kurang beruntung dalam struktur sosial
kemasyarakatan. Point ini mau menegaskan tanggung jawab gereja untuk
mengembangkan pemikiran etis-teologis yang kuat, yang memberi pendasaran etikteologis tidak hanya kepada demokrasi berwawasan etik, tetapi juga kepada tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, berdamai sejahtera, serta
perspektif kekuasaan yang melayani dan berpihak kepada keadilan dan kebaikkan
bersama seluruh rakyat.
Apa yang harus dikerjakan oleh gereja-gereja?
(a) kepemimpinan publik. Desakan dan tuntutan bagi gereja-gereja untuk mengembangkan
kepemimpinan publik semakin tidak terelakkan saat sekarang ini. Harus diakui bahwa
gereja-gereja mengalami krisis kepemimpinan publik. Oleh karena kepemimpinan publik
harus menjadi salah satu alternatif penguatan peran gereja di dalam masyarakat.
Kepemimpinan publik tidak harus dimengerti sebagai cara di mana orang Kristen mesti
memperjuangkan kepentingannya secara sektarian. Kepemimpinan publik yang
dibangun atau yang digagas dan dipersiapkan mesti diposisikan dalam kerangka
emansipasi dan partisipasi kristen ditengah proses demokratisasi bangsa. Oleh
karenanya, maka orang kristen mesti terhindar dari carapandang yang sektarian.
Kepemimpinan publik yang dibangun mesti diletakkan dalam carapandang bahwa
kehadiran orang kristen sebagai social selves, bagian dari komunitas bengsa yang
mewarisi sejarah kemanusiaan bersama, dan tanggunggung jawab untuk mewujudkan
kebaikkan bersama bagi seluruh masyarakat, bangsa dan negara. Kepemimpinan publik
yang dibangun oleh gereja harus menjadi bagian dari civil society dan yang harus
berperan dalam kehidupan publik untuk mewujudkan kebaikkan bersama. Dalam
hubungan ini PGI, Akademi Leimena dan gereja-gereja dapat bekerja sama
mengembangkan model kepemimpinan publik bagi gereja-gereja
(b) Pendidikan politik warga. Kemacetan dan kebuntuan kaderisasi di dalam gereja-gereja
juga karena tidak dilakukannya pendidikan politik warga. Model, format dan
kurikulumnya kita dapat diskusikan, tetapi tujuannya yakni memberdayakan potensi
warga untuk memiliki kapasitas dan penguatan kualitasnya. Kita tidak mungkin
berbicara tentang peran dan kontribusi dalam demokrasi yang beretika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa secara sungguh-sungguh kita
mempersoalkan kualitas kita. Disini kemudian pendidikan politik itu menjadi tidak
terelakkan. Dengan penguatan kapasitas dan kualitas ini, diharapkan para warga kita
bisa berbicara secara teolgis etis dalam ruang publik tanpa berpretensi mengklaim
kebenaran.
(c) Kita bertekad untuk memperjuangkan terwujudnya demokrasi beretika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalahnya kemudian apakah perspektif etika itu? Bagaimana menformulasikannya secara teologis? Hal ini mengisyaratkan pentingnya demokrasi yang diperkaya oleh tradisi gereja sehingga dapat menjadi bahasa diskursus publik dan mengkontribusikan pemahaman teologi dan etika dalam diskursus publik. Oleh karena itu gereja dan lembaga-lembaga pendidikan teologi mesti melakukan upaya-upaya
diskurus teologi dan etika yang terus menerus.
(d) Secara praktis pemilihan legislatif dan pilpres tinggal 4 atau 5 bulan. Bagaimana pun
mesti ada pengkondisian oleh gereja-gereja dalam mempersiapkan warga gereja, dan elit
politik. Harus ada pendampingan, mempersiapkan warga dengan memperkuat karakter,
integritas, perilaku demokrasi yang beretika yang dilandasi oleh iman.
(e). Sebagai lembaga moral, sikap gereja terhadap politik atau kehidupan sosial kemasyarakatan adalah sebuah keniscayaan. Gereja-gereja harus dapat mengembangkan panggilan prophetisnya atau mengembangkan peran ballance of power dengan memberikan penguatan dan perspektif etik yang kuat dalam proses-proses penegakkan hukum serta kebijakan-kebijakan publik dan pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan sendiri oleh gereja-gereja, tetapi juga dapat dilakukan dengan membangun kolaborasi dengan kekuatan-kekuatan masyarakat atau agama-agama secara terbuka dan dalam semangat dialogis, untuk mewujudkan tatanan khidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan dan berdamai sejahatrea serta mewujudkan kebaikkan bersama bagi
seluruh masyarakat.
Salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian gereja-gereja adalah, pro-dan kontra
soal pendeta aktif dalam politik praktis (anggota legislatif). Tanpa bermaksud
mencampuri kebijakan-kebijakan internal gereja-gereja, perlu pula gereja-gereja
mengambil langkah-langkah sesuai kondisi-kondisi riil yang dihadapi oleh gereja-gereja.
Hal ini dimaksudkan untuk tidak menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak perlu terjadi
dalam konsolidasi jemaat-jemaat.
Be the first to comment