JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyatakan sikap atas Teror Bom Kampung Melayu yang terjadi pada Rabu (24/5). Menurut PGI, teror bom menjelang hari suci keagamaan adalah sebuah ironi. Ketika umat beragama sedang mendamaikan dan menyucikan hati menyambut hari suci keagamaan, pada saat yang sama juga ada orang yang anti damai dan menyebar ketakutan di masyarakat.
Demikian pernyataan sikap PGI yang disampaikan Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow, Kamis (25/5). Memang, teror bom Kampung Melayu terjadi di malam ketika umat Kristen sedang mempersiapkan perayaan Kenaikan Yesus Kristus dan juga mendekati bulan suci Ramadhan umat Islam.
“PGI menyampaikan dukacita mendalam kepada para korban. Kiranya Tuhan memberi kekuatan bagi segenap keluarga yang ditinggalkan dalam menghadapi masa-masa sulit ini,” demikian pernyataan tersebut.
PGI menduga bom bunuh diri Kampung Melayu merupakan bagian dari rangkaian teror bom dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang terjadi selama ini. Sekaligus cermin dari keseharian publik yang banal, di mana simbol-simbol agama telah dibajak oleh nafsu dan amarah.
Selama pendekatan keagamaan kita berkutat pada suara keras, otot dan kekerasan, jumlah penganut, memaksakan kehendak seraya menegasikan mereka yang berbeda paham dan pandangan dengan kita, maka peradaban kita akan makin hancur.
Padahal, sejatinya semua agama mengajarkan damai, kasih dan kemanusiaan. Namun akhir-akhir ini makin banyak orang menjadikan agama sebagai penyalur kebencian, kekerasan dan penganiayaan.
Dalam kaitan inilah PGI mengimbau seluruh umat beragama untuk kembali kepada esensi hidup beragama, yakni membangun persudaraan sejati di mana kemanusiaan dan keadaban menjadi pijakan bersama di tengah keragaman budaya, agama dan kepentingan.
Ditambahkan pula, di sisi lain, peristiwa ini juga tidak bisa dilepaskan dari abainya negara selama belasan tahun belakangan ini atas berkembangnya paham-paham radikalisme dan aksi-aksi intoleransi. Negara terlalu abai dengan munculnya ujaran-ujaran kebencian di ruang publik.
“Selama belasan tahun, negara bahkan terkesan memfasilitasi bertumbuhnya kelompok-kelompok yang mengedepankan kekerasan dan pembunuhan atas nama agama,” demikian PGI.