JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja Komisi VIII DPR RI terkait Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), di ruang rapat Gedung Nusantara II, Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (3/10).
Selain PGI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, juga turut menyampaikan masukannya. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menjelaskan bahwa kehadiran lembaga-lembaga keagamaan tersebut dimaksudkan dalam rangka menggali masukan untuk pembahasan RUU PKS. Dan diharapkan memberi masukan untuk pendalaman saat membahas RUU PKS, antara lain terkait paradigma yang digunakan dalam membangun serta memperkuat landasan yuridis, filosofis dan sosiologis tentang penghapusan kekerasan seksual.
Menyikapi permasalahan atau kasus kekerasan Seksual, PGI sejak 2017 mendorong sinode/gereja mendirikan Women Crisis Center (WCC), sehingga jika terdapat kasus kekerasan, gereja melalui WCC mampu memberikan perlindungan dan pendampingan hukum. Ke depan jika RUU PKS disahkan oleh pemerintah, PGI akan memfasilitasi gereja-gereja anggotanya untuk dapat membangun sinergi dengan stakeholders.
“Dari pengalaman memberikan layanan terhadap korban Kekerasan seksual, PGI merasakan dan memandang dibutuhkan payung hukum untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual bagi perempuan dan anak, mengingat sejauh ini penanganan perkara kekerasan seksual belum ada rujukan yang memberi perlindungan hukum bagi korban. Untuk memastikan terlaksananya peraturan ini dengan baik ke depan, kami mengusulkan penguatan pada pasal yang mengatur tentang peran serta organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan organisasi lainnya untuk mengupayakan pencegahan, pemulihan, penanganan dan penegakan hukum dan pemantauan,” demikian masukan PGI yang disampaikan oleh Ketua Komisi Hukum-HAM PGI Jhony Simanjuntak, SH.
PGI memandang bahwa RUU PKS haruslah mengatur secara tegas dan jelas tentang dimensi pencegahan, pemulihan, pemantauan, ketentuan pidana, dan hukum acara. Selain itu, karena RUU PKS ini termasuk RUU khusus, sehingga perlu mencakup secara lengkap hukum material dan formil.
“Sebaiknya azas yang disebut dalam RUU PKS ini membentukan peraturan perundangan yang mencakup dan mendasari seluruh pasal pasal dalam RUU PKS ini terutama azas non diskriminasi yang berarti berlaku untuk semua pelaku atau korban tidak peduli suku agama atau jabatan. Dan sebaiknya RUU PKS ini memuat azas keberlakukan personalitas, yaitu bahwa RUU PKS ini bisa diberlakukan terhadap siapapun warga Indonesia dan dimanapun baik korban maupun pelaku,” jelasnya.
Jhony menambahkan, bagi PGI, RUU PKS sangat penting untuk memberi perlindungan bagi semua orang, dan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat. Sebab itu, PGI mendukung dan mendorong agar DPR menuntaskan pembahasan dan menyetujui RUU PKS ini.
“Kami sangat menghargai dan mendukung pelaksanaan Hak Inisiatif DPR untuk mengajukan dan membahas RUU PKS yang sedang dibahas sekarang yang setelah dicermati baik isi maupun realitas sosial, kami mendapat kesan kuat bahwa UU PKS ini sangat dibutuhkan untuk merespon atau menyikapi perkara kekerasan seksual yang banyak terjadi di masyarakat,” tandasnya.
Hal senada disampaikan perwakilan Walubi. Walubi mendukung agar DPR RI segera mempercepat pembahasan, dan mengesahkan RUU PKS karena sebagai payung hukum nasional.
Sementara itu, Prof. Amani Lubis, dari MUI, menyampaikan bahwa secara filosofis dan sosiologis RUU PKS memiliki tujuan mulia yaitu mengatur dan melindungi HAM. Namun menurut MUI, pengertian RUU PKS yang ada harus dirumuskan lagi, karena masih sangat luas harus dipersempit agar setiap masyarakat mudah memahaminya.
Masukan dari perwakilan lintas agama mendapat apresiasi dari anggota Panja Komisi VIII DPR RI, diantaranya Diah Pitaloka (PDIP). Menurutnya, RUU PKS merupakan upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual. Sebab itu, perlu adanya keterlibatan dari masyarakat, termasuk lembaga keagamaan. Selain pencegahan, lembaga agama punya peran untuk melakukan pendampingan, dan pemantauan.
Namun demikian pengesahan RUU PKS menurut Ahmad Fauzan (PPP) tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa karena tidak hanya berisi kaidah hukum, tetapi juga agama. Sebab itu, memerlukan pembahasan mendalam dan masukan dari berbagai elemen agar dikemudian hari tidak mendapat pertentangan.
Dalam rapat yang berlangsung sekitar 2 jam itu, mencuat berbagai tanggapan. Semisal perlunya perubahan judul, pasal-pasal karet, dan penyiapan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang harus disiapkan oleh masing-masing lembaga sebagai tindaklanjut, yang akan menjadi bahan masukan bagi Panja RUU PKS Komisi VIII.
Diakhir rapat, Ketua Komisi VIII DPR RI M. Ali Taher menyampaikan adanya persamaan persepsi antara Panja RUU PKS dengan lembaga-lembaga keagamaan. Dia mengingatkan, dalam merumuskan RUU PKS tetapi harus hati-hati karena rancangan undang-undang ini berkaitan erat dengan persoalan proses-proses sosial yang terkait dengan kehidupan privat kemudian diangkat menjadi persoalan publik.
“Di dalam privat itu ada nilai-nilai spiritualitas keagamaan, nilai sosiologis, dan lainnya, dan itu harus dipakami dalam kerangka berpikir normatif kemudian memasukkan di dalam hukum positif. Ini yang harus kita jaga,” ujarnya.
Sejak tahun 2014, RUU PKS diusulkan dalam Prolegnas melalui berbagai dialog baik dengan Pemerintah, DPR RI, maupun DPD RI. Namun, baru pada tahun 2016 RUU PKS masuk dalam daftar Penambahan Prolegnas 2015-2019, sebagai hasil rapat bersama antara DPR RI, DPD RI dan Pemerintah pada bulan Januari 2016. Munculnya berbagai kasus kekerasan seksual yang beruntun seperti teror terhadap perempuan dan anak sehingga sebagai puncaknya, kasus YY di Bengkulu telah membuka pintu dan meyakinkan lembaga legislatif dan eksekutif untuk segera membahas RUU PKS ini. (markus saragih)
Be the first to comment