PGI: Hentikan Pelaksanaan Hukuman Mati!

JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta agar pemerintah menghentikan pelaksanaan hukuman mati. Penegasan tersebut disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui surat yang dikirim pada tanggal 29 Juli 2016.

Dalam surat tersebut, PGI menyampaikan sikap dan pandangannya terkait pelaksaan hukuman yang menghilangkan nyawa seseorang itu. Pertama, Gereja-gereja di Indonesia lahir sebagai respons terhadap panggilan Tuhan, yang mengaruniakan kehidupan kepada manusia. Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Sebagai demikian, PGI memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya.

Kedua, Gereja-gereja memahami bahwa negara menjalakan dan menegakkan hukum adalah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut. Itu pulalah yang dicerminkan dengan penggantian kata “penjara” menjadi “lembaga pemasyarakatan”. Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Dalam hal hukuman mati, peluang untuk memperbaiki diri ini menjadi tertutup, selain menimbulkan kesan bahwa sanksi hukuman mati merupakan “pembalasan dendam” oleh negara. Bila hukuman mati ini dipertahankan, maka akan terlihat adanya frustasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustasi itu dilampiaskan kepada hukum.

Ketiga, perkembangan peradaban manusia telah mendorong negara-negara di dunia yang sebelumnya mempraktekkan hukuman mati meninjau ulang pemberlakukan hukuman mati ini. Terlihat kecenderungan yang semakin besar dari berbagai negara yang beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati. Hal ini didorong pula oleh keraguan apakah hukuman mati masih memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut.

Keempat, dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan berhubung dengan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati tidak akan pernah bisa dikoreksi kembali karena sudah berakhir. Kita mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkrach sekali pun ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut, semisal salah orang, pengadilan yang tidak fair, dan lain-lain. Dalam hal demikian, sangat berisiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata di kemudian hari keliru.

Kelima, selain itu, eksekusi hukuman mati juga akan memutus mata rantai kemungkinan penyelidikan lebih lanjut karena yang bersangkutan tidak lagi dapat dimintai keterangan dan informasi terkait dengan faktor-faktor dan orang-orang terkait yang terlibat dalam kasus tersebut. Dalam keadaan demikian, bukan tidak mungkin, hukuman mati dijatuhkan dan dieksekusi justru untuk melindungi oknum-oknum tertentu di balik kasus yang menimpa terhukum hukuman mati.

Keenam, sebagai konsekuensi dari diratifikasinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka negara semestinya tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Sebab dalam perspektif hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 pada 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup,… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Jadi Pasal 28 I ayat (1) ini menegaskan bahwa konstitusi kita tak lagi mengizinkan terjadinya praktek hukuman mati dalam negara kita.

“Untuk menghindari lebih lanjut eksekusi hukuman mati, yang sebagian besarnya adalah dalam kasus narkoba, kami kembali meminta Bapak Presiden untuk lebih serius dalam memimpin penegakan hukum, terutama menyangkut kasus-kasus narkoba. Pelaksanaan hukuman mati ternyata tidak efektif dalam mengatasi darurat narkoba yang sedang kita hadapi,” demikian surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dan Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, MTh.

Sebab itu, menurut PGI penegakan hukum secara menyeluruh, termasuk memperbaiki sistem dan budaya hukum, penegak hukum, aparat, sipir dan institusi penjara merupakan langkah yang segera harus dibenahi, sehingga praktek peredaran narkoba semakin tertutup peluangnya, termasuk yang selama ini dijalankan dan dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan.