
JAKARTA, PGI.OR.ID – Presiden RI Joko Widodo menerima Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Istana Negara Selasa, 22 Desember 2015. Pimpinan PGI diwakili oleh Pdt. Dr. Henriette T.H. Lebang (Ketua Umum), Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Sekretaris Umum), Pdt. Bambang Wijaya (Ketua) dan Pdt. Krise Gosal, M.Th (Wakil Sekretaris Umum), sementara KWI diwakili oleh Mgr. I. Suharyo (Ketua Presidium), Rm. YR. Edy Purwanto Pr (Sekretaris Eksekutif), Rm. Agus Ulahayana (Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan) dan Rm. Benny Susetyo Pr (Rohaniawan). Sementara Presiden Joko Widodo didampingi oleh Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki.
Pdt. Dr. Henriette T.H. Lebang, mengawali percakapan dengan menyampaikan apresiasi gereja-gereja atas capaian pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo dalam satu tahun ini. Pdt. Lebang menyampaikan bahwa nampaknya Presiden Joko Widodo dan gereja-gereja memiliki antene yang sama dalam hal Revolusi Mental, karena pada 2004, gereja-gereja telah mengangkat tema “Berubahlah oleh Pembaharuan Budimu” pada Sidang Raya PGI di Wisma Kinasih, Caringin Bogor, Jawa Barat.
Secara khusus, Pdt. Lebang mengapresiasi keteladanan Presiden dalam merespon harapan masyarakat, terutama dengan kesederhanaan dan empatinya atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Dengan nada yang kurang lebih sama, Mgr. Suharyo, juga menyampaikan apresiasi atas pembangunan infrastruktur yang luar biasa dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Merespon apresiasi PGI dan KWI Presiden Joko Widodo mengatakan, “Sebetulnya saya belum melakukan apa-apa dengan Revolusi Mental ini. Kita ini menghadapi kerusakan yang luar biasa, sampai sulit untuk menentukan akan mulai dari mana.”
Menurut Presiden, kita mewarisi kerusakan yang luar biasa dengan keruntuhan moralitas dan kepatutan, yang membuat kita sulit memutuskan akan mulai dari mana. Revolusi Mental adalah jalan panjang yang mestinya kita jalankan mulai dari sekolah dan keluarga. “Tapi segera muncul gugatan dari kaum muda, karena hampir tiadanya teladan. Masak mau ngajarin Revolusi Mental, tapi kelakuan penuh cela?”
Presiden juga menyampaikan kegalauannya ketika di lingkungan birokrat juga masih jauh dari upaya mengimplementasikan Revolusi Mental ini. “Kalau hanya seremoni dan training, saya katakan, bukan ini!” demikian Presiden.
“Gagasan besar para pendiri bangsa ini belum terlaksana, belum mengisi jiwa kita semua!” lanjut Presiden.
Romo Benny Susetya menyampaikan perlunya Pendidikan Budi Pekerti ketimbang Pendidikan Agama di sekolah-sekolah. Pendidikan agama membuat kita makin terkotak-kotak sebagai sebuah bangsa, bukan mempersatukan. “Pendidikan Budi Pekerti ini mengajak kita semua menghayati dan melaksanakan nilai-nilai universal, yang pasti ada dalam setiap agama”, demikian Romo Benny.
Pdt. Gomar Gultom, menyampaikan perlunya Revolusi Mental ini diarahkan bagi upaya merevitalisasi nilai-nilai Pancasila di tengah gempuran radikalisme yang datang dari luar. Pdt. Gomar juga mengingatkan bahwa kerukunan otentik yang sangat eksistensial dalam kehidupan bersama selama ini hendaknya tidak dirusak oleh regulasi yang justru menjadikan kerukunan itu menjadi superfisial, apalagi menjadi sebuah proyek negara. Terkait dengan ini, Pdt. Gomar meminta perhatian Presiden akan adanya upaya pemajuan RUU yang berasumsi bahwa kerukunan bisa lahir dari proses-proses regulasi, semisal Rencana Undang Undang (RUU) Kerukunan Umat Beragana (KUB) atau RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB).
Pdt. Gomar juga mengapresiasi pidato Presiden pada COP21 di Paris yang menyebutkan peran Masyarakat Adat dalam mitigasi bencana. Menurut Gomar, sudah cukup lama negara dan umat beragama di Indonesia mengabaikan bahkan mendiskriminasi masyarakat adat, termasuk agama lokal. Ungkapan ini langsung disambut oleh Presiden dengan mengatakan “Padahal merekalah pemilik Republik ini.”
Pdt. Bambang Wijaya menyampaikan apresiasi terhadap Presiden yang berani mengambil keputusan yang tidak populer, demi kemaslahatan orang banyak, seperti pemotongan subsidi BBM, yang sebagian besarnya hanya dinikmati oleh masyarakat di Jawa.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur berupa tol laut, pelabuhan dan rel kereta api sedang dikebut sekarang ini, khususnya kereta api di Papua dan Sulawesi. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya selama ini kita punya uang untuk membangun itu semua, tetapi habis oleh kebijakan subsidi BBM, yang setiap tahunnya mencapai 300 triliun rupiah. “Bayangkan, selama sepuluh tahun ini kita membakar 3000 triliun untuk subsidi BBM, yang bagian terbesarnya hanya dinikmati di Jawa. Padahal kami sudah hitung, untuk pembangunan infrastruktur kereta api untuk Papua, Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan hanya dibutuhkan 350 triliun.”, demikian papar Presiden Joko Widodo.
Mgr. Suharyo juga menyampaikan pesan dan harapan kepada Presiden Joko Widodo, apabila ada kesempatan dinas ke Eropa, untuk berkunjung ke Vatikan. Kunjungan sedemikian akan membawa makna tersendiri bagi masyarakat Eropa yang belakangan ini memiliki persepsi yang kurang pas mengenai umat muslim. Presiden Joko Widodo menyambut ajakan ini dengan mengatakan memperkenalkan muslim Indonesia yang moderat, toleran dan modern kepada dunia memang menjadi tugas kita semua.
Dengan mengangkat pengalaman Bosnia, Romo Agus Ulahayana meminta perhatian Presiden soal kebebasan beragama, khususnya soal izin pendirian rumah ibadah. KWI meminta agar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) dapat direvisi dan amanat PBM kepada negara untuk memfasilitasi pendirian rumah ibadah sebagaimana dimandatkan pada pasal 14 ayat 3 dan pasal 28 ayat 3 dalam PBM tersebut sungguh-sungguh dapat diimplementasikan.
Editor: Jeirry Sumampow