PGI dan Komisi Yudisial Bersama-sama Menjaga Moralitas Hakim

Focus group discusion (FGD) dengan tema Pengaruh Agama Dalam Pencegahan Judicial Corruption,

JAKARTA,PGI.OR.ID-Belakangan ini, kita sering dikejutkan oleh adanya fakta ketidakadilan yang justru dilakukan oleh benteng terakhir penegak keadilan yaitu hakim. Operasi tangkap tangan dari unsur pengadilan seperti ketua pengadilan, hakim, panitera yang dilakukan oleh KPK telah memperburuk lembaga peradilan di Indonesia. Alih alih sebagai manusia dan institusi yang seharusnya ‘adil’ dalam kehidupan sosial di Indonesia malah justru meresahkan.

Salah satu cara dalam upaya menegakkan keadilan di negeri ini adalah kembali menyatukan serpihan-serpihan etika dan moral, yang tidak hanya dilakukan secara teknis oleh sistem peradilan di Indonesia, namun sekaligus mendekatkan benteng keadilan antara etika moral dalam keimanan masyarakat yang berketuhanan sekaligus menegakkan kode etik bagi pelaksanaan sistem keadilan di negeri ini.

Untuk itu, PGI bersama Komisi Yudisial (KY) menggelar focus group discusion (FGD) dengan tema Pengaruh Agama Dalam Pencegahan Judicial Corruption, di Gedung KY, Jl. Kramat Raya No. 57, Jakarta Pusat, Kamis (23/11). Dari diskusi ini diharapkan PGI-KY dapat merumuskan langkah- langkah konkrit untuk ikut serta menegakkan keadilan dan menjaga moralitas individu di peradilan.

Mengawali diskusi, PLH Sekjen KY Ronny Dolfinus Tulak mengungkapkan, fakta di lapangan menunjukkan hakim yang sering direpresentasikan sebagai wakil Tuhan di dunia, dengan panggilan“yang mulia”, justru terlibat dengan pelanggaran hukum.

“Realitasnya sangat memprihatinkan. Padahal dalam menentukan hakim, KY sangat melihat kepada integritas yang tinggi, sesuai dengan program utama KY yaitu pencegahan dan penindakan. Kami mengajak gereja-gereja untuk ikut memikirkan dunia peradilan kita ke depan sebab terkait hati nurani, dan seharusnya gereja bisa memberi pengaruh untuk mengembalikan hati nuraninya untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kami melihat sumbangsih PGI sangat diperlukan,” tegasnya.

Para nara sumber dalam fgd

Anggota Komisi Hukum PGI Jhonny Simanjuntak, nara sumber dalam diskusi ini menuturkan, Gereja ikut memberi sumbangan bagi kelakuan buruk para hakim. Sebab itu perlu sikap tegas dari gereja terhadap moralitas yang dibangun dalam sistim peradilan. Gereja harus kritis, positif, dan solutif.

“PGI telah menegaskan bahwa perlunya gereja melawan korupsi lewat pembinan-pembinaan.  Memang tidak mudah karena moral dan material mempengaruhi perilaku manusia. Maka Dan pemliharaan moralitas hakim harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan gereja,” tandasnya.

Lebih jauh dia mengingatkan, Gereja juga harus dapat menahan diri meminta sumbangan berlebihan kepada jemaat yang berprofesi sebagai penegak hukum.

Sebagian peserta fgd

Sementara itu, Ketua PGI Pdt. Albertus Patty menegaskan, menghilangkan praktik korupsi terhadap hakim juga sama susahnya menghilangkan praktik korupsi dalam institusi gereja. Karena korupsi bersifat kolektif tidak personal. Banyak orang secara personal saleh tetapi secara komunal menjadi bagian dalam praktik korupsi. Sehingga di tengah kolektifitas masyarakat dianggap lucu jika tidak ikut korupsi. Dan menganggap korupsi merupakan persoalan sistemik, sehingga orang merasa tidak bersalah ketika menyogok hakim lantaran melihat yang salah adalah sistim.

Menurut Albertus, dibutuhkan komitmen, kejujuran, dan keberanian yang teguh dalam memberantas korupsi. Untuk memberantas korupsi perlu juga memberantas konsumerisme. Sebab itu PGI menawarkan spiritualitas keugaharian.

“Kita perlu kejasama secara kolektif antara institusi agama dengan institusi penegak hukum. Hakim, pendeta, ulama dan lainnya juga manusia yang berponetsi korupsi maka harus diawasi, dan terbuka,” katanya.

Dia juga melihat fungsi KY harus diperkuat. Karena KY milik rakyat yang menjadi benteng, sehingga perlu membuat narasi atau cerita figur hakim yang bisa diangkat menjadi teladan bagi generasi muda.

Berbagai masukan dilontarkan peserta, seperti yang disampaikan Diskon Siringo-ringo dari DPP GAMKI. Dia melihat, dalam rangka memperbaiki perilaku hakim, KY perlu melakukan pendekatan kultural dan melibatkan media. “Melibatkan media misalnya menginformasikan siapa hakim-hakim nakal dalam setahun ini,” tandasnya.

Foto bersama usai diskusi

Sedangkan Ketua Sinode Gereja Kristen Sangkakala Indonesia (GKSI) Pdt. Willy Paat berharap agar KY semakin terlihat perannya, sehingga mendapat dukungan dari masyarakat.

Hal senada juga disampaikan Shela Shalomo dari GPIB.  “KY belakangan ini tidak terdengar karena hanya merekomendasikan ke MA dan sering tidak ditanggapi. Maka bagaimana gereja mendorong pemerintah lewat perundang-undangan supaya menguatkan KY dalam upayanya menjaga moralitas hakim,” jelas Shela.

 

 

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*