JAKARTA,PGI.OR.ID-PGI bersama komunitas lintas agama dan organisasi masyarakat sipil ambil bagian dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan yang dilaksanakan di Grha Oikoumene, Jakarta (8/3).
Sebelumnya, RUU ini sudah masuk Prolegnas pada 2017, namun kemudian tidak dibahas karena dipandang belum layak. Pada 2018, RUU Perkelapasawitan kembali masuk dalam Proglegnas sehingga dibutuhkan pemantauan mengingat, dalam pembacaan masyarakat sipil, muatan RUU Perkelapasawitan lebih memihak kepada korporasi.
Dari sisi pemerintah, RUU Perkelapasawitan dipandang masih belum mendesak mengingat ada sejumlah pasal-pasal yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang lain. Kemudian, RUU ini tidak memuat sangsi pidana yang tegas sehingga berdampak negatif terhadap penegakan hukum.
Kalangan masyarakat sipil bahkan menolak RUU ini karena di dalamnya terlihat intervensi hukum demi privilese (hal istimewa) korporasi dalam penguasaan industri persawitan. RUU ini juga dilihat tidak berpihak pada masyarakat adat dan petani, tidak memperhatikan biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh eksplorasi perkebunan sawit dan tidak ada pembatasan penguasaan lahan oleh korporasi.
Selain itu, RUU ini juga ditopang oleh udang-undang lain, seperti undang-undang pertanahan, yang berperan untuk melonggarkan penguasaan lahan untuk kepentingan ekstraktif.
Kelapa Sawit merupakan persoalan global mengingat tingginya kebutuhan pasar, termasuk minyak nabati bagi pengganti bahan bakar fosil. Konsumsi global diperkirakan mencapai 50 juta ton sampai 2030. Dalam konteks ini, pertama, pemerintah Indonesia melakukan perbaikan tata kelola perkebunan untuk peningkatan produksi kelapa sawit; kebun-kebun yang ada ditingkatkan kapasitas produksinya. Kedua, dilakukan perluasan konsesi wilayah perkebunan.
Dalam pemantauan Sawit watch, perbaikan tata kelola belum maksimal dilakukan pemerintah. Ini berbeda dengan perluasan wilayah perkebunan, pemerintah terlihat aktif memperluas wilayah perkebunan sawit. Bahkan, lahan-lahan pangan juga terkonversi menjadi perkebunan sawit.
Para petani kecil biasanya tenggelam di tengah dominasi korporasi raksasa yang menguasai industri Sawit di Indonesia. Mereka juga tidak mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah, seperti permodalan, pemasaran dan pola kemitraan yang tidak adil.
Diperkirakan ada lima besar perusahaan yang menguasai industri Sawit di Indonesia, khususnya terkait kebutuhan bahan bakar nabati di pasar di pasar global. Industri ini telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan, konflik horizontal di tengah masyarakat, ekplotasi terhadap perempuan dan masyarakat adat dan degradasi kerusakan lingkungan. Ini belum lagi perluasa wilayah ekstraktif yang terlihat akan semakin berkembang di wilayah Indonesia Timur.
Melihat kompleksnya persoalan yang ada, pertemuan ini mengusulkan agar ada aksi bersama dalam bentuk melakukan pemantauan dan pengawalan RUU Perkepalawsawitan di DPR RI, berbagi (sharing) RUU Perkelapasawitan ke lembaga keumatan bersama kajian-kajiannya, berbagi (sharing) kajian lingkungan hidup dari RUU Perkelapasawitan, mendorong kementerian yang menolah RUU Perkelapasawitan untuk mengirim surat penolakan secara resmi, dan membandingkan pemasukan negara dan nilai sosial-lingkungan yang hilang dari industri kelapa sawit.
Selain itu, melakukan (audiensi) ke fraksi-fraksi DPR RI, kampanya perbaikan tata kelola industri sawit, membuat pernyataan sikap bersama oleh lembaga keumatan dan organisasi masyarakat sipil terkait RUU Perkelapasawitan, dan melakukan pertemuan antara organisasi masyarakat sipil dan lembaga keumatan untuk membahas RUU lainnya yang terkait agraria. (Beril Huliselan)
Be the first to comment