WAINGAPU,PGI.OR.ID-Gereja-gereja Indonesia bersyukur kepada Tuhan Pencipta dan Pemelihara langit dan bumi yang telah menyertai dan memberkati arak-arakan gerakan oikoumene di Indonesia, khususnya melalui Persidangan Raya XVII PGI, di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Sidang Raya yang berlangsung pada 8-13 November 2019 ini terlaksana di bawah terang tema: “Aku adalah yang Awal dan yang Akhir,“ dan dengan subtema: “Bersama seluruh Warga Bangsa, Gereja memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera bagi Semua Ciptaan Berlandaskan Pancasila dan UUD 45.” Pesta iman ini juga menjadi titik penting bagi keberlanjutan ziarah gereja-gereja Indonesia, khususnya dalam periode kepemimpinan Nasional 2019-2024.
Gereja-gereja Indonesia bersyukur pula akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang secara konstitusional seluruh rakyat terjamin kesetaraannya di hadapan hukum dan Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam kerangka ini gereja-gereja Indonesia terpanggil secara kritis mendukung cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, upaya-upaya yang cenderung menghancurkan tatanan kehidupan bernegara harus dihindarkan, terutama yang disebabkan oleh penyimpangan pengajaran agama. Dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia, gereja-gereja turut terpanggil untuk mengembangkan kehidupan beragama yang saling menghargai sebagai sesama warga bangsa, serta menghimbau semua unsur bangsa untuk menghadirkan kehidupan yang setara dan adil, semakin memperkuat solidaritas yang saling memberdayakan, baik lintas agama maupun lintas gereja, berdasarkan prinsip kesetaraan.
Sidang Raya XVII PGI berterima kasih atas keramahtamahan seluruh masyarakat Sumba, khususnya Gereja Kristen Sumba, yang menjadi tuan dan nyonya rumah PRPrG di Waitabula, Sumba Barat Daya, PRPG di Waikabubak Sumba Barat, Sidang MPL PGI di Waibakul, Sumba Tengah, serta Sidang Raya di Waingapu, Sumba Timur. Ucapan terima kasih yang mendalam juga disampaikan kepada Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur yang sangat mendukung terlaksananya Sidang Raya PGI XVII, sehingga persidangan Raya yang dihadiri oleh 985 orang dari 91 gereja anggota, 29 PGIW/SAG dan lembaga mitra dalam dan luar negri, dapat terlaksana dengan aman dan lancar.
Ucapan Ilahi “Aku adalah Alfa dan Omega” yang disampaikan kepada jemaat-jemaat yang tengah berada dalam penderitaan, merupakan pesan pastoral Rasul Yohanes yang saat itu juga berada dalam penderitaan. Kepada Jemaat-jemaat Rasul Yohanes mengatakan “Aku Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan…” (Wahyu 1:9). Oleh sebab itu gereja dalam pelayanannya hendaknya dapat sungguh-sungguh hadir dalam pergulatan dan penderitaan masyarakat, sebab hanya dengan itulah suara kenabian gereja sungguh-sungguh dapat memberi makna bagi dunia.
Melalui Sidang Raya ini gereja-gereja melihat bahwa ada tiga krisis dan satu tantangan utama yang masih harus digumuli bersama ke depan. Ketiga krisis dimaksud adalah krisis kebangsaan, krisis ekologi dan krisis keesaan gereja. Sementara tantangan nyata yang harus dihadapi besama adalah disrupsi digital atau yang kerap disebut sebagai tantangan di era revolusi industri 4.0.
Krisis kebangsaan tercemin dari semakin rapuhnya sendi-sendi persatuan, polarisasi masyarakat yang makin lebar, serta politik identitas dan transaksional yang mewarnai kontestasi perpolitikan di tanah air. Bertumbuhnya radikalisme dan/atau sikap intoleransi di berbagai tempat di rumah bersama, Indonesia, menambah kompleksitas persoalan kebangsaan kita. Krisis ekologi telah mengarah pada “kiamat ekologis” akibat pengrusakan lingkungan dan eksploitasi atas sumber daya alam di banyak tempat. Ini menjadi bukti kerakusan tanpa batas dari para pelaku bisnis dan elite politik demi keuntungan sebesar-besarnya. Krisis keesaan ditandai dengan kemandegan relasi gereja-gereja di Indonesia untuk membangun keesaan gereja dalam kepelbagaiannya. Gerakan oikoumene menjadi sekadar urusan birokrasi gereja. Prinsip “keesaan dalam aksi” sering menjadi slogan semata, sementara konflik-konflik internal gereja dan antar-gereja tetap berlangsung. Alhasil, gereja-gereja di Indonesia harus menghadapi realitas minimnya kader-kader oikoumenis di tanah air yang mampu menjadi agents of change dalam masyarakat.
Sementara itu, tantangan fundamental yang nyata akibat kemajuan teknologi dan komunikasi, yakni disrupsi digital, tidak dapat dihindari ataupun dipandang enteng oleh gereja-gereja. Lanskap sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga aktivitas hidup sehari-hari akan segera mengalami perubahan. Jika tidak bersiap diri dan mampu menjawab tantangan ini, gereja bisa menjadi tidak relevan dalam pelayanan, persekutuan dan kesaksiannya ke depan. Oleh sebab itu pula, gereja-gereja dalam kerja sama dengan pihak-pihak terkait kiranya dapat memperlengkapi warganya agar gelombang kemajuan sungguh-sungguh membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan masyarakat Sumba khususnya.
Berbagai masalah krusial yang terjadi di Sumba seperti yang menimpa Pekerja Migran Indonesia (PMI) baik ketika masih di dalam negeri maupun di luar negeri, human trafficking yang membunuh sekitar 100 PMI setiap tahunnya (Laporan BP2TKI) juga membutuhkan penanganan serius dari gereja dan pemerintah. Di saat yang bersamaan, terjadi masalah kesehatan dan kekerasan multidimensi, terutama terhadap anak dan perempuan (stunting, kematian ibu hamil dan bayi, perkawinan pada usia dini) yang sangat berkorelasi dengan pendidikan yang rendah dan kemiskinan. Gereja-gereja di Indonesia bersama pemerintah perlu memberikan perhatian dan dukungan serius terhadap realitas masyarakat di pulau Sumba ini, agar prinsip memanusiakan manusia dan mewujudkan keutuhan ciptaan Tuhan itu tidak menjadi slogan semata.
Menghadapi persoalan-persoalan sosial seperti di Sumba, gereja turut terpanggil untuk mendasarkan seluruh gerak peziarahannya pada teologi yang nondiskriminatif dan anti-kekerasan terhadap kelompok rentan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, perempuan dan anak, dengan memberi pembekalan kepada para pemimpin gereja yang memiliki perspektif perlindungan kepada anak dan perempuan guna memulihkan yang mengalami kekerasan dan trauma. Sementara itu kerusakan ekologi semakin mengancam kehidupan umat manusia dan seluruh ciptaan, terutama sampah plastik dan kerusakan hutan yang semakin merajalela perlu mendapat perhatian serius dari seluruh warga gereja bersama masyarakat.
Selain memberi perhatian terhadap krisis-krisis dan tantangan, melalui Sidang Raya XVII, PGI juga mengajak Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan gereja untuk melakukan pemerataan ekonomi agar pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang menduduki kekuatan ekonomi nomor 4 di dunia pada tahun 2050, tidak semakin memperdalam jurang kesenjangan. Sebaliknya, hal tersebut harus menjadi peluang untuk mengembangkan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi kreatif bagi seluruh warga bangsa termasuk di dalamnya warga gereja.
Pemerintah bersama dengan gereja-gereja Indonesia perlu merespons secara konkrit atas terjadinya ketegangan sosial akibat radikalisme serta politik identitas di seluruh wilayah Indonesia yang membutuhkan penanganan secara serius, serta memberikan perhatian terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia di Sumba dan/atau NTT khususnya, serta melakukan moratorium terkait pengiriman PMI, dan advokasi kepada para korban beserta keluarganya.
Gereja-gereja Indonesia juga mengajak pemerintah melakukan reformasi hukum dengan meninjau produk UU maupun RUU yang diskriminatif, memasukkan dalam PROLEGNAS RUU yang melindungi kelompok masyarakat yang rentan dari ancaman kekerasan, tidak melakukan pembiaran terhadap daerah-daerah yang menyusun perda-perda berbasis ketidakadilan dan/atau diskriminatif sehingga masalah ketidakadilan dan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Papua segera dapat diselesaikan untuk menuju “Indonesia Unggul.”
Demikian Pesan Sidang Raya XVII PGI. Tuhan memberkati.
Waingapu, 13 November 2019